Gelombang PHK Marak di 2025, Ekonom: Perekonomian Indonesia Dalam Kondisi Lampu Kuning

Ilustrasi

JAKARTA, Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang marak sejak awal tahun 2025 menjadi salah satu indikator utama bahwa perekonomian Indonesia sedang menghadapi tantangan besar. Ekonom dari Center of Economics and Law Studies (Celios), Nailul Huda, menilai tingginya angka PHK ini sebagai sinyal bahwa perekonomian Indonesia sedang dalam kondisi “lampu kuning”.

Menurut Nailul Huda, sektor-sektor dalam negeri saat ini tengah menghadapi tekanan berat, baik akibat faktor global maupun domestik. Salah satu sektor yang paling terdampak adalah industri tekstil dan produk tekstil (TPT). Permintaan dari dua pasar utama Indonesia, yaitu China dan Amerika Serikat, mengalami penurunan signifikan dalam dua tahun terakhir. Hal ini membuat sektor tekstil domestik terpaksa menyesuaikan produksi dengan lemahnya permintaan ekspor.

Read More

“Industri tekstil saat ini sangat tertekan, terutama dengan menurunnya permintaan dari dua pasar utama, China dan Amerika Serikat. Ini mengarah pada penurunan produksi dan meningkatnya potensi PHK di sektor ini,” jelas Huda.

Selain itu, Huda juga mengungkapkan bahwa masuknya produk impor, khususnya dari China, semakin memperburuk kondisi industri domestik. Kebijakan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 8 Tahun 2024, yang mempermudah arus barang impor, turut memperparah persaingan di pasar dalam negeri.

“Produk China yang lebih murah banyak diminati oleh masyarakat dibandingkan produk lokal. Bahkan, dugaan masuknya barang impor secara ilegal semakin memperburuk situasi, karena menambah tekanan pada industri dalam negeri,” ujar Huda.

Penyebab lainnya, Huda melanjutkan, adalah rendahnya kualitas pertumbuhan ekonomi Indonesia saat ini. Pada masa lalu, pertumbuhan ekonomi sebesar 1% dapat menyerap lebih dari 400 ribu tenaga kerja, namun saat ini angka tersebut turun drastis, hanya mampu menyerap sekitar 100 ribu tenaga kerja per 1% pertumbuhan ekonomi.

“Ini berisiko memperburuk tingkat kemiskinan dan ketimpangan sosial dalam jangka menengah hingga panjang,” imbuhnya.

Kontribusi sektor manufaktur terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia juga terus menurun, dengan proporsi saat ini hanya sekitar 18%, jauh lebih rendah dibandingkan satu dekade lalu yang sempat menyentuh lebih dari 20%. Penurunan ini menunjukkan adanya kelemahan struktural dalam perekonomian Indonesia yang perlu segera diperbaiki.

Huda memperingatkan bahwa dengan kondisi yang ada saat ini, gelombang PHK diprediksi masih akan terus berlanjut dalam satu hingga dua tahun ke depan. Jika hal ini dibiarkan tanpa upaya serius untuk memperbaiki struktur ekonomi dan daya saing industri domestik, maka dapat berisiko memperburuk keadaan ekonomi Indonesia.

“Indeks manufaktur atau Purchasing Managers’ Index (PMI) yang masih belum menunjukkan perbaikan, menunjukkan bahwa sektor-sektor manufaktur Indonesia masih menghadapi tekanan yang besar,” ungkapnya.

Untuk menghadapi tantangan ini, para ekonom dan pelaku industri menyarankan pemerintah untuk memperkuat kebijakan yang mendukung penguatan sektor manufaktur domestik, termasuk dengan memperketat regulasi impor dan mendukung industri lokal agar lebih kompetitif. Selain itu, perbaikan kualitas pertumbuhan ekonomi yang mampu menyerap lebih banyak tenaga kerja juga menjadi hal yang perlu diperhatikan untuk mengurangi tingkat pengangguran dan ketimpangan sosial.

Jika kondisi ini dibiarkan berlarut-larut, ekonomi Indonesia berisiko menghadapi dampak yang lebih buruk, termasuk meningkatnya angka kemiskinan dan ketidakstabilan sosial.

Related posts

Leave a Reply