SEMARANG, Pegiat pemilu Titi Anggraini berharap seleksi anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) periode 2023-2028 di 20 provinsi serta 118 kabupaten dan kota jangan sampai mengganggu tahapan Pemilu 2024 yang sedang berjalan.
Berdasarkan pengalaman seleksi pada masa lampau, kata Anggota Dewan Pembina Perludem ini, seleksi di tengah tahapan pemilu selalu menimbulkan gejolak dan berbagai masalah hukum ikutan lainnya.
“Baik disebabkan proses seleksi yang diduga bermasalah ataupun ketidakpuasan pada proses yang kurang transparan, serta dugaan atas indikasi keberpihakan tim seleksi (timsel),” kata Titi Anggraini menjawab pertanyaan ANTARA di Semarang, Jawa Tengah, Kamis.
Padahal, lanjutnya, seleksi KPU daerah sebagai bagian dari pengisian keanggotaan kelembagaan penyelenggara pemilu menjadi elemen determinan atau faktor yang menentukan untuk mewujudkan pemilu demokratis yang bebas, adil, kredibel, dan berintegritas.
Oleh karena itu, Titi berharap KPU dan Bawaslu harus serius mempersiapkan jajaran penyelenggara pemilu yang sebagian besar perekrutannya pada tahun 2023, yakni di 20 provinsi serta 118 kabupaten dan kota.
Perekrutan calon penyelenggara pemilu di daerah lainnya diselenggarakan pada 2024 dan 2025. Pengajar pemilu pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia ini mengingatkan KPU dan Bawaslu harus memastikan bahwa jajarannya merupakan figur-figur yang mandiri, profesional, dan memiliki komitmen kuat pada demokrasi, termasuk pemenuhan inklusivitas keterwakilan perempuan.
Hal itu, lanjut dia, supaya tidak terjadi ekses berupa masalah hukum yang bisa mengganggu kinerja KPU. Jika terjadi, maka akan menghabiskan banyak waktu dan tenaga menangani masalah-masalah tersebut di tengah ketat dan tingginya beban kerja teknis yang harus mereka selesaikan.
Titi menuturkan bahwa penyelenggara pemilu semestinya nonpartisan. Selain harus terbebas dari anasir politik praktis, juga tidak boleh tersandera oleh hegemoni kelompok-kelompok atau identitas tertentu, baik ormas, kesukuan, maupun kekerabatan.
Ia menegaskan bahwa penyelenggara pemilu adalah profesi yang membutuhkan kapasitas dan mentalitas berdemokrasi yang kokoh.
“Jadi, tidak bisa diisi oleh orang-orang yang hanya bermodalkan pertemanan atau pergaulan. Kompleksitas dan kerumitan pemilu di Indonesia membutuhkan kemampuan dan integritas yang tidak bisa ditawar-tawar,” ujar Titi.