JAKARTA, Tokoh-tokoh di kawasan Asia Pasifik, termasuk Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Indonesia, Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), ISEAS, Honey Consulting Ltd. dan Huawei menyerukan inisiatif untuk mengembangkan potensi perdagangan digital di kawasan tersebut serta Asia Tenggara.
“Perdagangan digital adalah penggerak perdagangan di ASEAN yang menjanjikan, baik selama pandemi maupun pasca-pandemi,” kata Direktur dan CEO ISEAS – Yusof Ishak Institute, Choi Shing Kwok, dikutip melalui keterangannya, Jumat.
Pandemi COVID-19 telah mempercepat proses adopsi teknologi digital. ASEAN memprediksikan bahwa ekonomi digital akan menyumbang sebesar 1 triliun dolar AS untuk PDB regional.
Sementara, data dari pihak ketiga menunjukkan 132 persen populasi Asia Tenggara telah memiliki koneksi seluler dan 463 juta orang merupakan pengguna internet.
“Dengan mengurangi biaya perdagangan dan meningkatkan produktivitas, teknologi digital seperti IoT, AI, dan 3D printing dapat meningkatkan pertumbuhan perdagangan di negara-negara berkembang, termasuk di kawasan ASEAN, dengan tingkat pertumbuhan sebesar 2,5 persen per tahun atau setara 22,5 persen dari 2021 hingga 2030,” imbuhnya.
Senior Vice President of Global Trade Affairs Huawei, Craig Burchell, menambahkan, perdagangan digital menawarkan kesempatan emas dalam berkolaborasi untuk mencapai tujuan bersama, antara lain pemulihan ekonomi regional dan mengatasi situasi krisis.
Burchell merujuk kepada laporan terbitan The Economist mengenai Costs of Deglobalizing World Trade sebagai sinyal peringatan terhadap praktik decoupling pada tatanan ekonomi global, serta untuk menyerukan kolaborasi yang makin erat.
Poin lainnya adalah menganjurkan kebijakan Teknologi bagi Semua, atau “Technology for All”, demi optimalisasi layanan digital seperti 5G, Cloud, dan AI yang memungkinkan peluang perdagangan baru bagi semua kalangan.
Lebih lanjut, Head of the Trade and Productivity Division at OECD, Annabelle Mourougane, mengatakan perkembangan dalam bidang statistik akan dibutuhkan untuk mengembangkan tolok ukur perdagangan digital.
“Hal ini akan mendukung analisa berbasis fakta yang juga melandasi pilihan investasi serta pembuatan kebijakan perusahaan. Semua pelaku, termasuk penyedia TIK dan teknologi, harus terlibat dalam memajukan pemikiran dalam lingkungan yang cepat berubah. Digital Trade White Paper oleh Huawei merupakan suatu kontribusi yang bermanfaat bagi permasalahan ini,” katanya.
Principal of Honey Consulting Ltd, Stephanie Honey, mencatat bahwa meskipun Asia Tenggara memiliki komunitas dan pasar bisnis digital yang baik, namun peraturan perdagangan yang terbagi-bagi, baik di dalam maupun di luar kawasan tersebut, menyebabkan ekonomi digital tidak bisa mencapai potensi maksimalnya.
Sehingga, sangat penting untuk mengadakan kolaborasi, fleksibilitas, dan partisipasi dari para pemangku kepentingan dalam membuat peraturan baru perdagangan digital, serta untuk mengintegrasikan pendekatan di sebanyak mungkin ekonomi.
Ada sejumlah kesepakatan regional inovatif yang bisa dijadikan model, termasuk Digital Economy Partnership antara Singapura, Selandia Baru, dan Chile.
Mengingat beberapa perbedaan yang tampak pada pendekatan yang diterapkan para blok perdagangan terbesar di dunia terkait teknologi digital, Craig Burchell menekankan pentingnya kolaborasi untuk mengatasi perbedaan-perbedaan tersebut.
“Ada kebutuhan terhadap kolaborasi yang lebih erat untuk menghasilkan aturan baru dan tata kelola ekosistem digital global yang lebih baik. Pekerjaan ini akan diuntungkan dari pendekatan inklusif yang ditujukan untuk mengejar koeksistensi dan interoperabilitas ketimbang konvergensi,” ujarnya.