JAKARTA, Wakil Ketua Bidang (Wakabid) Perundang-Undangan & Advokasi Kebijakan DPP GMNI, Dody Nugraha ikut menyoroti kondisi Desa Wadas. Dody pun meminta agar aparat (oknum) kepolisian menghentikan tindakan represifnya kepada warga Desa Wadas akan penolakan tambang.
“Pemerintahan dan aparat keamanan terkait harusnya mendepankan pengambilan kebijakan dengan cara yang lebih manusiawi. Apa pun alasannya tindakan represif ini tidak bisa dibenarkan dan harus dihentikan segera—tentu bebaskan kembali masyarakat yang ditangkap,” demikian pintanya, lewat siaran persnya, Selasa (8/2/2022).
Menurut dia, insiden penyerbuan aparat kepolisian tersebut tidak bisa dibenarkan. Ia pertegas sekali lagi bahwa hal itu tidak dibenarkan.
“Karena sebagian lahan tersebut adalah sumber kehidupan warga sangat diwajarkan warga mempertahankan mata pencahariannya untuk hidup. Dan janhan lupa ada pasal yang mengatur tentang hak hidup untuk setiap warga negara Indonesia,” ia mengingatkan.
Perlu ada mediasi untuk menyelesaikannya, kata dia. Sebab dalam rangka pembebasan dan pengukuran lahan penambangan material andesit untuk bendungan Bener sampai saat ini ada penolakan dari warga masyarakat selama bertahun-tahun.
“Ditinjau dari kondisi sosial ekonomi masyarakat desa Wadas yang berlatar belakang mayoritas petani, maka harus menjadi pertimbangan penting bagi pemangku kebijakan. Dalam hal ini pemeritah daerah Provinsi Jawa Tengah (Ganjar Pranowo) dan pemerintah pusat bahwa sumber pendapatan masyarakat dikebiri ketika proyek dan tambang akan beroperasi,” katanya.
Di sisi lain, kata dia, terjadi degradasi lahan yang semakin meningkat musti ini menjadi catatan sangat peting.
Ia mempertanyakan apakah proyek pembangunan bendungan Bener yang masuk dalam proyek strategis nasional ditetapkan melalui Peraturan Presiden Nomor 56 Tahun 2018 ini merupakan salah satu bukti Negara dalam mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia atau sebaliknya
Pasalnya, masalah menjadi polemik di warga Wadas sendiri dan sebagian besar warganya menolak atas pembangun bendungan tersebut.
“Ini disebabkan impilikasi yang signifikan terhadap berbagai sektor. Mulai dari sektor lingkungan, aspek ekonomi, dan tentu bermasalah dalam aspek hukum,” imbuhnya.
Ia menjelaskan dalam perencanaan pertambangan quarry adesit di Desa Wadas dilakukan dengan cara bengeboran, pengerukan, dam peledakan dengan menggunakan 5300 ton dinamit hingga kedalaman 40 meter selama 30 bulan pada lahan seluas 145 Ha dengan target 15.530.00 m3 itu menimbulkan kerusakan ekosistem.
Fakta lain di lapangan warga memiliki mata pencaharian yang menunjang dari komoditas alam. Hal itu tertera dalam UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) yang diubah dengan UU Cipta Kerja dengan Permen LH 17/2012 melanggar asas dan konsep UU Tata Ruang yang menyebutkan bahwa apabila Proyek Strategis Nasional tidak sesuai dengan Tata ruang maka harus diganti.
“Dan tentu proyek ini tidak boleh dilaksanakan. Sedangakan menurut sumber bahwa saat ini RT/RW setempat belum disahkan. Dan tentunya banyak aspek hukum lain yang perlu digali. Dan tentu segala kebijakan yang dikeluarkan pemerintah harus dicabut terlebih dahulu karena secara prosedural dan substansi sudah menyalahi asas hukum,” sambungnya.
Dan kata dia hal itu tentu eksplorasi berupa pertambangan ini mengancam ruang hidup masyarakat dan berdampak akan lingkungan dan aksi represif ini tindakan yang tidak dibenarkan.
“Terakhir perintah konstitusi cara-cara represif kenapa rakyat seperti itu masih dipertontonkan dengan keahkuhan oligarki. Sebernarnya pembangunan ini untuk siapa? Padahal bumi, air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya seharusnya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat,” pungkasnya.