Sawit Berkelanjutan, Strategi Pemerintah Hadapi Kampanye Hitam Uni Eropa

Pemerintah Indonesia terus berupaya untuk menghadapi serangan bertubi-tubi yang dihadapi oleh industri sawit nasional. Pemerintah terus berupaya agar bisa mengekspor crude palm oil atau minyak kelapa sawit mentah ke negara-negara di Eropa.

LAGU usang berirama sumbang kembali diembuskan. Begitu kira-kira kalimat yang pantas diucapkan untuk menanggapi ancaman Uni Eropa (UE) yang akan membatasai ekspor kelapa sawit Indonesia ke negara-negara anggota mereka.
Isu ini sebenarnya pernah diembuskan oleh Prancis melalui Menteri Ekologi Prancis Sigolene Royal pada Juli 2015 lalu menyerukan boikot peoduk nutela karena menggunakan minyak sawit.

Ketika itu, pemerintah negara pusat mode dunia itu merancang kebijakan yang mengancam impor minyak sawit masuk ke negara tersebut.
Berdasarkan rencana, Prancis akan memungut tarif impor (import levy) minyak sawit secara progresif dan regresif, yakni sebesar 300 euro per ton crude palm oil (CPO) tahun 2017 dan 500 euro per ton CPO tahun 2018.
Tahun 2019 ini, tarif pungutan akan dinaikkan menjadi 700 euro per ton dan meningkat menjadi 900 euro tahun 2020.

Tak hanya itu, masih ada pajak tambahan. Jika CPO digunakan untuk makanan (oleo food) dikenakan tambahan pajak (ad valorem tax) sebesar 3,8 persen.Dengan adanya rencana kebijakan itu, Prancis sesungguhnya sedang merencanakan embargo impor minyak sawit. Dengan pungutan impor minyak sawit yang hampir sama, bahkan di atas harga impor cost insurance and freight (CIF) CPO Rotterdam tahun lalu yakni US$565 atau 510 euro per ton, mustahil minyak sawit bisa masuk ke Prancis.

Memang Prancis bukan negara tujuan utama untuk ekspor minyak sawit Indonesia ke Eropa. Tapi, rencana kebijakan negara itu tidak boleh dianggap remeh.

Prancis merupakan salah satu negara yang berpengaruh di daratan Eropa, sehingga jika kebijakan tersebut diberlakukan, bukan tidak mungkin hal itu akan menular ke negara-negara Eropa lainnya.
Rusia saja misalnya saat ini sedang mengikuti langkah Prancis tersebut. Alasan Pemerintah Prancis merencanakan kebijakan tarif impor tersebut adalah sebagai pajak lingkungan (environment tax).
Mereka menganggap, minyak sawit dunia dihasilkan dari deforestasi yang menyumbang emisi karbon cukup besar ke atmosfir bumi.
Tuduhan dan alasan di atas memang terlihat mengada-ada, tidak didukung fakta dan menutupi apa yang sesungguhnya terjadi di daratan Eropa termasuk Prancis selama ini.

Upaya Pemerintah

Sejauh ini Pemerintah Indonesia terus berupaya untuk menghadapi serangan bertubi-tubi yang dihadapi oleh industri sawit nasional. Pemerintah terus berupaya agar bisa mengekspor crude palm oil atau minyak kelapa sawit mentah ke negara-negara di Eropa.
Karena memang, wacana pembatasan ekspor ke negara-negara Eropa oleh Parlemen UE mulai 2021 sedikit banyak memberikan kekhawatiran bagi Pemerintah Indonesia.

Kekhawatiran itu muncul sebab UE merupakan salah satu tujuan terbesar ekspor CPO Indonesia. Karena pada 2017, jumlah ekspor CPO dari Indonesia ke UE mencapai 5 juta ton dari total 31 juta ton.
Rencana untuk membatasi ekspor minyak kelapa sawit dari Indonesia tak terlepas dari keputusan Parlemen UE untuk merevisi Renewable Energy Directive (RED) II pada pertengahan Januari silam.

