JAKARTA, DPR RI menyatakan, penerapan kembali pemilihan legislatif (Pileg) dengan sistem proporsional tertutup bakal menimbulkan konflik di dalam partai politik. Sebab, para kader akan saling berebut tiket untuk menjadi calon legislatif (caleg) dari ketua umum parpol.
Hal itu disampaikan DPR RI lewat Tim Kuasa DPR dalam sidang gugatan uji materi sistem proporsional terbuka di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Kamis (26/1).
Para penggugat diketahui meminta MK memutuskan agar pileg kembali menggunakan sistem proporsional tertutup, sebuah sistem di mana pemilih hanya mencoblos partai, sedangkan pemenang ditentukan oleh nomor urut caleg yang ditetapkan oleh partai sebelum hari pencoblosan.
“(Sistem proporsional tertutup) justru menimbulkan konflik antara para kader parpol di internal, khususnya dengan ketua partai karena semua kader merasa layak dan patut dipilih untuk menduduki kursi anggota DPR, DPRD provinsi, maupun DPRD kabupaten/kota,” kata anggota Tim Kuasa DPR, Supriansa dari Komisi III DPR RI, membacakan pandangan resmi DPR RI.
Lebih lanjut, DPR berpandangan bahwa penerapan kembali sistem proporsional tertutup seperti era Orde Baru merupakan sebuah kemunduran demokrasi. Pasalnya, masyarakat tidak lagi dapat memilih caleg yang diinginkan untuk menduduki kursi parlemen.
Padahal, rakyat sudah punya daulat penuh menentukan caleg dalam sistem proporsional terbuka yang diterapkan sejak Pemilu 2009. “Dalam sistem proporsional terbuka, kemenangan seorang caleg tidak hanya bergantung pada kebijakan parpol, tetapi didasarkan pada sebesara besar dukungan rakyat yang diberikan kepada calon tersebut,” ujar politikus Golkar itu.
DPR juga menyoroti konstitusionalitas penggunaan sistem proporsional terbuka sebagaimana termaktub dalam Pasal 168 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. DPR menyatakan, penentuan sistem pemilu, entah itu proporsional terbuka ataupun tertutup, sepenuhnya merupakan pilihan terbuka (open legal policy) di tangan lembaga pembentuk undang-undang.
Dengan demikian, penerapan sistem proporsional terbuka tidak mengandung persoalan ikonstitusionalitas norma. Lebih jauh, lantaran penentuan sistem adalah open legal policy, DPR menilai, MK tidak memiliki wewenang untuk menentukan sistem pemilu.
“MK tidak memiliki kewenangan untuk menentukan sistem pemilu karena hal tersebut merupakan kewenangan membentuk undang-undang (DPR dan Pemerintah) dengan memperhatikan partisipasi masyarakat,” kata Supriansa. Karena itu, DPR meminta MK menolak, atau tidak menerima permohonan penggugat.
Sikap DPR RI yang dibacakan Supriansa itu ternyata hanya mewakili delapan fraksi. Sedangkan Fraksi PDIP punya pendapat sendiri, yakni mendukung penerapan kembali sistem proporsional tertutup.
Dalam sidang yang sama, Fraksi PDIP yang diwakili Arteria Dahlan memberikan penjelasan panjang lebar soal efek positif sistem proporsional tertutup. Keterangan PDIP sangat kontras dibanding keterangan delapan fraksi yang dibacakan Supriansa.
Persamaan sikap antara kedua kubu ini hanya pada satu hal, yakni sama-sama mengakui bahwa penentuan sistem pemilu merupakan open legal policy. Kendati begitu, Fraksi PDIP tetap meminta MK mengabulkan gugatan pemohon karena PDIP menilai ada banyak dampak buruk sistem proporsional terbuka.
Dalam sidang ini, Presiden lewat kuasa hukumnya juga menyampaikan keterangan yang pada intinya meminta MK tidak mengubah sistem pileg karena tahapan Pemilu 2024 sudah berjalan. Jika tetap dilakukan, Presiden khawatir bisa memunculkan gejolak sosial dan politik.
MK sendiri mengaku masih butuh keterangan tambahan sebelum memutuskan perkara ini. MK akan melanjutkan sidang pada 9 Februari 2023 mendatang dengan agenda mendengar keterangan tambahan dari Presiden, DPR, dan pihak terkait KPU.
Sebagai informasi, gugatan uji materi sistem proporsional terbuka ini dilayangkan oleh enam warga negara perseorangan, yang salah satunya merupakan kader PDIP.