Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) yang mengacu pada kriteria Bank Dunia, sebanyak 9,48 juta orang keluar dari kelas menengah selama era Jokowi
JAKARTA, Fenomena menyusutnya jumlah kelas menengah Indonesia menjadi sorotan dalam diskusi publik yang diadakan oleh Bright Institute pada Selasa, 17 September 2024. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) yang mengacu pada kriteria Bank Dunia, sebanyak 9,48 juta orang keluar dari kelas menengah selama era Jokowi. Jumlah tersebut menurun dari 57,33 juta orang pada 2019 menjadi 47,85 juta orang pada 2024.
Penurunan ini tentu menjadi alarm bagi kinerja ekonomi nasional, terutama karena kelas menengah dianggap sebagai motor penggerak ekonomi negara. Mereka berperan besar dalam meningkatkan konsumsi domestik, menciptakan lapangan kerja, serta mendukung investasi di bidang pendidikan dan sumber daya manusia.
Bank Dunia sempat merilis laporan bertajuk Aspiring Indonesia – Expanding the Middle Class pada 2019, yang memberi pujian atas pertumbuhan kelas menengah Indonesia. Pada periode 2002-2016, kelas menengah Indonesia tumbuh pesat, dari hanya 7% menjadi 20% dari total populasi, dengan jumlah mencapai 50 juta orang pada 2016.
Namun, kini narasi tersebut berbalik. Data terbaru menunjukkan kelas menengah terus tergerus, bahkan kelompok rentan miskin justru bertambah. Kondisi ini diperparah oleh stagnasi jumlah penduduk miskin selama lima tahun terakhir. Bagi perekonomian Indonesia, ini jelas mengkhawatirkan, terutama jika menghadapi guncangan eksternal atau perubahan kondisi global yang tak terduga.
Penurunan kelas menengah diprediksi akan memperlambat laju pertumbuhan ekonomi yang diimpikan mencapai 8%. Bagaimana tidak? Ketika konsumsi masyarakat kelas menengah melemah, otomatis daya beli pun ikut turun. Hal ini juga bisa berdampak pada investasi skala kecil hingga menengah yang semakin tergerus.
Tak hanya itu, kelompok rentan miskin yang berada di sekitar garis kemiskinan makin terpuruk. Banyak dari mereka hanya terbantu oleh bantuan sosial sementara, namun tetap rentan jatuh miskin jika ada guncangan ekonomi sedikit saja.
Bright Institute memperingatkan bahwa dampak dari fenomena ini tidak hanya sebatas pada ekonomi, tetapi juga berpotensi menimbulkan ketidakstabilan sosial dan politik. Kesenjangan sosial diprediksi akan terus meningkat, menciptakan jurang antara kaya dan miskin yang semakin dalam.
“Kalau kondisi global memburuk, daya tahan ekonomi kita bisa sangat tertekan,” ungkap salah satu peneliti dalam diskusi tersebut.
Situasi ini juga bisa memicu ketidakstabilan sosial yang lebih serius di masa depan, apalagi dengan melemahnya kelompok kelas menengah yang selama ini menjadi salah satu penopang stabilitas sosial.
Fenomena ini jelas menjadi tantangan besar bagi perekonomian Indonesia. Pertanyaan besarnya: bagaimana langkah pemerintah ke depan dalam menghadapi penurunan kelas menengah ini? Di tengah impian pertumbuhan ekonomi yang tinggi, realitasnya justru makin mengkhawatirkan.
Kondisi ini menunjukkan bahwa masih banyak pekerjaan rumah yang harus segera diselesaikan, terutama terkait dengan peningkatan kesejahteraan dan penanggulangan kemiskinan yang lebih substansial. Tantangan untuk menjaga stabilitas ekonomi dan sosial tampaknya akan semakin berat di masa mendatang.