Pedagang Keluhkan Harga dan Stok MinyaKita yang Tak Stabil

KOTA TANGERANG, Menjelang bulan Ramadhan 1446 Hijriah, pedagang di Pasar Sipon, Kota Tangerang, Banten, mengeluhkan tingginya harga MinyaKita, minyak subsidi dari pemerintah. Mereka juga menghadapi masalah pasokan yang tidak lancar, di mana stok dari distributor sering kali kosong, sementara harga kulak minyak subsidi ini jauh lebih mahal dari harga eceran tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah.

Salah satu pedagang MinyaKita, Windi, mengungkapkan bahwa dirinya kesulitan untuk memperoleh minyak subsidi dengan harga sesuai HET yang telah ditetapkan, yakni Rp 174.000 per kardus atau sekitar Rp 15.700 per liter.

Read More

“Kalau saya kulaknya dari tangan ke tangan, bukan dari distributor resmi, jadi harganya lebih mahal. Kadang dapat harga Rp 200.000 per kardus, tapi biasanya harganya Rp 202.000 per kardus,” kata Windi di Pasar Sipon pada Senin (3/3).

Windi menambahkan, meskipun harga eceran tertinggi yang ditetapkan pemerintah adalah Rp 174.000 per kardus, pedagang seperti dirinya terpaksa menjual MinyaKita dengan harga yang jauh lebih tinggi. Hal ini disebabkan karena harga kulak yang lebih mahal, sekitar Rp 202.000 per kardus atau Rp 17.000 per liter. Alhasil, pedagang tidak bisa menjual MinyaKita sesuai HET yang ditentukan.

“Para pedagang harus membayar harga yang lebih tinggi, jadi kami tidak bisa jual sesuai HET. Kami terpaksa jual dengan harga lebih tinggi agar bisa mendapatkan keuntungan,” ujar Windi.

Masalah lain yang dihadapi pedagang adalah kesulitan untuk memperoleh pasokan MinyaKita dari distributor resmi. Windi mengungkapkan bahwa meskipun sudah memesan langsung kepada distributor resmi, stok minyak subsidi tersebut selalu dikatakan habis. Namun, ketika mencarinya di luar jaringan distributor resmi, minyak MinyaKita malah tersedia melimpah.

“Saya sudah pesan berulang kali langsung ke produsennya, tapi selalu bilang stoknya habis. Namun kalau beli di luar, stoknya ada banyak. Ini anehnya,” keluh Windi.

Selain itu, beberapa pedagang juga terpaksa membeli produk lain atau bundling dengan minyak merek lain agar bisa mendapatkan MinyaKita. Jika pedagang menolak, mereka tidak akan mendapatkan pasokan MinyaKita.

“Kadang pedagang dipaksa bundling dengan minyak merek lain agar bisa mendapatkan MinyaKita. Jika tidak mau bundling, pedagang tidak bisa membeli minyak subsidi ini,” tambah Windi.

Menghadapi masalah harga dan distribusi yang tidak stabil, Windi berharap agar pihak berwenang segera melakukan pengecekan dan pengawasan yang lebih ketat terhadap produsen dan distributor MinyaKita. Ia berharap agar produksi dan distribusi minyak subsidi ini bisa lebih terkontrol dengan baik, sehingga harga yang sampai ke pedagang sesuai dengan HET yang telah ditentukan.

“Harapan saya, pemerintah harus lebih serius mengurus minyak subsidi ini, agar harga di toko sesuai dengan HET yang telah ditetapkan dan tidak menyusahkan masyarakat,” ujar Windi.

Pengakuan Windi ini juga dibenarkan oleh pedagang lainnya, Junaidi, yang mengaku tidak pernah dapat membeli MinyaKita dengan harga sesuai HET.

“Saya belinya Rp 200.000 per kardus dan jualnya Rp 204.000 per kardus agar bisa mendapatkan keuntungan,” ungkap Junaidi.

Menurutnya, meskipun ia ingin menjual minyak dengan harga yang sesuai HET, kondisi pasokan yang terbatas dan harga kulak yang tinggi membuat hal itu sulit dilakukan.

Pedagang MinyaKita di Pasar Sipon terpaksa menjual minyak subsidi dengan harga lebih tinggi, mencapai Rp 18.500 per liter, karena harga kulak mereka sudah melampaui HET. Kondisi ini diperburuk oleh seringnya stok minyak kosong, membuat pedagang kesulitan untuk menyediakan barang sesuai permintaan konsumen.

Related posts

Leave a Reply