Tulisan ini merangkup beberapa tips cepat mendapatkan saham-saham unggulan. Namun sebelumnya perlu kita ketahui ada 4 kategori saham:
- Saham unggulan (berada di kelas unggulan dan tiap tahun juara di sektornya)
- Saham pas2an (menguntungkan tapi nilai rapornya cuman 6)
- Saham tidak konsisten (kadang juara, kadang nggak naik kelas)
- Saham Jelek (kuliah 23 tahun belum tamat2!!!)
Kayaknya saya nggak usah kasih penjelasan buat tipe2 saham di atas kan?
So kunci utama biar bisa hemat waktu adalah kita jangan buang2 bergulat dengan saham2 kategori 2 sampai 4. Habisin tenaga dalam saja! Fokus saja pada saham unggulan and kita bisa punya banyak waktu untuk keluarga. Kalo ada yang bagus, kenapa pilih yang pas2an apalagi yang jelek?
Jangan frustasi jika hanya menemukan sedikit saham unggulan karena faktanya memang demikian. Bagi yang pernah ikutan seminar Tung Desem, anda pasti tahu bahwa cuma 1% orang di dunia in yang bener2 sangat kaya. Ironisnya, mereka mengusai 50% perputaran uang di dunia. Fakta yang sama juga terjadi di perusahaan. Kalau mau dibilang mungkin juga cuma 1-5% saham unggulan di IHSG.
Lagian menurut si Peter Lynch, adalah lebih optimal jika kita memfokuskan uang kita di 5 saham aza. Sehingga kita bisa mengenal dan mengikuti perkembangan saham-saham tersebut dengan baik.
Berikut adalah tips cepat mendapatkan saham-saham unggulan:
Screening Awal (sebelum hitung2an):
- Screening P/L statement. Lihat Sales, Operating Profit, dan Net Profit. Setiap tahun positif? Kalau tidak, langsung dipecat saja! Liat saham lain… hehe. Atau kalau kira2 rasa ada prospek (maximum cuma 1 tahun negatif), taruh di keranjang dengan label “Akan direview kembali kalo sempat”.
- Screening Balance Sheet. Lihat Assets dan Equities. Tiap tahun bertambah? Paling tidak harus menunjukkan trend bertambah! Kalo nggak bertambah, liat perusahaan ada membagikan dividen yang membesar? Kalo nggak juga, dipecat saja. Cari sampai dapat Asset & Equities yang bertambah haha. Jangan buang waktu.
- Screening CF. Kalau ada 1 tahun aza CF yang minus, pecat!!! Sebuah perusahaan bagus harus mampu mencetak laba dan CF positif kapan pun juga, sekalipun keadaan ekonomi lagi lesu. Bukan terbawa arus, ikutan terombang ambing! Market bagus untung, market tidak bagus rugi.
- Kalo udah ok, let’s move on!
Download data dan buat spreadseets hitungan:
- Buat Grafik B/S, yang terdiri dari: Asset, Equities, Liabilities. Lebih mudah melihat gambar daripada angka. Liat trend di grafik, apakah bertambah?
- Buat Grafik P/L, yang terdiri sales, operating profit dan net profit. Lihat apakah pertumbuhan seirama? Konsisten?
- Analisa ROE. Harus konsisten di atas 25% (karena Yield Goverment bond udah 14%). Kalo nggak, pecat! Kita cuma mau saham unggulan, pas-pasan out!
- Analisa ROA. Harus konsisten di atas 20%. Kalo nggak pecat!
- Analisa DER. Lebih dari 3, out! Resiko terlalu besar. Nilai harus konsisten dan kalo bisa menurun! (ada pengecualian untuk saham2 Bank!). Penjelasannya bisa diliat di Information Centre.
- Analisa Quick Ratio. Yang ini bisa ditoleransi. Kalo bisa minimum 0.8.
- Analisa Profit Margin. Ini sebenarnya juga bisa ditoleransi. Lakukan study banding dengan saham sejenis. Pilih yang marginnya lebih gede.
Baca Juga : Tiga Trend yang dikenal kalangan Pelaku Pasar
Analisa Harga
Ini yang paling akhir kalo semua kriteria di atas sudah terpenuhi. Jangan buang2 waktu mencari harga wajar saham yang tidak konsisten, atau jelek. Selain susah, margin error kita sangat besar.
Terus terang, saya juga banyak mengalami kesulitan memprediksi pertumbuhan saham2 yang tidak konsisten (terutama yang hari ini untung, besok rugi). Lebih susah lagi kalau sahamny punya CF yang sering negatif.
