Penurunan tanah (land subsidence) yang terus berlangsung di Jakarta menjadi alasan utama ibukota Indonesia diprediksi akan tenggelam pada 2050.
Kondisi penurunan tanah di wilayah Jakarta semakin mengkhawatirkan dari tahun ke tahun. Penurunan itu disebabkan beberapa faktor, antara lain pembangunan infrastruktur, aktivitas masyarakat, dan penggunaan air tanah secara masif.
Penurunan tanah di Jakarta tercatat sekitar 5 hingga 12 centimeter per tahun, terutama di wilayah Jakarta Utara. Jika berlangsung selama sepuluh tahun, penurunan tanah di Jakarta bisa mencapai 1 hingga 1,5 meter, berdasarkan catatan Badan Kerja Sama Internasional Jepang (JICA) Indonesia.
Bahkan, JICA Indonesia dalam skema proyek untuk mempromosikan penanggulangan terhadap penurunan tanah di Jakarta mencatat bahwa angka penurunan tanah maksimal hingga 4,1 meter terjadi di wilayah Jakarta Utara.
Bukti-bukti mengenai adanya penurunan tanah di wilayah Jakarta pun telah dihimpun, salah satu tandanya adalah semakin tidak sejajarnya tinggi permukaan tanah di peron stasiun Tanah Abang dengan bagian lantai gerbong kereta sehingga diperlukan pijakan tambahan yang dipasang di bagian tepi bawah gerbong kereta untuk penumpang yang akan naik dan turun.
Kasus Tokyo
Seperti halnya Jakarta, Tokyo — ibukota Jepang– pun menghadapi masalah yang sama, di mana permukaan tanah di kota itu sempat mengalami penurunan maksimal hingga 4,6 meter, salah satunya di wilayah Minamisuna Koto-ku.
Peneliti dari Riverfront Research Center Japan, Nobuyuki Tsuchiya, dalam presentasinya menyebutkan bahwa sebelum tahun 1940, Jepang belum menemukan penjelasan yang layak dan rasional berdasarkan ilmu pengetahuan mengenai fenomena penurunan tanah di Tokyo.
Ada berbagai kemungkinan penyebab penurunan tanah yang dibahas di Jepang sebelum masa Perang Dunia 2, antara lain pergerakan kerak bumi, konsolidasi oleh bangunan-bangunan berat, penyusutan lapisan tanah karena berat tanah itu sendiri, pengurangan tekanan udara di tanah, pengurangan infiltrasi hujan.
Namun, pada 1940, peneliti Jepang berhasil menemukan penyebab penurunan tanah melalui pengamatan lapangan dan analisis tentang air tanah dan penurunan tanah di wilayah Osaka barat. Jepang berdasarkan pertimbangan ilmiah menemukan korelasi yang jelas antara permukaan air tanah dan kecepatan penurunan.
Industri besar kimia di Jepang memang bertumbuh pada 1910-an. Jumlah pabrik manufaktur pun meningkat pesat. Sejumlah besar air tanah, sekitar 27.000 meter kubik per hari, dipompa oleh bangunan-bangunan di daerah itu untuk pendingin ruangan.
Hingga pada 1945, pemompaan air tanah akhirnya terbukti menjadi penyebab utama penurunan tanah di wilayah Tokyo.
Tsuchiya memaparkan bahwa setelah Perang Dunia II, Jepang memang memiliki periode pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Industri berkembang pesat dan penduduk terkonsentrasi ke kota-kota besar, terutama ke Tokyo.
Peningkatan pesat jumlah pabrik dan populasi itu secara alami berdampak pada penggunaan sejumlah besar air untuk keperluan industri dan rumah tangga.
Sementara itu, konsultan JICA Indonesia untuk urusan sumber daya air dan manajemen bencana, Naoto Mizuno, mengatakan penurunan tanah di Tokyo disebabkan beberapa hal, salah satunya padatnya bangunan-bangunan di kota tersebut.
Namun, dia menekankan bahwa penyebab utama dari penurunan tanah di Tokyo adalah ekstraksi air tanah yang berlebihan untuk keperluan industri dan komersial.
