Koalisi masyarakat sipil kritik pasal yang libatkan TNI sebagai penyidik pidana siber, sebut ancam supremasi sipil dan HAM.
JAKARTA, Koalisi masyarakat sipil menyuarakan kekhawatiran serius terhadap Rancangan Undang-Undang Keamanan dan Ketahanan Siber (RUU KKS) yang dinilai berpotensi melemahkan prinsip negara hukum dan demokrasi. Kritik tajam diarahkan pada Pasal 56 ayat 1 huruf d, yang mengatur pelibatan Tentara Nasional Indonesia (TNI) sebagai penyidik tindak pidana siber.
Direktur Kebijakan Publik Raksha Initiatives, Wahyudi Djafar, menegaskan bahwa pasal tersebut bertentangan langsung dengan konstitusi, khususnya Pasal 30 ayat 3 UUD 1945, yang menyatakan bahwa tugas TNI adalah mempertahankan, melindungi, dan memelihara keutuhan serta kedaulatan negara—bukan sebagai aparat penegak hukum.
“Pelibatan TNI dalam penyidikan pidana menunjukkan intervensi militer yang semakin besar dalam kehidupan sipil. Ini jelas mencederai prinsip supremasi sipil dalam sistem demokrasi,” tegas Wahyudi, Jumat (3/10).
Menurutnya, keterlibatan militer dalam penegakan hukum pidana—termasuk keamanan siber—tidak hanya menyalahi konstitusi dan UU TNI, tetapi juga menjadi ancaman serius terhadap kebebasan sipil dan demokrasi.
Wahyudi menyoroti bahwa pasal kontroversial ini merupakan bagian dari tren militerisasi ruang siber yang kian menguat, sejak revisi UU TNI yang menambahkan tugas operasi militer selain perang, termasuk penanganan ancaman siber.
Ia mengkritik tidak adanya kejelasan terkait gradasi atau tingkatan ancaman dalam RUU ini, yang berpotensi membuka ruang luas bagi militer untuk terlibat di seluruh aspek penanganan keamanan siber, termasuk yang bukan kategori perang siber.
“Tugas TNI di bidang pertahanan siber seharusnya bersifat defensif, seperti melindungi pasukan dan aset negara dari serangan. Bukan terlibat langsung dalam proses penegakan hukum,” ujarnya.
Kekhawatiran lain yang mencuat adalah soal akuntabilitas. Wahyudi menilai, hingga kini belum ada pembaruan terhadap UU Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, sehingga semua pelanggaran pidana—baik militer maupun umum—yang dilakukan anggota TNI, tetap diadili di peradilan militer.
Hal ini dianggap membuka ruang impunitas dan menutup akses keadilan bagi korban pelanggaran yang dilakukan oleh militer dalam konteks penyidikan tindak pidana siber.
“Ini berisiko besar terhadap pelanggaran hak asasi manusia. Ketika militer diberi kewenangan seperti aparat penegak hukum sipil tanpa pengawasan dan mekanisme akuntabilitas yang kuat, yang dikorbankan adalah prinsip negara hukum itu sendiri,” jelasnya.
Koalisi masyarakat sipil mendesak agar DPR dan pemerintah melakukan evaluasi menyeluruh terhadap RUU KKS. Keterlibatan TNI dalam urusan siber harus dibatasi secara tegas dan hanya mencakup aspek pertahanan yang bersifat strategis dan defensif.
RUU ini dianggap perlu disusun dengan pendekatan yang lebih akomodatif terhadap prinsip hak asasi manusia, supremasi sipil, dan sistem hukum demokratis.