Catatan akhir!
Beli saham unggulan cuman ketika ada diskon minimal 30% dari harga wajar. Kalo harga masih mahal,play waiting game!!!
Harga wajar
Banyak teman saya bertanya tentang mengapa harga wajar saya bisa berbeda dengan target harga yang dibuat perusahaan2 broker. So sekiranya temen2 yang lain juga bertanya, ini penjelasan saya:
Harga wajar bukan lah target harga. Target harga adalah hasil stimulasi analisa teknikal. Sedangkan harga wajar/intrinsic value adalah perhitungan present value dari potensi CF perusahaan di masa mendatang.
Ini berkaitan dengan time-vale of money. Contohnya jika bunga bank adalah 10%, setelah setahun menabung di bank uang Rp1jt bertambah menjadi Rp1,1jt. Dua tahun kemudian uang kita bertambah menjadi Rp1,21jt,dst.
dec/2007: Rp 1jt
Update terbaru untuk semua saham IDX:
dec/2008: Rp1,1jt
dec/2009:Rp1,21jt
dec/2010:Rp1,331jt
dst
Jadi untuk bunga 10%, Rp 1jt pada thn 2007 = Rp 1,331jt pada tahun 2010. Jika seseorang mengatakan akan memberikan Rp 1,331jt pada tahun 2010, itu sama artinya dengan ia memberikan uang Rp1jt sekarang. Bisa mengerti kan kira2?
Jadi untuk harga wajar, CF-CF dimasa mendatang itu kita ubah menjadi nilai uang sekarang. Setelah dijumlahkan, dapatlah kita harga wajar perusahaan itu.
Sederhananya, harga wajar adalah harga maximum yang boleh kita beli sehingga nilai yang didapat setimpal dengan uang yang kita investasikan. Saya senang mengambil contoh Innova. Seumpanya harga layak innova adalah 200jt. Jika anda membeli dengan harga 200jt, artinya nilai yang anda dapat setimpal dengan uang yang kita bayar. Anda juga tidak merasa tertipu dengan ini.
Jika mungkin karena ada promosi, anda mampu membeli innova dengan harga 150jt. Hal ini berarti anda mendapat discouted price dari harga wajar. Kalo ada yang tahu harga wajar Innova adalah 200jt, mungkin mereka bersedia membeli 180jt dari anda.
But only a fool will buy Innova more than 200jt. haha. Sorry2 bukan untuk menyinggung siapa2. Ada pengalaman pribadi juga kok dulu.
Kalo kita lihat cara warren buffet berinvestasi, dia akan selalu mencari harga2 diskon di pasar. So the question is : kapan ada obral? Jawabannya adalah pada saat resesi. Pernahkah anda mendengar istilah hype is always more than fact. Kalo ekonomi bagus, reaksi pasar adalah seakan2 market 3x lebih bagus daripada faktanya. Kalo ekonomi lagi jelek, reaksi pasar seakan2 hari kiamat udah tiba. Ini yang selalu terjadi.
PE Ratio
Ibarat pisau bedah, rasio harga terhadap laba bersih per saham atau price/earning ratio (PE) sangat sering dipakai oleh analis saham dalam menganalisa mahal-murahnya suatu saham. Tapi, hati-hati, PE sendiri ada berbagai jenis. Ada yang berdasarkan data historis, ada yang menggunakan data proyeksi.
Beberapa waktu lalu, kita telah menyinggung soal rasio harga terhadap laba bersih per saham atau price/earning ratio(PE). Tapi, alangkah baiknya jika kita membahasnya secara lebih mendalam. Sebab, rasio PE merupakan rasio yang paling tua dan paling sering dipakai oleh investor untuk menimbang suatu saham.
Meskipun merupakan indikator yang nampaknya sederhana, PE terkadang tak gampang dipahami. Rasio ini bisa sangat informatif dan berguna, tapi di lain waktu, bisa pula ia hampir tak ada gunanya. Akibatnya, investor sering salah menggunakan PE.
Sesuai namanya, PE adalah rasio harga saham suatu perusahaan terhadap laba bersih per sahamnya. Untuk menghitungnya, kita tinggal membagi harga per saham dengan laba bersih per saham. Adapun laba bersih per saham atau earning per share (EPS) sendiri diperoleh dari membagi laba bersih dengan rata-rata jumlah saham beredarnya.