“Mungkin ada penyebab lain seperti kelebihan muatan bangunan, tetapi ekstraksi air tanah adalah penyebab terbesar penurunan tanah. Itu sebabnya kami fokus pada pengendalian penggunaan air tanah,” ujar Mizuno.
Untuk itu, pemerintah Jepang segera membentuk Dewan Penanggulangan Penurunan Tanah pada 1953. Selanjutnya, Undang-Undang Penggunaan Air Tanah untuk Industri diberlakukan pada 1956 untuk secara bertahap membatasi penggunaan air tanah di Tokyo.
“Saat itu Tokyo fokus mengatur penggunaan air tanah, khususnya oleh industri. Berdasarkan sejarah, ekstraksi air tanah secara berlebihan oleh industri membuat air di tanah menyusut. Itulah mengapa pemerintah Jepang fokus membatasi secara bertahap hingga menghentikan penggunaan air tanah untuk industri dan komersial,” ungkap Mizuno.
Pada 1962, Undang-Undang yang mengatur penggunaan air di gedung-gedung ditegakkan dan Undang-Undang yang mengatur penggunaan air oleh industri direvisi.
Akan tetapi, upaya penanganan yang dijalankan oleh pemerintah Jepang bukanlah tanpa tantangan dan kendala.
Menurut Mizuno, pemerintah Jepang berupaya keras untuk mengubah pola pikir masyarakat dan kalangan industri untuk beralih dari penggunaan air tanah ke sumber air lain.
“Tantangannya ada pada mengubah pola pikir para pengguna air tanah. Misalnya, pihak pemerintah sampai harus mengunjungi perusahaan-perusahaan industri untuk menjelaskan tentang menipisnya persediaan air tanah,” katanya.
“Kami memulai dari area tertentu untuk melarang penggunaan air tanah, lalu berlanjut hingga meluas, dan perusahaan-perusahaan pun akhirnya secara bertahap mengalihkan penggunaan air tanah mereka ke air ledeng atau sumber air lain,” lanjutnya.
Selain itu, pemerintah Jepang pada 1964 mulai menyediakan sumber air alternatif untuk industri, salah satunya air sungai. “Pemerintah berupaya menyediakan air dalam jumlah yang cukup, berkualitas tinggi, dan harga terjangkau untuk kalangan industri,” jelas Mizuno.
Menurut dia, pemerintah Jepang dalam 20 tahun melakukan upaya bertahap, mulai dari sosialisasi untuk meningkatkan kesadaran akan adanya penurunan tanah, implementasi kebijakan pembatasan dan pelarangan penggunaan air tanah, hingga penyediaan sumber air alternatif khususnya untuk keperluan industri.
“Kami mengambil langkah demi langkah dalam penerapan kebijakan ini, bukan pelarangan menyeluruh sekaligus sehingga perusahaan-perusahaan pun akhirnya beralih menggunakan sumber air lain. Ada yang menggunakan teknologi penghematan air dan daur ulang air, ada juga yang memakai metode pemanenan air hujan,” ungkap Mizuno.
Kebijakan pembatasan penggunaan air tanah dimulai pada 1950 dan berhasil diterapkan menyeluruh pada 1970. Dalam kurun waktu 20 tahun, penggunaan air tanah di Tokyo bisa benar-benar dihentikan pada 1970-an, dan hal itu berhasil mengurangi penurunan tanah di Tokyo.
Kasus Jakarta
Belajar dari pengalaman pemerintah Jepang dalam menangani masalah penurunan tanah di Tokyo, pemerintah Indonesia — khususnya pemerintah provinsi DKI Jakarta — tentu perlu melakukan upaya berkesinambungan untuk menghambat penurunan tanah di ibukota.
Terkait upaya penanganan land subsidence yang dilakukan di Jakarta melalui kerja sama antara pemerintah Indonesia dan Jepang, setidaknya ada empat tujuan utama yang ingin dicapai dalam tiga tahun pelaksanaan proyek kerja sama yang dimulai pada 2018 itu.
Tomoya Kikuta, ahli dari JICA untuk Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat RI untuk pengelolaan sumber daya air terpadu, menyebutkan keempat tujuan adalah melengkapi struktur pemantauan dan mengumpulkan data secara berkala mengenai sumur-sumur di Jakarta, mengontrol volume air tanah, mengembangkan sumber daya air alternatif — termasuk air hujan dan daur ulang air perkotaan, meningkatkan kesadaran sosial.