Dalam revisi tersebut dinyatakan bahwa ada ketentuan tentang penggunaan biofuels dan bioliquids yang diproduksi dari CPO tidak akan dimasukkan dalam penghitungan kontribusi penggunaan energi baru terbarukan mulai tahun 2021.

Jika ketentuan ini disetujui oleh Komisi UE dan Dewan Energi UE, maka akan menyebabkan impor CPO untuk penggunaan biofuels di Uni Eropa berkurang signifikan karena sepertiga impor CPO dari Indonesia digunakan untuk biodiesel

Belum lagi isu deforestasi atau tudingan Parlemen Uni Eropa yang menyatakan sawit sebagai penyebab kerusakan alam. Namun demikian, segala tudingan yang dilakukan UE terus dihalau oleh pemerintah.
Isu deforestasi dalam wacana pembatasan ekspor CPO merupakan sebuah bentuk diskriminasi dari Parlemen UE terhadap kelapa sawit Indonesia.

Selama ini industri kelapa sawit telah memenuhi aspek-aspek keberlanjutan sesuai yang diwajibkan oleh pemerintah melalui ISPO atau Indonesia Sustainable Palm Oil.
Pemerintah Indonesia juga telah mengirimkan surat ke Parlemen UE. Dalam surat yang dikirimkan untuk menunjukkan sikap Indonesia terhadap upaya pembatasan ekspor tersebut.

Ada tiga poin utama yang disampaikan dalam isi surat itu, pertama adalah sawit bukan penyebab deforestasi, kedua pemerintah menolak diskriminasi sawit, dan ketiga Indonesia tak akan melakukan retaliasi solusi terhadap hambatan dagang sawit.

Tiga poin itu menjadi langkah yang ditempuh oleh Pemerintah Indonesia di samping diplomasi, lobi, dan negosiasi yang terus dilakukan oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan sejak tahun 2018 terhadap Parlemen UE.

Luhut ketika itu memiliki cara untuk menguatkan posisi Indonesia di depan UE, sebab ketika itu tengah dilakukan perundingan tiga pihak antara Komisi UE, Parlemen UE, dan Komisi Energi UE sebagai buntut atas disetujuinya revisi RED II.

Adapun celah yang digunakan Pemerintah Indonesia adalah dengan membuat China membeli minyak kelapa sawit dari Indonesia. Alhasil, Pemerintah China melalui Perdana Menteri (PM) Li Keqiang menyetujui pembelian 500.000 ton minyak kelapa sawit milik Indonesia.
UE kini telah memahami posisi Indonesia setelah adanya keinginan China tersebut dan membuat negosiasi dengan UE diharapkan lancar.
Sektor pertanian menempati urutan paling wahid, yang mampu mendongkrak pertumbuhan perekonomian Indonesia terutama di perkebunan. Kelapa sawit salah satunya.

Kelapa sawit adalah penyumbang pertumbuhan perekonomian Indonesia sepanjang tahun 2017 yang tertinggi di dunia. Indonesia hanya tertinggal dari Tiongkok di peringkat pertama. Akibat ulah Uni Eropa (UE) yang gencar melakukan kampanye hitam sawit, UE memutuskan untuk memblokir produk dengan olahan minyak kelapa sawit.

Fitnah keji yang dilakukan UE tersebut mengandung propaganda bahwa mengakarnya sawit di Indonesia memunculkan banyak masalah.
Berbagai cara dilakukan pemerintah untuk menangkal fitnah keji yang dilakukan oleh UE terhadap kelapa sawit Indonesia.

Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita saat memberikan kuliah umum di salah satu perguruan tinggi di Jakarta, Senin (11/3/2019), menyampaikan ke Negara Prancis akan menekan lewat isu Airbus. “Saya bilang ke Prancis kalau kita juga akan face out (pembatalan pembelian) Airbus hingga 2030 terus dia diam. Mereka tekan (kampanye hitam sawit) dan saya juga tekan,” kata dia.

