JAKARTA, Anggota Komisi I DPR RI, Syamsu Rizal, menegaskan bahwa revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) harus didasarkan pada kebutuhan nyata dan bukan sekadar formalitas administratif.
Syamsu Rizal menyoroti wacana dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) TNI yang memungkinkan prajurit angkatan bersenjata menempati lebih dari 10 kementerian dan lembaga negara. Menurutnya, kebijakan tersebut hanya dapat diterapkan jika benar-benar ada urgensi, bukan hanya sebagai strategi politis atau administratif belaka.
“Kalau ini sudah berjalan di 10 lembaga, nanti pasti akan ada permintaan lebih banyak. Secara pribadi dan di fraksi kami, sebagian setuju, tetapi harus ada koridor yang jelas,” ujar Syamsu Rizal usai RDPU Komisi I DPR RI dengan PEPABRI di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (10/3).
Syamsu Rizal menekankan bahwa penempatan anggota TNI di kementerian dan lembaga negara harus melalui mekanisme resmi yang ketat. Menurutnya, perlu ada analisis jabatan yang transparan dan terukur agar posisi yang diberikan benar-benar sesuai dengan kebutuhan institusi terkait.
Selain itu, ia menambahkan bahwa jika revisi UU TNI disahkan, pengaturannya harus dituangkan dalam bentuk Peraturan Presiden (Perpres) atau regulasi pelaksana lainnya agar implementasinya tidak menyimpang dari tujuan utama.
Lebih lanjut, Syamsu Rizal menyoroti pandangan yang masih mempertentangkan antara sipil dan militer dalam pemerintahan. Menurutnya, pendekatan tersebut sudah tidak relevan dalam dinamika politik dan pertahanan modern.
“Kalau masih berpikir soal dikotomi sipil-militer atau mengaitkannya dengan dwifungsi ABRI di masa lalu, itu sudah ketinggalan zaman. Buktinya, TNI sekarang juga banyak merekrut tenaga sipil, terutama dalam bidang siber,” jelasnya.
Ia mencontohkan bagaimana perkembangan ancaman siber membuat unit siber TNI kemungkinan besar akan diisi hingga 50% oleh tenaga sipil. Hal ini membuktikan bahwa modernisasi institusi militer dan pemerintahan harus lebih adaptif terhadap perkembangan zaman.
Anggota Fraksi PKB ini juga menekankan bahwa revisi UU TNI harus selaras dengan kebutuhan nasional dan perubahan regulasi yang menyesuaikan dinamika zaman.
Ia mencontohkan bagaimana kebijakan politik di masa lalu mengalami perubahan seiring dengan perkembangan demokrasi dan reformasi di Indonesia.
“Dulu ada kebijakan tertentu terkait TAP MPR, Gus Dur menghapusnya, dan kita menerimanya sebagai kenyataan politik. Maka sekarang, jangan terpaku pada konsep lama. Kita harus adaptif dengan perkembangan zaman,” tegasnya.
Sebagai kesimpulan, Syamsu Rizal menekankan bahwa penempatan prajurit TNI di jabatan sipil harus berbasis kebutuhan, bukan sekadar formalitas atau kebijakan simbolis.
“Kita harus berpikir ke depan, bukan ke belakang. Kalau memang ada kebutuhan riil, kenapa tidak? Yang penting, ukurannya jelas dan sesuai dengan dinamika zaman,” pungkasnya.