JAKARTA, Pemerintah rencananya akan memasang tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk barang kebutuhan pokok alias sembako yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak. Informasi mengenai dikenakannya PPN terhadap sembako diketahui berdasarkan bocoran draf perubahan kelima atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
Menanggapi hal ini, Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (DPP GMNI) Arjuna Putra Aldino mengakui di masa pandemi pemerintah membutuhkan pemasukan ekstra untuk mengisi kas negara. Namun menurut Arjuna menarik pajak pada barang yang menyangkut hajat hidup orang banyak seperti sembako justru menyulitkan masyarakat untuk mengakses barang kebutuhan pokok yang berkualitas.
“Pajak memang sumber pendapatan negara. Namun harus tepat sasaran. Jangan rakyat kecil terus yang dibidik pajak. Pajak sembako kita takutkan menyulitkan masyarakat untuk mengakses barang kebutuhan pokok yang penting bagi hidupnya. Ini mencekik”, ujar Arjuna
GMNI menyarankan pemerintah untuk fokus mengejar pajak sawit dan batubara yang selama ini memiliki rasio kepatuhan pajak yang rendah. Namun memiliki potensi bagi pendapatan negara yang cukup tinggi. Tax ratio minerba pada 2011 sebesar 12.09%. Lalu, turun terus sampai 2016 jadi 3,8%. Rasio pajak (tax ratio) dari sektor pertambangan mineral dan batu bara (minerba) terus mengalami penurunan. Arjuna menilai hal ini terjadi karena adanya praktik tambang ilegal dan lemahnya regulasi pemerintah.
Padahal menurut Arjuna, hingga kini Indonesia merupakan produsen batu bara terbesar nomor lima di dunia. Pada 2017, Indonesia menghasilkan sekitar 485 juta ton batu bara atau 7,2% dari total produksi dunia.Besarnya nilai ekonomi yang dihasilkan oleh industri pertambangan batu bara tak ayal membuat pelaku bisnis batu bara menghasilkan pundi-pundi kekayaan yang fantastis. Forbes (2018) mencatat, 7 dari 50 orang terkaya di Indonesia, kekayaannya tak bisa dilepaskan dari keuntungan bisnis batu bara. Namun banyak wajib pajak yang tidak melaporkan surat pemberitahuan tahunan SPT-nya. Pada 2015 dari 8.003 WP industri batu bara terdapat 4.532 WP yang tidak melaporkan SPT-nya.
“Kami kira potensi pajak dari minerba sangat besar karena kita salah satu produsen batubara terbesar dunia. Namun rasio kepatuhan pajaknya rendah. Hal ini terjadi karena adanya praktik tambang ilegal dan lemahnya regulasi pemerintah. Sehingga praktik penghindaran pajak dengan mudah dilakukan. Dan ini luput dari perhatian pemerintah”, tambah Arjuna
Begitu juga dengan sawit. Arjuna menyebutkan banyak lahan perkebunan sawit yang sudah beroperasi namun belum memiliki Hak Guna Usahanya (HGU). Hal ini membuat potensi pendapatan negara hilang begitu saja. Terdapat 280 ribu hektare (ha) lahan di Riau dan 1.373 ribu ha lahan di Kalimantan Barat yang belum teridentifikasi HGU. Jumlah tersebut mencakup 31 perusahaan di Riau dan 135 perusahaan di Kalimantan Barat.
Arjuna menilai hal ini disebabkan data sawit yang tidak kredibel dan perkebunan sawit swasta yang melebihi area konsesi. Selain itu juga terdapat perkebunan yang sudah dikelola sebelum mendapat HGU serta sebagian pabrik kelapa sawit yang tidak menyetor bea pengurusan HGU.
“Sawit kita juga salah satu produsen terbesar dunia. Perkebunan sawit membentang luas di seantero negeri. Tapi banyak yang tidak terindentifikasi HGU. Akhirnya potensi pendapatan negara melalui PBB lenyap begitu saja. Kenapa tidak mencoba diperbaiki?”, sebut Arjuna
Menurut Arjuna, adanya wacana PPN Sembako dan Sekolah menyayat rasa keadilan masyarakat. Karena selama ini pemerintah melakukan pembiaran terhadap praktik-praktik imoral berupa penghindaran pajak (tax avoidance) di sektor minerba dan sawit akibat pendataan dan regulasi pemerintah yang lemah. Di lain sisi, rakyat kecil terus menerus dibebani pajak. Ini sangat bertentangan dengan spirit yang mendasari terbentuknya negara ini yakni Pancasila.
“Pajak sejatinya instrumen yang bisa mengurangi jurang ketimpangan dan mengatasi kemiskinan. Apabila digunakan dengan dasar hikmah-kebijaksanaan sesuai cita-cita moral bangsa kita, Pancasila. Namun jika hanya semata-mata dipandang dalam paradigma fiskal, maka dapat memperlebar jurang ketimpangan dan melukai rasa keadilan sosial. Artinya, dalam mengambil kebijakan pajak harus jelas keberpihakannya sesuai dasar negara kita”, jelas Arjuna
Untuk itu, GMNI mengusulkan pemerintah untuk tidak mengeluarkan peraturan tentang PPN Sembako dan Sekolah. Namun fokus melakukan reformasi tata kelola perpajakan di sektor minerba dan sawit yang masih banyak celah atau kelemahan dan pelanggaran. Sehingga bisa meningkatkan target rasio pajak nasional.
“Lebih baik pemerintah fokus lakukan reformasi tata kelola perpajakan di sektor minerba dan sawit. Masih banyak kelemahan regulasi, keteledoran dan pelanggaran yang merugikan keuangan negara. Banyak potensi pendapatan negara yang hilang”, tutup Arjuna