Seperti diketahui, maskapai swasta nasional Indonesia, Lion Air Group pada Maret 2013 silam mencatatkan sejarah pada dunia penerbangan Prancis dan Uni Eropa ketika melakukan pemesanan untuk 234 armada pesawat Airbus A320 Neo.

Pemesanan dengan nilai sebesar 18,4 miliar euro atau sekitar Rp230 triliun menjadikan Lion Air sebagai maskapai pertama di dunia yang membukukan pesanan pesawat baru produksi Airbus dalam sekali pemesanan yang akan dituntaskan hingga 2030. Pemesanan itu sekaligus membuka kesempatan kerja bagi sedikitnya 8.000 orang di sekitar Prancis. Airbus adalah konsorsium pabrik pesawat terbang yang dibangun bersama oleh Prancis, Inggris, Jerman dan beberapa negara anggota Uni Eropa dengan fokus utama menghasilkan pesawat komersial serts untuk keperluan militer.

Kembali ke masalah tudingan UE bahwa penggunaan minyak kelapa sawit bisa menyebabkan kolesterol, juga ditampik Enggar. Dia mengaku belum menemukan penelitian terkait pernyataan tersebut.
Kampanye hitam sawit yang terus dilancarkan UE, dia meminta agar segera dihentikan. Sebab, kegiatan tersebut memicu perang dagang antarnegara. Untuk itu, dia terus melakukan negosiasi agar UE dapat menghentikan kampanye tersebut. “Itu bagian dari dagang, dan negosiasi sampai cooling down (UE terhadap kampanye sawit hitam),” kata dia.

Gugat UE ke WTO

Bila UE benar mengesahkan regulasi mengenai kebijakan Arahan Energi Terbarukan (RED II), maka Pemerintah Indonesia bisa menempuh cara dengan menggugat Uni Eropa ke Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO).
Karena kebijakan tersebut bisa merugikan Indonesia dalam hal ekspor produk kelapa sawit ke Uni Eropa. RED II ini menyuarakan bahwa Uni Eropa pada 2021 tidak menggunakan minyak sawit sebagai campuran biodiesel.

“Tetap tunggu kalau memang (RED II) itu menjadi regulasi baru kita ke WTO,” kata Wakil Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Togar Sitanggang ditemui di Kantor Kementerian Koordinator Kemaritiman, Jakarta Pusat, Selasa (12/3/2019).
Jika langkah tersebut yang akan ditempuh Indonesia, maka pemerintah yang akan pasang badan. Indonesia pun sudah menyampaikan keberatan terhadap rencana implementasi RED II yang bisa merugikan Indonesia.
Saat ini Indonesia masih menunggu respons Uni Eropa.

Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution menilai rancangan peraturan Komisi Eropa, Delegated Regulation Supplementing Directive 2018/2001 of The EU RED II diskriminatif yang bertujuan menguntungkan minyak nabati lainnya yang diproduksi di Uni Eropa.

Indonesia bersama Malaysia dan Kolombia sepakat menolak kampanye hitam sawit di Uni Eropa.
Kesepakatan itu merupakan hasil dari pertemuan The 6 Th Ministerial Meeting CPOPC (Council of Palm Oil Producing Countries) 27-28 Februari 2019 di Hotel Mulia, Jakarta.

“Para menteri memandang rancangan peraturan ini sebagai kompromi politis di internal UE yang bertujuan untuk mengisolir, dan mengecualikan minyak kelapa sawit dari sektor biofuel UE yang menguntungkan minyak nabati lainnya, termasuk rapeseed yang diproduksi oleh UE,” ujar Darmin dalam konferensi pers di Hotel Mulia, Jakarta, Kamis (28/2/2019).

Related posts

Leave a Reply