DKI Jakarta memang kerap dilanda banjir bahkan sejak zaman Hindia Belanda. Selain karena letak geografis yang lebih rendah dibandingkan wilayah Puncak Bogor yang menjadi hulu dari sungai-sungai besar yang bermuara di Jakarta, juga akibat daya dukung dan daya tampung lingkungan yang terus menurun.
Banjir di Ibu Kota Jakarta dan sejumlah daerah lainnya pada awal tahun 2020 menjadi salah satu yang terburuk, namun bukan yang pertama kali terjadi. Faktor hujan lebat tanpa henti sepanjang Selasa sore (31/12) hingga Rabu pagi (1/1) disebut-sebut sebagai penyebab banjir terparah setelah banjir yang melanda Jakarta pada 1996, selain juga persoalan subsidens (gerakan permukaan bumi ke bawah).
Oktober 2019, publikasi ilmiah milik Scott A Kulp dan Benjamin H Strauss di Nature Communications berjudul New elevation data triple estimates of global vulnerability to sea-level rise and coastal flooding menyebutkan sampai dengan 340 juta orang diproyeksikan akan hidup di bawah level perkiraan banjir tahunan di pertengahan abad 21. Saat itu, diperkirakan peningkatan muka air laut sebagai dampak pemanasan global akan mencapai 20-30 sentimeter (cm).
Saat ini, lebih dari 70 persen orang yang hidup di lokasi yang diperkirakan akan terdampak banjir permanen tersebut ada di delapan negara di Asia, diantaranya China, Bangladesh, India, Vietnam, Thailand, Filipina, Jepang dan Indonesia. Kulp dan Strauss memasukkan Jakarta dalam pemodelannya, lalu apakah benar Jakarta akan tenggelam?
Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mencatat curah hujan saat itu salah satu yang terekstrem, di atas 150 milimeter (mm) per hari, sepanjang pencatatan stasiun observasi BMKG selama 150 tahun terakhir. Bahkan peristiwa itu merupakan yang tertinggi selama ada pencatatan hujan sejak 1866 yang dilakukan Belanda.
Pengukuran BMKG menunjukkan curah hujan tertinggi tercatat terjadi di Bandara Halim Perdanakusuma yang mencapai 377 mm per hari, di TMII 335 mm per hari, Kembangan 265 mm per hari, Pulo Gadung 260 mm per hari, Jatiasih 260 mm per hari, Cikeas 246 mm per hari dan di Tomang 226 mm per hari.
Analisis beberapa kejadian banjir besar di Jakarta pada masa lalu, misal yang terjadi pada tahun 1918, 1979, 1996, 2002, 2007, 2013, 2014, dan 2015 memang dapat dikaitkan dengan kejadian curah hujan ekstrem yang terjadi dalam satu hingga dua hari, dan fenomena meteorologis yang membentuknya.
Deputi bidang Klimatologi BMKG Herizal mengatakan, pengkajian data historis curah hujan harian BMKG selama 150 tahun (1866-2015), terdapat kesesuaian tren antara semakin seringnya kejadian banjir signifikan di Jakarta dengan peningkatan intensitas curah hujan ekstrem tahunan sebagaimana terjadi pada 1 Januari 2020.
Jika melihat data selama 43 tahun terakhir untuk curah hujan harian tertinggi per tahun di wilayah Jabodetabek, terindikasi ada tren kenaikan intensitas 10 hingga 20 mm per dekade.
Sedangkan analisis statistik ekstrem data series 150 tahun dari Stasiun Jakarta Observatory BMKG untuk perubahan risiko dan peluang terjadinya curah hujan ekstrem penyebab kejadian banjir dengan perulangan sebagaimana periode ulang kejadian 2014, 2015 dan termasuk bila kejadian 2020 diperhitungkan, maka menunjukkan ada peningkatan dua hingga tiga persen bila dibandingkan dengan kondisi iklim 100 tahun lalu di Jakarta.
Hal ini menandakan hujan-hujan besar yang dulu jarang, kini lebih berpeluang kerap hadir pada kondisi iklim saat ini.
Anomali suhu
Analisis meteorologis pada 1 Januari 2020 menunjukkan curah hujan ekstrem tersebut dipengaruhi oleh penguatan aliran monsun Asia dan indikasi jalur daerah konvergensi massa udara atau pertemuan angin monsun intertropis (ITCZ) tepat berada di atas wilayah Jawa bagian utara.
ITCZ memicu pertumbuhan awan yang sangat cepat, tebal, dan masif akibat penguapan dari lautan sekitar Pulau Jawa yang sudah menghangat dan menyuplai kelimpahan massa uap air bagi atmosfer di atasnya. Penghangatan suhu muka laut tersebut tidak lepas dari kenaikan suhu global.
Berdasarkan hasil pengolahan tren suhu di Indonesia secara umum baik. Suhu minimum, rata-rata dan maksimum memiliki tren yang bernilai positif dengan
besaran yang bervariasi sekitar 0,03 derajat Celcius setiap tahunnya. Dalam artian, bahwa suhu akan mengalami kenaikan 0,03 derajat Celcius setiap
tahunnya sehingga dalam 30 tahun akan mengalami kenaikan sebesar 0,9 derajat Celcius.
Berdasarkan hasil pengamatan data selama 1981-2019, maka anomali suhu udara Indonesia pada Desember 2019 menduduki peringkat kedua sepanjang periode tersebut, mencapai 0,92 derajat Celcius.
Suhu udara normal pada bulan Desember di Indonesia periode 1981-2010 mencapai 26,54 derajat Celcius, sedangkan suhu udara rata-rata di bulan Desember 2019 sebesar 27,46 derajat Celcius. Sehingga Herizal mengatakan terjadi anomali peningkatan suhu udara rata-rata sebesar 0,92 derajat Celcius.
