JAKARTA, Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Uli Artha Siagian, mengungkapkan dugaan korupsi besar-besaran di sektor sumber daya alam (SDA) yang melibatkan puluhan korporasi di Indonesia. Ia menyebut, praktik korupsi tersebut tidak hanya menimbulkan kerugian material bagi negara, tetapi juga menghilangkan relasi masyarakat dengan alam yang nilainya tak ternilai.
Uli mengatakan WALHI telah melaporkan 76 korporasi yang diduga kuat melakukan korupsi SDA kepada Kejaksaan Agung sejak beberapa bulan lalu. Dari laporan tersebut, lembaganya menaksir kerugian negara mencapai sekitar Rp437 triliun, berasal dari 47 korporasi yang telah dihitung indikasi kerugiannya.
“Dari laporan tersebut, WALHI menaksir adanya kerugian negara kurang lebih sebesar Rp437 triliun yang berasal dari 47 korporasi,” ujar Uli dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Rabu (10/12/2025).
Menurut Uli, sebagian besar perusahaan yang dilaporkan bergerak di sektor pertambangan, perkebunan, serta pemegang izin pemanfaatan hutan. Ia menegaskan korupsi SDA merupakan bentuk penyalahgunaan kekuasaan yang berdampak langsung pada kerusakan lingkungan dan hilangnya hubungan masyarakat dengan alam.
Ia menambahkan bahwa kerugian akibat korupsi SDA tidak dapat dihitung hanya dari sisi finansial. “Selain kerugian secara material, ada kerugian-kerugian yang sebenarnya tidak bisa dihitung oleh uang, yaitu relasi antara masyarakat dengan alam yang hilang,” ujarnya.
Bagi masyarakat adat, jelas Uli, hutan memiliki makna lebih dalam daripada sekadar sumber ekonomi. Hutan adalah ruang hidup, identitas, dan tempat leluhur. Sehingga ketika korupsi perizinan menyebabkan hilangnya hutan, relasi spiritual dan kultural yang melekat turut sirna.
WALHI juga menemukan sejumlah modus korupsi SDA yang dilakukan korporasi, antara lain pembalakan liar yang dilegalkan melalui praktik suap serta penyalahgunaan kewenangan melalui perubahan tata ruang secara masif.
Lebih jauh, Uli menyoroti kebijakan negara yang dinilai justru membuka ruang “pemutihan” pelanggaran melalui mekanisme administratif. Ia menyinggung ketentuan dalam UU Cipta Kerja yang memberikan kesempatan bagi korporasi pelanggar untuk mengubah aktivitas ilegal menjadi legal.
“Budaya hukum di Indonesia masih memberi ruang bagi korporasi untuk memutihkan kejahatan-kejahatan lingkungan,” ujarnya.
WALHI pun mendesak Kejaksaan Agung untuk memproses laporan tersebut secara transparan dan memastikan penegakan hukum tidak berhenti pada aktor lapangan, melainkan menyasar para pengambil kebijakan dan pemilik modal yang menikmati keuntungan terbesar dari kejahatan SDA.