Harga Saham untuk Menghitung Rasio PE
Harga saham yang dipakai untuk menghitung PE adalah harga saham pada saat ini. Sementara, laba bersih per saham atau EPS-nya, umumnya, menggunakan EPS perusahaan dalam periode sebelumnya, misalnya satu tahun terakhir. Hasil perhitungan seperti ini sering disebut sebagai trailing PE atau gampangnya kita sebut saja PE historis. Nah, sebagian besar PE yang dipublikasikan adalah PE jenis ini.
Namun, kadang kala EPS yang digunakan adalah EPS estimasi untuk periode satu tahun yang akan datang. PE yang menggunakan hitungan seperti ini sering disebut dengan PE proyeksi atau projected PE.
Tidak ada perbedaan sangat besar dari variasi PE itu. Tapi, harus Anda paham bahwa PE yang pertama menggunakan data historis. Sementara, PE proyeksi menggunakan ramalan analis – yang belum tentu tepat — sebagai dasar.?
Jangan terkecoh dengan pecahan harga saham yang tinggi. Saham dengan harga Rp 2.000 per saham belum tentu lebih mahal jika dibandingkan saham berbanderol Rp 1.000 per saham. Untuk bisa menentukan saham mana yang lebih mahal atau lebih murah, investor bisa menggunakan rasio harga terhadap laba per saham atau PE saham tersebut sebagai salah satu alat ukurnya.
Secara teori, PE memberikan gambaran kepada kita seberapa besar investor bersedia untuk membayar setiap rupiah laba bersih yang dihasilkan oleh suatu perusahaan. Jadi, jika rasio PE PT Murah sebesar 20 kali, artinya investor bersedia membayar dengan harga Rp 20 untuk setiap Rp 1 laba bersih yang dihasilkan oleh PT Murah.
Cuma penjelasan seperti ini sebenarnya sangat sederhana karena tidak bisa menangkap prospek pertumbuhan PT Murah tersebut.
Alat ukur kinerja perusahaan
Meskipun laba per saham atau earning per share (EPS) yang digunakan untuk menghitung PE umumnya berasal dari EPS dalam 12 bulan terakhir, PE sebenarnya lebih dari sekadar alat untuk mengukur kinerja perusahaan di masa lalu. PE sebenarnya juga menggambarkan ekspektasi pasar terhadap pertumbuhan kinerja perusahaan di masa mendatang.
Ingat, harga saham mencerminkan ekspektasi investor atas nilai suatu perusahaan di masa mendatang. Jadi, sebenarnya PE juga bisa mencerminkan seberapa besar optimisme pasar atas prospek pertumbuhan suatu perusahaan.
Jika PE suatu perusahaan lebih tinggi dibandingkan PE perusahaan-perusahaan lain yang ada di industrinya, artinya investor mengharapkan sesuatu yang besar – yang positif tentunya- akan terjadi dalam perusahaan itu dalam beberapa bulan atau beberapa tahun lagi.
Rasio PE juga bisa menjadi indikator mahal-murahnya suatu saham. Secara sederhana, saham seharga Rp 100 dengan PE 20 kali lebih mahal dibandingkan saham berharga Rp 200 yang memiliki PE 10 kali.
Tapi, analisis seperti ini memiliki kelemahan karena kita tidak bisa membandingkan saham perusahaan hanya berdasarkan PE-nya.?
Investor tidak bisa sembarangan membandingkan PE saham perusahaan yang satu dengan yang lainnya. Ia harus melihat dahulu, apakah perusahaan itu memang berada dalam industri yang sama atau sejenis. Sebab, jika industrinya berbeda, membandingkan PE saham tak akan banyak berguna.
Memang, secara sederhana, investor bisa menilai mahal-murahnya suatu saham dengan membandingkan rasio harga terhadap laba bersih per saham atau PE-nya. Namun, analisis seperti ini memiliki kelemahan. Sebab, sebenarnya kita tidak bisa membandingkan harga saham perusahaan semata-mata berdasarkan besar-kecil PE-nya.
Agar analisisnya lebih komprehensif, ada beberapa faktor tambahan yang harus diperhatikan oleh investor.
Yang pertama, adalah tingkat pertumbuhan perusahaan yang umumnya diukur dengan tingkat pertumbuhan penjualan atau pendapatannya. Investor harus mencermati seberapa cepat suatu perusahaan mampu tumbuh di masa lalu dan mengukur apakah tingkat pertumbuhan itu masih akan berlanjut atau meningkat di masa mendatang.
Hati-hati
Kita patut hati-hati jika suatu perusahaan memiliki pertumbuhan yang rendah di masa lalu, misalnya hanya 5%, tapi PE-nya sangat tinggi. Jika kita sudah memperhitungkan ekspektasi pertumbuhan perusahaan di masa mendatang dan tetap menilai bahwa PE perusahaan itu terlalu tinggi, kemungkinan besar saham perusahaan itu memang sudah kemahalan.
