Menunjukkan potensi pengurangan faktor risiko penyakit jantung
JAKARTA, Penelitian terbaru menunjukkan bahwa ada waktu yang optimal dalam sehari untuk makan. Penelitian lainnya mengindikasikan bahwa sepertinya ada jendela waktu yang ideal untuk makan dalam sehari.
Makan relatif lebih awal ditemukan bermanfaat untuk menurunkan berat badan. Di samping itu, makan dalam jendela waktu 10 jam dapat memperbaiki kadar gula darah dan kolesterol, menurut dua penelitian kecil yang diterbitkan di jurnal Cell Metabolism.
Studi pertama menemukan bahwa telat sarapan membuat orang lebih lapar sepanjang hari daripada saat mereka makan pagi lebih awal dengan mengasup makanan yang sama. Terlambat makan juga menyebabkan peserta penelitian lebih lambat dalam membakar kalori.
Jaringan lemak mereka tampaknya juga menyimpan kalori lebih banyak ketika telat makan daripada saat sarapan lebih awal. Secara keseluruhan, penelitian menunjukkan bahwa telat makan dapat meningkatkan risiko obesitas.
Studi kedua dilakukan di antara sekelompok petugas pemadam kebakaran. Hasilnya menemukan bahwa mengonsumsi makanan dalam jendela waktu 10 jam menyusutkan partikel “kolesterol jahat” dan menunjukkan potensi pengurangan faktor risiko penyakit jantung.
Pola makan seperti itu juga menurunkan tekanan darah dan kadar gula darah petugas pemadam kebakaran yang memiliki penyakit kronis, seperti diabetes, tekanan darah tinggi, dan kolesterol tinggi. Kedua penelitian tersebut menambah bukti yang ada bahwa mungkin ada waktu yang optimal untuk memulai dan berhenti makan, menurut Courtney Peterson, seorang profesor ilmu gizi di University of Alabama di Birmingham yang tidak terlibat dalam kedua penelitian tersebut.
“Anda memiliki jam biologis internal yang membuat Anda lebih baik dalam melakukan hal-hal yang berbeda pada waktu yang berbeda dalam sehari. Sepertinya, waktu metabolisme terbaik pada kebanyakan orang adalah pertengahan hingga akhir pagi,” kata Peterson, seperti dikutip dari laman NBC, Kamis (5/10/2022).
Penelitian sebelumnya telah menemukan bahwa ritme sirkadian atau jam internal tubuh yang membantu mengatur tidur dan bangun, dapat memengaruhi nafsu makan, metabolisme, dan kadar gula darah seseorang. Prof Satchidananda Panda, rekan penulis studi dari Salk Institute, mengatakan jendela makan 10 jam tampaknya masuk akal karena pembatasan yang lebih parah sering kali menjadi faktor yang membuat diet puasa intermiten sulit dipertahankan.
“Ketika memikirkan tentang jendela makan enam atau delapan jam, kita mungkin melihat manfaatnya, tetapi kita mungkin tidak akan tahan menerapkannya dalam jangka panjang,” kata Panda.
Menurut Panda, ada banyak petunjuk terdahulu bahwa makan yang dibatasi waktu memperbaiki kontrol gula darah dan tekanan darah. Akan tetapi, ini adalah studi pertama yang benar-benar mengujinya dalam skala besar pada orang yang bekerja dalam shift.
Panda mengatakan penelitian sebelumnya pada hewan telah menunjukkan bahwa selama periode puasa, organ mendapatkan istirahat dari mencerna makanan sehingga mereka dapat mengalihkan energi mereka untuk memperbaiki sel. Periode puasa juga tampaknya memungkinkan pemecahan racun yang menumpuk.
Menurut Peterson, selama puasa tubuh dapat membuang natrium, yang pada gilirannya menurunkan tekanan darah. Dia mengaku tidak akan terkejut jika kelak akan ada rekomendasi nasional tentang jendela makan atau waktu makan dalam lima hingga 10 tahun ke depan di AS.
Telat makan bisa naikkan berat badan
Studi pertama dari dua studi terbaru tersebut melibatkan 16 orang yang kelebihan berat badan atau obseitas. Mereka terbagi dalam dua kelompok pola makan harian.
Kelompok pertama sarapan sejam setelah bangun pagi. Kelompok kedua baru makan sekitar lima jam setelah terjaga di pagi hari. Kedua kelompok kemudian bertukar jadwal sarapan pada waktu berikutnya.
Mereka mengonsumsi makanan yang sama. Kalori dan nutriennya tetap sama di dua pola jadwal sarapan tersebut, menurut Frank Scheer selaku penulis senior studi ini sekaligus direktur Medical Chronobiology Program at Brigham and Women’s Hospital.
Para peneliti kemudian mengukur kadar hormon partisipan. Mereka menemukan bahwa terlambat sarapan menurunkan kadar leptin, yakni hormon yang membantu orang merasa kenyang, hingga rata-rata 16 persen.
Telat makan juga meningkatkan kemungkinan orang merasa kelaparan. Orang yang terlambat sarapan juga tampak memilki peningkatan keinginan untuk mengasup makanan bertepung dan asin serta daging, susu, dan sayur.
Menurut Scheer, itu kemungkinan terjadi karena orang mengidam makanan yang lebih padat energi ketika sangat lapar. Studi itu juga menemukan perubahan konsisten pada jaringan lemak terkait dengan pola telat makan.
Ada indikasi telat makan meningkatkan kecenderungan menumpuknya sel lemak baru. Peluang untuk membakar lemak juga menurun.
Orang yang telat makan membakar sekitar 60 kalori lebih sedikit daripada orang yang makan lebih awal setiap harinya. Meskipun demikian, Peterson mengatakan itu setara dengan makan setengah apel ekstra sehari. Jadi, itu bukan perubahan yang besar.
Kendati sebuah penelitian yang diterbitkan bulan lalu di jurnal yang sama menemukan bahwa orang tidak membakar lebih banyak kalori dengan makan sarapan besar dan makan malam dengan porsi lebih sedikit, Peterson mengatakan kedua penelitian tersebut mengukur serangkaian hasil yang berbeda.
“Tubuh memproses kalori secara berbeda ketika telat makan, itu meningkatkan berat badan dan penambahan lemak, jadi dari penelitian ini bisa didapatkan rekomendasi yang cukup jelas bahwa orang tidak boleh melewatkan sarapan,” kata Peterson.
Di sisi lain, Scheer mengatakan penelitian lebih lanjut diperlukan sebelum dia merasa nyaman membuat rekomendasi apa pun.