Putar Musik di Kafe atau Restoran Wajib Bayar Royalti!

DJKI Tegaskan: Langganan Streaming Bukan Lisensi Komersial, Pelaku Usaha Wajib Bayar Royalti ke LMKN

JAKARTA, Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kementerian Hukum dan HAM menegaskan bahwa pelaku usaha yang memutar musik di ruang publik seperti restoran, kafe, toko, pusat kebugaran, hingga hotel wajib membayar royalti kepada pencipta dan pemilik hak cipta. Hal ini berlaku meskipun mereka telah berlangganan layanan streaming seperti Spotify, YouTube Premium, Apple Music, atau sejenisnya.

Read More

Menurut Direktur Hak Cipta dan Desain Industri DJKI, Agung Damarsasongko, layanan streaming bersifat personal dan tidak mencakup penggunaan komersial. Oleh karena itu, pelaku usaha diwajibkan mengantongi lisensi tambahan untuk memutar musik di ruang publik.

“Ketika musik diperdengarkan kepada publik di ruang usaha, itu sudah masuk kategori penggunaan komersial, sehingga dibutuhkan lisensi tambahan melalui mekanisme yang sah,” kata Agung dalam keterangan tertulis, Senin (28/7/2025).

Pembayaran royalti dilakukan melalui Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN), sesuai dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dan Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Lagu dan/atau Musik. LMKN bertugas menghimpun dan menyalurkan royalti kepada para pencipta dan pemilik hak terkait.

“Skema ini memastikan transparansi, keadilan, dan kemudahan bagi pelaku usaha karena tak perlu mengurus lisensi dari tiap-tiap pencipta lagu,” tambah Agung.

Dirinya menegaskan, meski berlangganan layanan seperti Spotify atau YouTube Premium, izin tersebut hanya mencakup penggunaan pribadi. Untuk pemutaran musik di ruang usaha atau area publik, dibutuhkan izin komersial yang terpisah.

Pelaku usaha yang menggunakan musik tanpa izin bisa dikenakan sanksi hukum atas pelanggaran hak ekonomi pencipta, terutama dalam bentuk performing rights atau hak pertunjukan.

Untuk pelaku usaha skala mikro, kecil, dan menengah (UMKM), DJKI menyebut ada mekanisme keringanan hingga pembebasan tarif royalti. Penyesuaian tarif dilakukan berdasarkan ukuran tempat, jumlah pengunjung, serta intensitas penggunaan musik.

“Kami mengimbau UMKM untuk mengajukan keringanan secara resmi agar tetap terlindungi secara hukum dan tetap mendukung musisi lokal,” ujar Agung.

Ia juga mengingatkan agar pelaku usaha berhati-hati jika ingin menggunakan lagu instrumental atau musik luar negeri yang diklaim sebagai “no copyright”. Banyak musik yang tampak bebas hak cipta ternyata tetap berada di bawah perlindungan hukum dan bisa menimbulkan pelanggaran jika digunakan tanpa izin.

Sebagai solusi, DJKI menyarankan penggunaan musik bebas lisensi (royalty-free), lagu berlisensi Creative Commons untuk komersial, atau bekerja sama langsung dengan musisi independen yang memberikan izin penggunaan.

Isu royalti musik kembali mencuat setelah gerai Mie Gacoan di Bali diduga memutar musik tanpa izin dan tidak membayar royalti sejak 2022. Direktur PT Mitra Bali Sukses, pemegang lisensi waralaba Mie Gacoan, telah ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan pelanggaran Undang-Undang Hak Cipta.

“Musik adalah bagian dari identitas budaya. Ketika pelaku usaha enggan memberikan apresiasi kepada pencipta lagu, yang dirugikan bukan hanya musisinya, tetapi juga ekosistem kreatif nasional,” tegas Agung.

Agung mengingatkan bahwa perlindungan hak cipta bukan sekadar kewajiban hukum, melainkan bentuk penghormatan terhadap karya seni yang turut menambah nilai dalam pengalaman pelanggan.

“Pemutaran musik yang sah justru menciptakan rasa nyaman bagi konsumen sekaligus mendukung keberlanjutan industri kreatif,” tutupnya.

Related posts

Leave a Reply