Yang kedua, kita juga harus melihat industrinya. Membandingkan PE saham beberapa perusahaan hanya akan bermanfaat jika perusahaan-perusahaan itu itu memang berada dalam industri yang sama. Misalnya, kita harus membandingkan PE saham perusahaan telekomunikasi dengan PE saham perusahaan telekomunikasi lainnya. Sebab, masing-masing industri memiliki tingkat pertumbuhan dan ciri-ciri yang berbeda-beda, sehingga PE-nya juga berbeda.?
P to book value
Ada beberapa indikator fundamental yang sering dimanfaatkan pelaku pasar dalam menyeleksi saham di pasar. Salah satu cara yang banyak dipergunakan menggunakan indikator perbandingan harga pasar dengan nilai buku perusahaan (price to book value ratio – PBV). Ketika ada saham pendatang baru yang akan masuk pasar senantiasa muncul pertanyaan dijual dengan PBV berapa? Artinya, jika PBV dari saham yang akan dijual diketahui maka investor bisa menghitung berapa harga jual yang bakal ditetapkan pada saham baru tersebut.
Bagaimana cara mengetahui besaran PBV ratio? Berdasarkan definisinya maka ada dua komponen yang harus diketahui dalam hal ini. Pertama, harga pasar dan kedua book value (BV) per saham dari perusahaan. Untuk mengetahui harga pasar tentu tidak sulit karena setiap hari sudah terpampang dalam papan perdagangan di BEI. Sedangkan, BV per saham merupakan jumlah total ekuitas dibagi dengan jumlah total saham yang diterbitkan dan disetor penuh. Praktis jika ingin mengetahui besaran PBV ratio maka terlebih dulu harus mengetahui besaran book value.
Ilustrasinya begini. PT ABC Tbk akan go public dengan menawarkan 100 juta lembar saham ke publik. Jumlah itu merupakan 20 persen dari seluruh saham ditempatkan dan disetor penuh. Artinya, jumlah total saham mencapai 500 juta lembar. Nah, jika setelah go public total ekuitas mencapai Rp100 miliar, maka book value-nya: Rp100 miliar/Rp500 juta yakni Rp2.000,- per saham. Jika harga saham ditetapkan Rp3.000,- itu artinya saham PT ABC Tbk dijual dengan PBV 1,5 kali. Angka 1,5 diperoleh dari Rp3.000,-/ Rp2.000,-.
Yang menjadi pertanyaan kemudian, apakah harga Rp3.000,- di atas harga yang wajar, mahal atau murah? Apakah harga itu harga premium atau diskon. Untuk saham pendatang baru (initial public offering — IPO) biasanya akan ditawarkan dengan harga diskon dengan tujuan agar masyarakat investor tertarik dan bersedia membeli. Namun untuk mengetahui apakah harga diskon atau harga premium, investor perlu melakukan sedikit riset kecil-kecilan yakni melakukan perbandingan dengan PBV rata-rata industri yang sama.
Jika rata-rata industri ternyata menunjukkan PBV di atas 1,5 kali maka itu berarti harga saham PT ABC Tbk dijual dengan harga diskon. Misalnya PBV rata-rata industri 2 kali, berarti harga saham PT ABC Tbk didiskon sekitar 33 persen dari industri. Untuk mencapai PBV 2 kali, saham PT ABC Tbk semestinya dijual pada harga Rp4.000,-. Sebaliknya jika rata-rata industri ternyata menunjukkan PBV di bawah 1,5 kali, berarti saham PT ABC Tbk dijual dengan harga premium, lebih mahal dari harga pasar.
Tidak Selalu Menarik
Kendati banyak pelaku pasar yang menggunakan PBV ratio sebagai salah satu tolok ukur dalam belanja saham, namun harus dipahami bahwa besar kecilnya PBV tidak selalu menarik minat investor membeli saham. Dengan kata lain, PBV bukan indikator utama dalam menentukan keputusan investasi.
Di atas kertas, PBV yang rendah lebih murah dibandingkan dengan PBV yang tinggi. Dalam kenyataannya saham yang memiliki PBV rendah tidak selalu lebih menarik dibandingkan saham yang PBV nya tinggi. Bisa jadi saham dengan PBV yang tinggi menjadi incaran investor. Seperti halnya indikator price earning ratio (PER), PBV hanya membantu investor dalam memberikan acuan berinvestasi.