RUU Polri, Koalisi Masyarakat Sipil Soroti Kewenangan Berlebihan dan Potensi Impunitas

Ilustrasi Demo Tplak Revisi UU Polri

JAKARTA, Pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU Polri) semakin memanas. Meski revisi ini diharapkan untuk memperbaiki sistem kepolisian di Indonesia, berbagai elemen masyarakat, termasuk Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Reformasi Kepolisian, menilai RUU Polri yang tengah dibahas dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memiliki sejumlah pasal bermasalah. Koalisi ini menilai bahwa beberapa ketentuan dalam RUU tersebut memperluas kewenangan kepolisian yang berisiko menjadikan institusi ini “superbody” tanpa pengawasan yang memadai.

Koalisi Masyarakat Sipil mengkritik revisi UU Polri yang dinilai mengandung perluasan kewenangan tanpa diimbangi dengan mekanisme pengawasan yang tegas dan transparan. Dalam siaran pers yang dirilis pada Sabtu (5/4/2025), mereka menyatakan bahwa berbagai kewenangan tambahan yang diatur dalam RUU Polri berpotensi melanggar prinsip-prinsip dasar yang diatur dalam Konstitusi. Menurut mereka, RUU ini cenderung mengabaikan aspek penting seperti pengawasan publik terhadap kepolisian, yang justru bisa memperburuk kondisi penegakan hukum di Indonesia.

Read More

“Sayangnya, berbagai penambahan kewenangan yang dimuat tidak disertai dengan pengaturan yang tegas mengenai mekanisme pengawasan,” kata Koalisi Masyarakat Sipil dalam pernyataannya. Mereka juga mengingatkan bahwa salah satu tugas utama Polri, yang diatur dalam Konstitusi, adalah menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat serta menegakkan hukum, bukan memperluas kewenangan untuk pengawasan dan pengaturan yang tidak jelas.

Koalisi Masyarakat Sipil menilai bahwa RUU Polri gagal mengaddress masalah-masalah utama yang terjadi di tubuh kepolisian, seperti lemahnya pengawasan internal dan eksternal terhadap aparat kepolisian. Alih-alih membahas perbaikan mekanisme pengawasan, RUU ini justru berfokus pada perluasan kewenangan yang lebih besar. Hal ini dikhawatirkan dapat memperburuk impunitas terhadap anggota kepolisian yang terlibat dalam pelanggaran hukum atau kejahatan.

“Malah, RUU ini mengabaikan perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) dan memihak kepentingan masyarakat sipil, yang seharusnya menjadi agenda utama,” tambah Koalisi Masyarakat Sipil. Mereka juga menyebutkan bahwa revisi ini berisiko mengembalikan peran kepolisian sebagai alat politik yang digunakan untuk kepentingan kekuasaan, sebuah potensi yang mengancam prinsip-prinsip demokrasi pasca-reformasi.

Beberapa pasal dalam RUU Polri dianggap bermasalah dan berisiko menambah masalah di tubuh kepolisian. Berikut adalah beberapa pasal yang dianggap mengkhawatirkan:

  1. Pasal 16 Ayat 1 Huruf (q): Pasal ini memberikan kewenangan kepada Polri untuk mengamankan, membina, dan mengawasi ruang siber. Koalisi Masyarakat Sipil khawatir pasal ini akan membatasi kebebasan berpendapat dan berekspresi, serta melanggar hak warga negara atas privasi di ruang digital.

  2. Pasal 16B: Pasal ini memperluas kewenangan Intelkam untuk melakukan penangkalan dan pencegahan terhadap kegiatan tertentu demi kepentingan nasional. Kewenangan ini dinilai tidak sesuai dengan tugas utama Polri dan berpotensi disalahgunakan.

  3. Pasal 14 Ayat (1) Huruf o: Memberikan kewenangan kepada Polri untuk melakukan penyadapan, sebuah kewenangan yang belum diatur dalam perundang-undangan yang jelas di Indonesia. Penyadapan ini rentan disalahgunakan, apalagi jika dilakukan tanpa pengawasan yang memadai.

  4. Pasal 14 Ayat (1) Huruf (g): Pasal ini memberikan kewenangan kepada Polri untuk melakukan pengawasan dan pembinaan teknis terhadap Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS). Hal ini dapat menjadikan Polri semakin berperan sebagai “superbody” dalam proses investigasi.

  5. Pasal 14 Ayat (1) Huruf (e): Pasal ini menyebutkan bahwa Polri akan turut serta dalam pembinaan hukum nasional, yang dinilai tumpang tindih dengan kewenangan Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) di bawah Kementerian Hukum dan HAM. Kewenangan yang tidak jelas peruntukannya ini berisiko menambah kebingungnan dalam birokrasi pemerintahan.

Koalisi Masyarakat Sipil juga mengingatkan bahwa revisi UU Polri berisiko menghidupkan kembali konsep dwi fungsi ABRI dalam tubuh kepolisian. Konsep ini, yang sempat ada pada masa Orde Baru, memungkinkan polisi tidak hanya bertugas sebagai aparat penegak hukum, tetapi juga sebagai alat politik yang melibatkan diri dalam aktivitas politik dan kekuasaan. Hal ini bertentangan dengan prinsip negara hukum dan demokrasi yang dijunjung tinggi setelah reformasi.

Related posts

Leave a Reply