JAKARTA, Uni Eropa (UE) tengah merancang kebijakan baru yang bertujuan untuk memperketat pengawasan terhadap impor pangan yang tidak memenuhi standar ketat mereka. Rencana ini, yang diumumkan dalam sebuah dokumen yang diterbitkan pada Rabu (19/2/2025), menandai langkah tegas UE untuk melindungi sektor pertanian mereka dari praktik impor yang dianggap merugikan.
Salah satu sorotan utama dari kebijakan baru ini adalah komitmen untuk memastikan bahwa produk impor tidak mengandung pestisida berbahaya yang sudah dilarang di UE karena alasan kesehatan dan lingkungan. Ini berarti UE berencana untuk mencegah masuknya produk pangan yang menggunakan bahan kimia berbahaya, meskipun dokumen tersebut tidak menyebutkan produk atau negara tertentu yang terpengaruh oleh kebijakan ini.
Sebagai bagian dari upaya untuk menyelaraskan standar produksi di dalam dan luar UE, Brussels juga berencana untuk memperkenalkan aturan yang lebih ketat terkait persaingan dengan produk impor. Langkah ini diambil untuk mencegah sektor pertanian UE “dirugikan secara kompetitif,” seperti yang tertulis dalam draf dokumen tersebut.
Luc Vernet dari lembaga pemikir Farm Europe menyatakan bahwa meskipun dokumen ini cukup berhati-hati, tujuannya adalah untuk meredakan ketegangan di sektor pertanian dan memastikan bahwa kebijakan ini dapat diterima oleh semua pihak yang terlibat.
Selain ketegasan terhadap produk impor, Uni Eropa juga mengungkapkan niatnya untuk melakukan reformasi besar terhadap Kebijakan Pertanian Bersama (CAP). Salah satu perubahan yang dijanjikan adalah pemangkasan birokrasi dan penyaluran subsidi yang lebih tepat sasaran. Subsidi besar-besaran kini akan ditujukan kepada petani yang paling membutuhkan, menggantikan kebijakan sebelumnya yang banyak memberikan bantuan kepada petani besar yang tidak membutuhkan.
“Sebagian besar uang sekarang diberikan kepada sebagian kecil petani yang tidak memerlukan. Ini adalah pergeseran paradigma,” ujar seorang pejabat UE yang terlibat dalam penyusunan kebijakan ini.
Selain itu, lebih banyak dana akan dialokasikan untuk petani muda dan mereka yang berkontribusi pada pelestarian lingkungan. Kebijakan baru ini juga bertujuan untuk menyederhanakan akses pendanaan bagi petani skala kecil dan menengah, yang selama ini seringkali terhambat oleh prosedur yang rumit.
Visi ini juga menyerukan kepada 27 negara anggota UE untuk mengurangi ketergantungan terhadap rantai pasokan tertentu dan lebih mendiversifikasi sumber impor mereka. Salah satu area yang menjadi perhatian khusus adalah impor pupuk dari Rusia, yang selama ini menjadi salah satu bahan baku penting dalam sektor pertanian Eropa.
Sektor pertanian dan pangan Eropa menyumbang 1,3% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) UE pada tahun 2023, dan mempekerjakan sekitar 30 juta orang, atau 15% dari total lapangan kerja di UE. Oleh karena itu, perubahan kebijakan ini diperkirakan akan mempengaruhi banyak pihak, termasuk petani dan perusahaan yang bergantung pada pasokan dari luar Eropa.
Sementara itu, kebijakan baru Uni Eropa ini kemungkinan akan berdampak pada negara-negara penghasil produk pertanian besar, termasuk Indonesia. Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia terlibat dalam perdebatan dengan UE terkait regulasi deforestasi yang mempengaruhi ekspor produk sawit Indonesia ke Eropa. Uni Eropa menganggap bahwa beberapa produk sawit Indonesia mungkin tidak memenuhi standar lingkungan yang ditetapkan, yang menjadi dasar untuk pembatasan impor.
Regulasi ini mengatur sejumlah komoditas, termasuk kayu, karet, sapi, kopi, kakao, minyak kelapa sawit, dan kedelai. Berdasarkan peraturan tersebut, setiap produk yang melibatkan bahan-bahan ini dalam proses produksinya harus memenuhi standar yang ditetapkan oleh Uni Eropa. Jika hal ini dilaksanakan, bisa berdampak pada ekspor Indonesia ke pasar Eropa.
Peraturan ini, yang mulai berlaku pada 29 Juni 2023, sebelumnya dijadwalkan untuk diterapkan pada 30 Desember 2024, namun kini diundur hingga 30 Desember 2025 untuk pedagang besar dan hingga 30 Juni 2026 untuk perusahaan kecil dan mikro.
Visi untuk Pertanian dan Pangan ini, yang akan dipresentasikan dalam 100 hari pertama pemerintahan baru UE, berfokus pada daya saing dan keberlanjutan sektor pertanian dalam batasan sumber daya planet. Meskipun belum ada kepastian mengenai dampak jangka panjang dari kebijakan ini terhadap sektor global, termasuk Indonesia, perubahan ini dipastikan akan memicu dinamika baru dalam perdagangan pertanian dunia.
Sebagai langkah awal, Komisaris Pertanian UE, Christophe Hansen, menyatakan bahwa visi ini bertujuan untuk memastikan keberlanjutan jangka panjang sektor pertanian Eropa, dengan memperhatikan tantangan lingkungan dan perubahan iklim yang semakin mendesak.