Anomali suhu udara rata-rata bulan Desember 2019 yang diamati di seluruh stasiun pengamatan BMKG di Indonesia ternyata menunjukkan tren yang umumnya terjadi peningkatan suhu. Data observasi anomali suhu udara yaitu perbandingan suhu udara pada tahun tertentu relatif terhadap periode normal, dalam hal ini adalah rentang waktu 1981-2010, menunjukkan bahwa 2016 merupakan tahun terpanas di Indonesia dengan nilai anomali sebesar 0,8 derajat Celcius sepanjang periode pengamatan.
Sedangkan tahun 2019 menempati urutan kedua dengan anomali sebesar 0,58 derajat Celcius, sedangkan tahun 2015 di peringkat ketiga dengan anomali 0,5 derajat Celcius.
Kepala bidang Analisis Variabilitas Iklim BMKG Indra Gustari mengatakan berdasarkan catatan lembaga tersebut kondisi iklim yang berubah drastis dengan
berbagai fenomena yang menyertainya, termasuk anomali suhu, juga turut memicu kejadian hujan ekstrem.
“Kita lihat ada dua, memang tidak merata ada yang meningkat ada yang menurun. Jadi tidak seragam perubahannya, namun sebagian besar trennya hujan ekstrem meningkat,” kata Indra.
BMKG menggunakan tiga skenario dalam simulasi proyeksi iklim hingga 2032-2040. Skenario tersebut yaitu yaitu skenario terburuk jika tanpa ada upaya sama sekali untuk perbaikan lingkungan, skenario biasa yaitu jika tanpa upaya optimal dan skenario optimis jika dibarengi upaya masyarakat.
Sebagai gambaran, dengan skenario biasa, BMKG memprediksikan wilayah Aceh dan sebagian Nusa Tenggara Timur akan mengalami perubahan curah hujan 40 persen lebih tinggi.
Curah hujan ekstrem
Lalu bagaimana tren curah hujan ekstrem di Indonesia? Jika melihat data yang telah dikumpulkan dari beberapa tahun sebelumnya, BMKG menemukan bahwa curah hujan ekstrem intensitasnya akan semakin ekstrem untuk beberapa waktu ke depan.
“Contohnya jika sebelumnya, beberapa tahun lalu itu 200, semakin ke sini bisa mencapai 250, 300 dan 300 sekian, jadi semakin meningkat jumlah atau intensitasnya,” kata Indra.
Berdasarkan data intensitas curah hujan saat terjadi banjir besar sejak 1996 menunjukkan curah hujan ekstrem cenderung memiliki tingkat yang bervariasi dan berubah-ubah. Misalnya pada 1996, curah hujan tertinggi tercatat 216 mm per hari, sedangkan di 2006 curah hujan tertinggi mencapai 168 mm per hari.
Pada 2007, saat banjir besar juga terjadi di Jabodetabek, curah hujan meroket hingga 340 mm per hari, namun turun lagi menjadi 250 mm per hari pada 2008. Yang menarik, saat Istana Kepresidenan kebanjiran di 2013, curah hujan paling signifikan saat itu ada di angka 100 mm per hari.
Curah hujan tertinggi kembali meningkat saat Jakarta kembali kebanjiran di 2015, angkanya mencapai 277 mm per hari. Sedangkan curah hujan paling signifikan di 2016 mencapai 100 hingga 150 mm per hari.
Sementara itu, Indra mengatakan BMKG dalam skenario proyeksi iklimnya memprediksikan terjadinya kenaikan curah hujan yang lebih ekstrem di beberapa daerah tertentu dan musim kemarau yang cenderung lebih kering pada periode 2032-2040. BMKG menggunakan tiga skenario proyeksi iklim yaitu skenario terburuk, skenario biasa dan skenario optimis.
Skenario terburuk dibuat didasarkan kondisi iklim yang terjadi dengan pengaruh perubahan iklim tanpa ada upaya perbaikan yang dilakukan. Skenario biasa atau business as usual yaitu skenario yang memprediksikan potensi perubahan cuaca yang dikaitkan dengan kurang optimalnya upaya masyarakat untuk memperbaiki kondisi lingkungan. Sementara skenario optimis, jika dibarengi dengan upaya maksimal dari masyarakat.
Semakin ekstrem
Berdasarkan prediksi dengan skenario biasa, BMKG memperkirakan akan ada peningkatan curah hujan. Tetapi ketika kemarau, cuacanya cenderung lebih kering.
“Jadi secara umum ada daerah-daerah yang sebagian besar akan mengalami curah hujan ekstrem,” katanya.
Sedangkan berdasarkan prediksi melalui skenario biasa yang dibandingkan dengan 2006-2014, pada 2032-2040 di daerah Aceh, Riau, Jambi, Sumatera Selatan diprediksi akan mengalami kenaikan curah hujan dengan persentase sekitar 20 sampai 40 persen dibandingkan dengan rata-rata curah hujan pada periode sebelumnya.
Sedangkan Kalimantan Timur dan Gorontalo diprediksi akan mengalami penurunan curah hujan sekitar 20 persen seiring dengan cuaca pada musim kemarau yang diprediksi cenderung lebih kering.
Untuk jangka panjang potensi cuaca ekstrem yang diindikasikan oleh curah hujan yang cukup tinggi, sangat dipengaruhi oleh konsentrasi gas rumah kaca dan pemanasan global. “Seberapa kuat pemanasan global atau konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer itu akan terjadi dalam beberapa puluh tahun ke depan,” kata Indra.
Peningkatan konsentrasi gas rumah kaca tersebut yang, menurut dia, sangat dipengaruhi oleh pola hidup masyarakat yang kemudian sangat menentukan kondisi iklim di masa mendatang.