Pengertian, Sejarah Dan Aturan Parliamentary Threshold Dalam Pemilu

Foto: MPR

JAKARTA, Pemilihan umum (Pemilu) 2024 telah dilaksanakan pada 14 Februari lalu. Tak hanya menentukan siapa yang berhak menjadi presiden dan wakil presiden, Pemilu juga memperebutkan kursi di DPR.

Sebagai informasi, dalam Pemilu 2024 diikuti oleh 24 partai politik (parpol) yang terdiri dari 18 parpol nasional dan 6 parpol lokal Aceh. Namun, tak semua parpol akan mendapatkan kursi di DPR.

Read More

Sebab, Indonesia telah menerapkan aturan parliamentary threshold. Apakah itu? Simak pengertian dan aturannya dalam artikel ini.

Pengertian Parliamentary Threshold

Mengutip Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) Nomor 48/PUU-XVIII/2020, parliamentary threshold adalah ambang batas parlemen. Parliamentary threshold merupakan syarat minimal perolehan suara yang harus diperoleh partai politik peserta Pemilu, agar bisa diikutkan di dalam pembagian kursi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Sejarah Parliamentary Threshold

Mengulik sejarahnya, aturan tentang parliamentary threshold pertama kali diterapkan pada Pemilu 2009. Kala itu, pemerintah menetapkan syarat kepada parpol untuk bisa memperoleh kursi di DPR dengan memperoleh suara sekurang-kurangnya 2,5% dari jumlah suara nasional.

Aturan mengenai ambang batas parlemen tercantum dalam Pasal 202 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Akan tetapi, peraturan parliamentary threshold pada 2009 belum berlaku untuk kursi DPRD Provinsi dan kabupaten/kota. Akhirnya, pemerintah kembali memberlakukan ambang batas parlemen dalam Pemilu 2014.

Aturan mengenai batas ambang parlemen kemudian diperbarui dalam Pasal 208 Undang-undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Pasal itu menetapkan batas perolehan suara lebih tinggi, yakni 3,5% dari jumlah suara nasional.

Ketika suatu parpol mendapat perolehan suara 3,5% atau lebih, maka ia berhak mendapatkan kursi di DPR. Aturan baru parliamentary threshold itu berlaku pada Pemilu 2014 dan ditetapkan untuk DPR, DPRD Provinsi, serta DPRD Kabupaten/kota.

Lalu, aturan mengenai parliamentary threshold juga berlaku dalam Pemilu 2019 yang tercantum dalam Pasal 414 dan 415 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Dalam UU tersebut ditetapkan sebuah parpol harus memperoleh sekurang-kurangnya 4% suara dari jumlah suara nasional agar bisa memperoleh kursi di DPR.

Aturan tersebut berlaku secara nasional, sehingga partai yang lolos ambang batas parlemen nasional secara otomatis masuk parlemen daerah. Sementara itu, partai yang tidak lolos parliamentary threshold maka dinyatakan tidak lolos untuk DPRD Kabupaten/kota.

Bunyi Aturan Parliamentary Threshold

Seperti yang disebutkan di atas, aturan mengenai ambang batas parlemen telah tertuang dalam Pasal 414 dan 415 Undang-undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.

Berikut bunyi aturan tentang parliamentary threshold yang tertera pada Pasal 414 dan 415:

Pasal 414

(1) Partai Politik Peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara paling sedikit 4% (empat persen) dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi anggota DPR.

(2) Seluruh Partai Politik Peserta Pemilu diikutkan dalam penentuan perolehan kursi anggota DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota.

Pasal 415

(1) Partai Politik Peserta Pemilu yang tidak memenuhi ambang batas perolehan suara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 414 ayat (1) tidak disertakan pada penghitungan perolehan kursi DPR di setiap daerah pemilihan.

Demikian pembahasan mengenai parliamentary threshold mulai dari pengertian, sejarah, dan bunyi aturannya.(det)

Related posts

Leave a Reply