JAKARTA, Pemerintah menggandeng The Australia Indonesia Partnership for Economic Development (Prospera) untuk membedah kondisi Industri Tekstil dan Pakaian Jadi (TPT) yang kinerjanya terus tertekan. Kolaborasi ini dituangkan dalam Forum Kebijakan Strategis bertajuk “Arah Pengembangan Industri Tekstil dan Pakaian Jadi yang Berkelanjutan dan Berdaya Saing Global”.
Plt. Deputi Bidang Koordinasi Industri, Ketenagakerjaan, dan Pariwisata Kemenko Perekonomian, Dida Gardera, mengatakan kajian tersebut dilakukan untuk memetakan persoalan struktural yang membuat sektor TPT masuk fase sunset industry.
“Industri tekstil dan produk tekstil ini bisa disebut sunset industry. Banyak outlet tekstil yang dulu marak, misalnya di Bandung era 80–90-an, kini berkurang. Ini menunjukkan kebutuhan teknologi yang lebih maju dan daya saing yang harus ditingkatkan,” ujarnya dalam siaran pers, Rabu (10/12/2025).
Kinerja industri TPT pada triwulan III-2025 hanya tumbuh 0,93 persen (yoy). Sektor ini juga mencatat defisit neraca perdagangan. Pemerintah menyoroti disparitas utilisasi produksi: sub-sektor pakaian jadi mencapai 72,67 persen, sementara tekstil hanya 51,71 persen.
Padahal, TPT merupakan sektor padat karya yang menyerap 3,75 juta tenaga kerja atau 19,16 persen dari total manufaktur, serta berkontribusi ekspor senilai 6,92 miliar dolar AS.
Kajian bersama Prospera mengidentifikasi adanya peluang pertumbuhan melalui pengembangan high value garments dan material berkelanjutan—dua kategori yang kini menjadi fokus permintaan global.
Namun, berbagai hambatan struktural masih membayangi, antara lain; Kesenjangan kompetensi SDM, Ketergantungan tinggi pada bahan baku impor, Biaya energi dan logistik yang relatif mahal, Lemahnya integrasi rantai pasok dari hulu ke hilir, Ancaman eksternal seperti overcapacity dan dugaan praktik dumping dari Tiongkok
Dari pemetaan tersebut, pemerintah menilai pemulihan TPT harus dilakukan secara terintegrasi dengan memperkuat sektor hulu dan antara.
Sejumlah rekomendasi yang dianggap prioritas meliputi penataan tata niaga impor untuk melindungi pasar domestik, peningkatan kesiapan industri memenuhi standar keberlanjutan global, pemanfaatan peluang perjanjian IEU–CEPA untuk memperluas pasar Eropa, serta fokus pada produk bernilai tambah tinggi dan material ramah lingkungan.
Direktur Industri, Perdagangan, dan Peningkatan Investasi Bappenas, Roby Fadillah, menilai industri TPT Indonesia masih terjebak pada proses cut-make-trim yang memberikan nilai tambah rendah.
“Diperlukan peningkatan nilai tambah melalui intra-sector upgrading dan inter-sector upgrading. Sustainable fashion bisa menjadi strategi leapfrog,” kata Roby.
Sementara itu, Direktur Industri Tekstil, Kulit, dan Alas Kaki Kemenperin, Rizky Aditya Wijaya, menegaskan komitmen pemerintah mempercepat implementasi program prioritas TPT 2026–2029, yang mencakup penguatan struktur industri, peningkatan daya saing global, serta percepatan transformasi menuju industri hijau, sirkular, dan digital.






