Wacana Perubahan Sistem Pemilu Meningkat, DPR Ingatkan Perlu Diskusi Mendalam

Ilustrasi Kotak Suara di TPS. ANTARA FOTO/Umarul Faruq/pd.

JAKARTA, Wacana perubahan sistem pemilu di Indonesia semakin bergulir setelah banyaknya Pemungutan Suara Ulang (PSU) dalam Pilkada 2024, yang merupakan dampak dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Menanggapi hal ini, Wakil Ketua DPR RI, Cucun Ahmad Syahrurijal, mengingatkan agar setiap perubahan sistem kepemiluan dilakukan dengan kehati-hatian. Ia menekankan pentingnya proses diskusi mendalam dengan para akademisi untuk merumuskan sistem politik terbaik yang sesuai dengan kebutuhan Indonesia.

Cucun mengatakan bahwa perubahan sistem pemilu ini harus dipikirkan secara matang dan didiskusikan dengan para ahli. “Ya nanti formatnya pasti para ahli, kemudian juga akademisi akan memberikan masukan. Seperti apa yang lebih bagus, sistem politik yang harus dijalankan untuk ke depan,” ujar Cucun saat ditemui wartawan di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat, Kamis (6/3/2025).

Read More

Terkait kemungkinan perubahan sistem kepemiluan melalui omnibus law politik, Cucun mengungkapkan bahwa hal tersebut masih belum diputuskan. Ia menegaskan bahwa ada beberapa aspek spesifik dalam sistem politik yang perlu diperhatikan, seperti Undang-Undang Partai Politik, Pilkada, Pemilihan Presiden (Pilpres), dan Pemilihan Legislatif (Pileg). Oleh karena itu, ia menilai bahwa perubahan sistem politik ini belum tentu dapat dimasukkan dalam omnibus law. “Belum sepakat juga, belum tentu omnibus, bisa tetap parsial ya. Karena ada kekhususan-kekhususan, misalkan di undang-undang partai politik dengan pilkadanya, dengan pilpres dan pilegnya itu ada kekhasan. Belum tentu juga omnibus bisa terwujud, kan baru wacana,” katanya.

Sebelumnya, Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR, Ahmad Doli Kurnia, juga menekankan bahwa perbaikan sistem politik Indonesia sangat mendesak, mengingat banyaknya PSU yang terjadi dalam Pilkada 2024. Doli mengungkapkan bahwa berdasarkan putusan MK, sebanyak 24 daerah di Indonesia diperintahkan untuk menggelar PSU, jumlah yang terbanyak dalam sejarah pemilu Indonesia. Ia menilai hal ini mencerminkan adanya ketidakcermatan dalam penyelenggaraan pemilu dan pilkada.

“PSU ini akibat ketidakcermatan para penyelenggara pemilu. Kami di DPR dan pemerintah harus melihat ini sebagai bahan evaluasi untuk memperbaiki sistem politik kita,” ujar Doli. Ia menambahkan bahwa perbaikan sistem politik di Indonesia sudah sangat mendesak dan harus dilakukan bukan hanya pada level undang-undang, tetapi juga mulai mempertimbangkan kemungkinan amendemen terhadap UUD 1945.

Dalam acara diskusi bertajuk “Urgensi Perbaikan Sistem Politik di Indonesia,” Doli menegaskan bahwa Indonesia harus berani untuk melakukan perubahan dan penyempurnaan dalam sistem politiknya. Ia berharap, dengan adanya refleksi atas banyaknya PSU dan masalah lain yang muncul dalam penyelenggaraan pemilu, Indonesia dapat segera memikirkan langkah-langkah konkret untuk memperbaiki dan menyempurnakan sistem yang ada.

Sistem politik Indonesia, khususnya terkait pemilu dan pilkada, menjadi sorotan publik pasca banyaknya persoalan yang terjadi dalam gelaran Pilkada 2024. Dengan banyaknya daerah yang harus menggelar PSU, wacana perubahan sistem pemilu semakin mengemuka. Diskusi lebih lanjut dengan para akademisi dan ahli diharapkan dapat menghasilkan sistem politik yang lebih baik untuk masa depan Indonesia.

Related posts

Leave a Reply