Tarik Dana dari TKD dan Dana Desa, Kopdes Merah Putih Dikhawatirkan Jadi Beban Fiskal Baru

Wakil Menteri Dalam Negeri (Wamendagri) Bima Arya Sugiarto (kanan) berdialog bersama masyarakat terkait pembentukan Koperasi Desa Merah Putih Desa Karamatwangi di Kecamatan Cisurupan, Kabupaten Garut, Jawa Barat, Sabtu (31/5/2025). (ANTARA/HO-Diskominfo Garut)

JAKARTA, Pemerintah terus mematangkan skema pendanaan untuk membentuk 800.000 unit Koperasi Desa (Kopdes) Merah Putih yang menjadi salah satu program prioritas Presiden Prabowo Subianto. Program ambisius ini ditargetkan rampung pada 30 Juni 2025 dan diperkirakan membutuhkan permodalan mencapai Rp 400 triliun.

Salah satu sumber pembiayaan yang tengah digodok adalah dari Transfer ke Daerah (TKD) dan Dana Desa, sebagaimana disampaikan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Skema ini kini masih dalam pembahasan internal pemerintah, seperti dikonfirmasi Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Kemenkeu, Askolani.

Read More

“Hal tersebut masih dibahas internal pemerintah update-nya,” ujar Askolani kepada wartawan, Senin (9/6).

Dalam RAPBN 2025, alokasi belanja APBN untuk TKD tercatat sebesar Rp 919,9 triliun, dengan realisasi hingga April 2025 baru mencapai Rp 259,4 triliun atau 28,2%. Dari angka tersebut, Dana Desa yang terserap sebesar Rp 25,8 triliun, setara 34,5% dari pagu yang ditetapkan.

Guru Besar IPB sekaligus ekonom senior, Prof. Didin S. Damanhuri, menilai bahwa dana permodalan Kopdes Merah Putih hampir pasti akan bersumber dari alokasi TKD dan Dana Desa yang sudah ada.

“Saya dengar, sumber permodalan Kopdes Merah Putih adalah pengalihan dari anggaran APBN yang telah ada, yakni dana desa dan TKD,” ungkap Didin.

Meski begitu, ia melihat potensi positif dari program ini, jika benar-benar diarahkan untuk merevitalisasi koperasi desa seperti KUD, BUMDes, dan Gapoktan. Kegiatan produktif yang dibutuhkan masyarakat desa seperti warung sembako, simpan pinjam, hingga pengembangan produk unggulan lokal dinilai bisa menggairahkan ekonomi desa secara berkelanjutan.

Didin juga menyarankan agar program ini tidak hanya bertumpu pada APBN. Dana CSR BUMN dan BUMS menurutnya dapat menjadi sumber alternatif pembiayaan melalui skema investasi sosial, asalkan digunakan untuk kegiatan produktif, bukan untuk konsumsi atau gaji.

“Yang penting, dana tersebut tidak digunakan untuk gaji atau konsumsi, tetapi untuk investasi sosial yang berputar,” tegasnya.

Berbeda dengan pandangan Didin, Ekonom Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda, justru memperingatkan risiko tekanan terhadap ruang fiskal dan hilangnya esensi otonomi daerah.

“Kalau anggaran Rp 400 triliun untuk Kopdes diambil dari TKD, maka kemampuan daerah untuk membiayai prioritas lokalnya bisa tergerus,” jelas Huda.

Menurutnya, setiap daerah memiliki kebutuhan pembangunan yang berbeda-beda. Jika dana TKD terserap habis oleh program pusat, seperti Kopdes Merah Putih atau program makan bergizi gratis (MBG), maka ruang fiskal makin sempit dan daya dorong ekonomi daerah akan melemah.

“Yang paling diuntungkan justru adalah pengelola Kopdes Merah Putih,” sindir Huda.

Related posts

Leave a Reply