JAKARTA, Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) dinilai berpotensi menjadi beban keuangan baru bagi PT Perusahaan Listrik Negara (PLN). Hal ini disampaikan Direktur Ekonomi Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, yang menilai proyek tersebut memiliki rantai pasok rumit dan biaya investasi tinggi.
“Pembelian listrik dari PLTSa swasta menjadi lebih mahal bagi PLN,” ujar Bhima kepada Kontan, Selasa (4/11/2025).
Menurut Bhima, biaya investasi dan pengelolaan sampah yang tidak efisien membuat PLTSa sulit menjadi solusi energi berkelanjutan. Dari sisi hulu, tidak semua jenis sampah dapat diolah menjadi energi. Sementara itu, di sisi hilir, pemilahan sampah justru menambah beban biaya operasional.
Bhima menilai, jika tujuan pemerintah adalah meningkatkan porsi energi terbarukan, maka seharusnya PLN memprioritaskan energi bersih lain seperti panel surya dan pembangkit tenaga air (hidro) yang lebih efisien dan ramah lingkungan.
“Panel surya yang dilengkapi battery energy storage bisa menjadi base load. Sementara PLTSa masih menggunakan pembakaran, sehingga tidak sepenuhnya bisa dikategorikan sebagai energi terbarukan,” jelas Bhima.
Menurutnya, teknologi PLTSa di Indonesia saat ini masih bergantung pada proses pembakaran (incineration), yang justru menghasilkan emisi karbon cukup besar.
“Sejumlah studi menunjukkan pembakaran tersebut dapat melepaskan emisi karbon rata-rata 0,54 kilogram CO₂ per kWh,” ungkapnya.
Selain masalah emisi, Bhima juga menyoroti skema pembelian listrik (feed-in tariff) dari PLTSa oleh PLN yang dinilai memberatkan secara finansial. Tarif listrik PLTSa yang lebih mahal dari sumber energi lain membuat subsidi listrik berpotensi terus meningkat.
“Skema feed-in tariff akhirnya menjadi beban bagi PLN karena subsidi listriknya terus ditambah,” kata Bhima.
Sementara itu, pemerintah melalui Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara) akan menggelar tender proyek PLTSa di tujuh kota pada 6 November 2025. Proyek ini disebut sebagai bagian dari upaya percepatan pengelolaan sampah nasional sekaligus mendukung target kota bersih bebas sampah.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto juga menyebut bahwa pemerintah menargetkan 33 proyek PLTSa akan dibiayai melalui Patriot Bond, sebuah instrumen pembiayaan hijau untuk infrastruktur lingkungan.
Namun, Celios menilai langkah tersebut perlu dikaji ulang agar tidak membebani keuangan PLN dan tetap sejalan dengan komitmen transisi energi hijau.
Bhima menegaskan, upaya mengurangi ketergantungan pada energi fosil harus dilakukan secara berkelanjutan dan berbasis pada efisiensi.
“Kalau memang ingin memperluas bauran energi hijau, maka fokus sebaiknya ke sumber energi yang benar-benar terbarukan, bukan sekadar pengelolaan sampah,” tutup Bhima.