Konsultan JICA Naoto Mizuno mengatakan bahwa sejauh ini JICA dan pihak-pihak terkait di Indonesia telah melaksanakan beberapa langkah penanganan, salah satunya analisa penurunan tanah di Jakarta dengan menggunakan satelit.
“Kemudian kami mengklarifikasi sejumlah persoalan terkait penurunan tanah, dan sekarang sedang memilih area percontohan untuk melakukan investigasi yang lebih detail. Kami juga melakukan langkah awal, seperti kampanye publik dan penyebaran informasi kepada pemerintah-pemerintah daerah,” ujarnya.
Mizuno juga mengemukankan bahwa seperti yang terjadi di Tokyo, penggunaan air tanah secara masif dan terus-menerus merupakan penyebab utama turunnya permukaan tanah di Jakarta.
“Prinsipnya, fenomena penurunan tanah di Jakarta dan Tokyo sama kasusnya, tetapi di Tokyo pembatasan penggunaan air tanah dilakukan secara terprogram. Tentu, program yang sama dapat diterapkan di Jakarta,” ucapnya.
Untuk itu, menurut dia, pemprov DKI Jakarta harus segera membuat dan menerapkan peraturan tentang pembatasan penggunaan air tanah dan menyediakan sumber air alternatif bagi masyarakat yang masih menggunakan air tanah.
“Pada dasarnya, untuk menghentikan penurunan tanah di Jakarta, kita harus berhenti menggunakan air tanah, maka tantangannya ada pada mencari sumber air alternatif, dan pemerintah Indonesia sedang berupaya untuk itu,” kata Mizuno.
Namun, dia juga menyebutkan ada kendala utama yang harus dihadapi dalam menertibkan hingga membatasi dan melarang penggunaan air tanah sebagai upaya menghambat penurunan tanah di Jakarta. Kendala tersebut adalah banyaknya sumur yang tidak terdata di Jakarta.
“Masalahnya, kemungkinan ada banyak sumur air tanah yang tidak terdata di Jakarta. Dan untuk menemukan sumur-sumur ini sulit,” ungkapnya.
Dengan pendataan sumur di Jakarta yang belum baik itu, menurut Mizuno, pemda Jakarta tidak bisa mengetahui dengan pasti jumlah penggunaan air tanah sampai saat ini, yang pada akhirnya akan menyulitkan untuk menerapkan pembatasan penggunaan air tanah di ibukota.
“Sistem pendataan sumur itu untuk informasi penggunaan air tanah di Jakarta kepada pemerintah. Jadi, jika ada orang yang ketahuan menggunakan air tanah, dia wajib dikenakan pajak, sehingga penggunaan air tanah bisa dikontrol dan dibatasi,” jelasnya.
Kendala lain yang ditemukan adalah kurangnya koordinasi antara pihak-pihak yang mengamati masalah land subsidence di Jakarta.
“Kami tau bahwa beberapa peneliti dan akademisi di Indonesia sudah melakukan langkah-langkah dan upaya untuk mengamati penurunan tanah di Jakarta, tetapi mereka kurang berkoordinasi, sehingga data yang jelas dan pasti itu sulit untuk didapatkan,” katanya.
Terkait kendala tersebut, Mizuno mendorong agar pihak-pihak terkait di Indonesia, baik dari kalangan peneliti, akademisi, hingga pejabat pemerintah, dapat melaksanakan kegiatan pengamatan yang terpadu.
Dia juga menekankan pentingnya untuk melakukan pengamatan terhadap masalah land subsidence di Jakarta secara berkelanjutan, bahkan setelah penurunan tanah nantinya berhasil dihambat.
Pengawasan yang berkelanjutan dari penerapan kebijakan serta pelaksanaan langkah-langkah penanggulangan adalah hal terpenting dari upaya menghambat penurunan tanah di Jakarta.
Hal lain yang tidak kalah penting adalah kesadaran bersama (collective awareness) akan adanya masalah penurunan tanah di Jakarta dan upaya terpadu (integrated efforts) untuk mengatasinya. (ant)