Negara yang melakukan impor barang seperti makanan dan bahan bakar menjadi lebih mahal
JAKARTA, Kondisi ekonomi dunia tengah tidak menentu. Bahkan, kini dunia dihadapkan pada tantangan ancaman resesi global.
Dikutip dari CNN, Selasa (4/10/2022), menurut firma riset Ned Davis peluang dari resesi global telah mencapai 98%. Lalu, apa tanda-tandanya?
Salah satu tandanya ialah dolar Amerika Serikat (AS) yang perkasa. Dolar AS memiliki peran besar dalam ekonomi dunia dan saat ini lebih kuat dibanding dua dekade sebelumnya,
Ketika Bank Sentral AS menaikkan suku bunga AS, hal itu membuat dolar AS lebih menarik di mata investor. Dolar AS yang menguat membuat berbagai mata uang seperti euro, yuan, yen dan lainnnya jatuh. Imbasnya, negara yang melakukan impor barang seperti makanan dan bahan bakar menjadi lebih mahal.
Penguatan dolar AS yang membuat Wall Street tidak stabil karena banyak perusahaan yang masuk S&P 500 memiliki bisnis di berbagai negara. Menurut perkiraan dari Morgan Stanley, setiap dolar naik 1% berdampak negatif sebesar 0,5% pada pendapatan S&P 500.
Tanda lainnya ialah mesin penggerak ekonomi AS berhenti. Sebagaimana diketahui, penggerak ekonomi terbesar di dunia ialah belanja, dan pembeli AS telah lelah. Hal itu dipicu oleh kenaikan harga diberbagai aspek, namun tidak diikuti oleh kenaikan upah.
Suku bunga yang tinggi mendorong kenaikan bunga kredit. Hal ini membuat bisnis sulit tumbuh. Sejalan dengan itu, konsumen mendapat pukulan dari suku bunga pinjaman dan harga yang tinggi terutama dalam kebutuhan pokok seperti makanan dan perumahan.
Orang Amerika telah mendorong belanja selama lockdown. Sejak itu, bantuan pemerintah dikucurkan dan inflasi naik. Hal itu membuat daya beli konsumen turun.
Tanda berikutnya ialah perusahaan AS mengencangkan ikat pinggang. Dijelaskan, sebagian bisnis telah berkembang pesat di era pandemi. Namun perkembangan bisnis itu tak bertahan lama.
Pada pertengahan September, perusahaan yang menjadi salah satu penentu arah ekonomi mengejutkan investor. FedEx yang beroperasi di lebih dari 200 negara secara tak terduga merevisi prospeknya dan mengingatkan permintaan melemah, serta pendapatan kemungkinan akan turun lebih dari 40%.
Dalam sebuah wawancara, CEO-nya mengonfirmasi jika perlambatan itu tanda resesi global yang meningkat.
“Kurasa begitu,” jawabnya.
“Angka-angka ini tidak memberikan tanda baik,” sambungnya.
Selain itu, pada hari Selasa, saham Apple jatuh setelah Bloomberg melaporkan perusahaan membatalkan rencana untuk meningkatkan produksi iPhone 14 setelah permintaan datang di bawah ekspektasi.