Rivalitas Amerika Serikat dan China tak hanya membawa tekanan bagi Asia Tenggara sebagai kawasan yang strategis, namun juga menguji sentralitas dan persatuan Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara atau ASEAN.
Pernyataan tersebut dikatakan oleh Professor Ann Marie Murphy dari Sekolah Diplomasi dan Hubungan Internasional Universitas Seton Hall New Jersey, Amerika Serikat dalam acara diskusi bertajuk ‘The United States Free and Open Indo Pacific: Implications for Southeast Asia and Indonesia’ yang digelar di Jakarta, Senin.
“Kompetisi AS dan China memberikan tantangan bagi otonomi strategis Asia Tenggara dan kepentingan Indonesia untuk memastikan kawasan tetap bebas dari hegemoni kekuatan luar dan intervensi dari negara kuat,” kata Murphy yang tengah melakukan riset di Indonesia sebagai Fulbright ASEAN Research Program Scholar.
Tantangan tersebut menjadi semakin rumit ketika kompetisi strategis kedua negara juga membawa tantangan bagi sentralitas dan kohesi ASEAN, terlebih dengan semakin meningkatnya tekanan bagi negara-negara Asia Tenggara untuk memilih kubu.
“Asia Tenggara ingin menjaga otonomi strategis dan ekonomi, dan tidak ada yang ingin membuat pilihan biner,” katanya.
Meski demikian, Murphy mengatakan dapat terlihat jelas perbedaan dalam respons dari masing-masing negara terhadap kompetisi kedua negara, terutama dalam respons terhadap keagresifan China yang dia soroti.
Dia menyebut ada tiga opsi strategis dalam sikap yang diambil, salah satunya adalah menyeimbangkan.
“Satu dari sedikit contoh negara yang mengambil langkah ‘balancing’ adalah Filipina di bawah pemerintahan Aquino yang memperkuat kerja sama kemanan dengan Amerika Serikat melalui pelatihan militer, dan membawa China ke Pengadilan Arbitrase Permanen UNCLOS sebagai respons dari pencaplokan Scarborough Shoal,” jelas Murphy.
SIkap lain adalah penolakan, yang menurutnya terlihat dalam sikap Indonesia di zona ekonomi ekslusif periran Natuna dan ancaman PM Malaysia untuk membatalkan proyek Jalur Sutra di negara tersebut.
“Selain itu, ada sikap bergabung (bandwagoning) guna mendapatkan keuntungan militer atau ekonomi. Saya rasa sikap Kamboja merupakan salah satu contoh yang jelas,” kata Murphy.
Murphy menjelaskan lebih lanjut bahwa membatasi dan menutup kemungkinan untuk memilih kubu adalah pilihan lain yang dapat diambil sebagai sikap atas kompetisi AS dan China maupun keagresifan China yang dia sebut.
“Tentu ini respons yang ingin dipilih oleh negara-negara Asia Tenggara. Tak perlu mengambil kubu Amerika Serikat atau China. Semua ingin menjaga hubungan baik dengan kedua negara dan mendapatkan keuntungan ekonomi dari keduanya,” papar dia.
Murphy pun menyebut, menurut sebuah survei terhadap lebih dari 1.000 petinggi di bidang kebijakan luar negeri Asia Tenggara, terdapat pandangan atas China sebagai ancaman bagi kawasan dan ketidakyakinan terhadap Amerika Serikat sebagai mitra yang dapat dipercaya.
“Kombinasi dari persepsi China sebagai ancaman yang meningkat dan persepsi atas AS sebagai mitra keamanan yang penting membuat sikap tersebut menjadi semakin sulit untuk diambil,” lanjutnya.
Menurut dia, perbedaan sikap yang diambil oleh masing-masing negara di ASEAN mengindikasikan penurunan dalam persatuan ASEAN.
Dalam menghadapi kompetisi yang bernuansa ‘zero sum game’ antara AS dan China, Murphy meyakini ASEAN perlu berbicara dalam satu suara, terutama dalam isu-isu penting.
“Satu suara itu contohnya dapat dilakukan dengan membuat satu wadah bersama seperti standar-standar dalam investasi proyek Belt and Road Initiative China di kawasan terkait transparansi dan lain lain, atau policy sharing,” ujarnya.
Implikasi terhadap Indonesia
Menurut Murphy, kurangnya keseragaman dalam sikap negara-negara ASEAN dalam beberapa isu memiliki implikasi negatif bagi kepemimpinan Indonesia di kawasan, yang secara tradisional didasarkan pada ASEAN.
Meski demikian, dia menyebut Indonesia telah sukses menyusun sejumlah prinsip dalam ASEAN Outlook on the Indo-Pacific dan merangkul negara-negara ASEAN lain untuk menyetujui
“Kita melihat dalam hal respons terhadap Indo Pasifik yang bebas dan terbuka (Free and Open Indo Pacific), Indonesia memimpin dan telah menciptakan ASEAN Outlook on Indo-Pacific,” ujarnya.
Lebih lanjut, menurut dia, ASEAN Outlook on the Indo-Pacific dibuat untuk kawasan yang inklusif, yang mencakup AS, China dan semua kekuatan besar yang berkomitmen untuk mematuhi norma-norma regional ASEAN khususnya non-intervensi dan resolusi damai terhadap sengketa.
“Saya pikir tantangannya sekarang untuk Indonesia adalah mencoba menilai prinsip-prinsip dalam Outlook tersebut dan merangkul negara lain untuk mematuhinya,” kata dia.
Negara-negara di ASEAN menghadapi tantangan serupa dalam merespons kompetisi AS dan China karena secara strategis, kawasan Asia Tenggara berada di titik penting dalam rivalitas tersebut. Indonesia, sebagai negara kepulauan menghadapi tantangan sebagai pusat dari Indo-Pasifik.
Oleh karena itu, kawasan Asia Tenggara menghadapi ancaman untuk menjadi titik perebutan kekuasan dalam segi ekonomi dan pengaruh ideologi.
Indonesia telah secara tegas menetapkan sikap dan posisi ASEAN dalam konsep Indo-Pasifik, di tengah rivalitas AS dan China.
Presiden Joko Widodo sebelumnya telah menegaskan bahwa posisi ASEAN yang berada di kawasan Indo-Pasifik harus mampu menjadi poros, memainkan peranannya dan mengubah ancaman menjadi peningkatan kerja sama.
Konsep Indo-Pasifik dapat dikembangkan dengan peningkatan kerja sama dan potensi ketegangan yang diubah menjadi perdamaian.
Dia pun menegaskan bahwa ASEAN perlu mengembangkan kerja sama Indo-Pasifik dengan mengedepankan penghormatan kepada hukum internasional dan sentralitas ASEAN. (ant)