JAKARTA, Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia menyoroti tren penurunan tingkat pengangguran terbuka (TPT) di Indonesia pada awal 2025 sebagai fenomena yang patut dicermati secara lebih mendalam. Dalam kajiannya, LPEM mengingatkan bahwa perbaikan angka makro ekonomi belum mencerminkan perbaikan struktural di pasar kerja nasional.
Kajian yang disusun oleh peneliti LPEM, Muhammad Hanri dan Nia Kurnia, menunjukkan bahwa meskipun TPT turun dari 4,82% menjadi 4,76% per Februari 2025, kenyataannya jumlah penganggur secara absolut justru meningkat tipis dari 7,20 juta menjadi 7,28 juta orang. Artinya, penurunan TPT lebih dipengaruhi oleh bertambahnya angkatan kerja dan penyerapan di sektor informal, bukan karena turunnya jumlah penganggur secara signifikan.
“Di balik angka yang terlihat membaik, masih banyak kelompok terutama lulusan SMA dan SMK yang kesulitan mengakses pekerjaan layak. Gelombang PHK masih terjadi, dan banyak pekerja terdorong masuk ke sektor informal dan gig economy yang penuh risiko dan tanpa perlindungan memadai,” tulis laporan LPEM, dikutip Rabu (4/6/2025).
Data terbaru Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat angkatan kerja mencapai 153,05 juta orang, naik 3,67 juta dibanding Februari 2024. Penduduk bekerja pun meningkat menjadi 145,77 juta orang. Namun, kenaikan ini tidak diimbangi oleh pertumbuhan pekerjaan formal. Sebaliknya, proporsi pekerja informal justru meningkat dari 59,17% menjadi 59,40%.
LPEM mencatat bahwa sebagian besar pekerja informal tersebar dalam kategori berusaha sendiri, pekerja lepas, dan pekerja keluarga tidak dibayar. Sementara itu, pekerja formal yang biasanya memiliki akses terhadap jaminan sosial dan stabilitas pendapatan mengalami penurunan secara proporsional.
Fenomena maraknya gig economy turut menjadi sorotan penting. Di tengah gelombang PHK yang meningkat 20,21% sepanjang 2024, banyak pekerja yang kehilangan pekerjaan formal beralih ke platform digital seperti Gojek, Grab, ShopeeFood, TikTok Shop, hingga perdagangan online.
“Platform digital menjadi solusi cepat bagi mereka yang terkena PHK, terutama di kota-kota besar. Namun, pekerjaan ini sering kali hadir dengan jam kerja panjang, pendapatan tak menentu, dan tanpa perlindungan sosial,” ujar LPEM.
Survei yang dikutip LPEM menunjukkan bahwa sekitar 28,4% pekerja gig bekerja 13–14 jam per hari, dan 24,4% lainnya 11–12 jam. Hanya sebagian kecil yang bekerja di bawah 8 jam. Hal ini menunjukkan bahwa fleksibilitas yang dijanjikan gig economy sering dibayar mahal dengan kelelahan fisik dan kerentanan sosial.
Laporan LPEM juga menyoroti kenaikan upah rata-rata buruh nasional yang hanya tumbuh 1,78% menjadi Rp3,09 juta per bulan. Selain itu, ketimpangan upah masih tinggi, terutama antara pekerja laki-laki dan perempuan, serta antara pekerja dengan pendidikan rendah dan tinggi.
Sekitar 35,89% tenaga kerja Indonesia masih berpendidikan SD ke bawah, yang membuat mereka kesulitan mengakses pekerjaan dengan upah layak dan kondisi kerja yang lebih baik.
Menanggapi tren ini, LPEM merekomendasikan agar kebijakan ketenagakerjaan ke depan tidak hanya fokus pada penciptaan lapangan kerja secara kuantitatif, tetapi juga pada aspek kualitas, keberlanjutan, dan perlindungan kerja.
“Penguatan kebijakan perlu menyasar peningkatan keterampilan tenaga kerja, regulasi perlindungan pekerja informal, dan perluasan akses terhadap pekerjaan yang layak dan aman,” tegas LPEM.
Indonesia memang mencatat kemajuan dalam penyerapan tenaga kerja, tetapi tantangan struktural seperti dominasi sektor informal, ketimpangan upah, rendahnya pendidikan tenaga kerja, serta lonjakan pekerja gig masih menjadi hambatan nyata menuju pasar kerja yang adil dan berkelanjutan.