Pemerintah Harus Bertindak Tegas Terhadap Permasalahan Natuna

Fenomena masuknya kapal penjaga pantai China ke perairan Natuna, Kepulauan Riau, pada Desember 2019, mendapat respons beragam mulai dari kaget hingga meminta pemerintah bertindak tegas.

Pengamat perikanan dan Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan, Abdul Halim menyatakan guna menjaga kedaulatan kawasan perairan di Laut Natuna, Kementerian Kelautan dan Perikanan perlu mengkaji kembali aspek pengawasan laut.

Read More

“Langkah strategis yang mesti dilakukan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan adalah mereorientasi kinerja Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (Ditjen PSDKP), setidaknya meningkatkan capaian yang sudah diraih oleh Satgas 115,” kata Abdul Halim.

Abdul Halim mengingatkan bahwa sejak dibentuk kementerian itu, pengawasan di laut menjadi mandat Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) terutama Ditjen PSDKP.

Dengan demikian, ujar dia, maka seharusnya komitmen dan inovasi dalam mencapai target saja yang belum dilakukan agar dinamika ancaman di tapal batas bisa diatasi.

Namun, lanjutnya, diingatkan pula bahwa bukan hanya KKP yang memiliki kewenangan pengawasan di laut, melainkan juga Bakamla, TNI AL dan Kepolisian RI.

Sementara itu, pengamat kebijakan kelautan dan perikanan Moh Abdi Suhufan mengingatkan pemerintah, melalui berbagai kementerian dan lembaga yang terkait, perlu benar-benar memperkuat berbagai regulasi dalam rangka memperkuat industri perikanan di Laut Natuna sebagai bentuk nyata penegakan kedaulatan NKRI.

Abdi yang juga menjabat sebagai Ketua Harian Ikatan Sarjana Kelautan Indonesia (Iskindo) itu memaparkan Laut Natuna dan sekitarnya masuk dalam Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) 711 dengan estimasi potensi ikan lestari sebanyak 767.000 ton.

Ia berpendapat bahwa pemerintah mesti menganalisis betul rencana penambahan armada kapal ikan di Natuna, sebab tampaknya problem utama bukan kekurangan kapal tapi proses bisnis perikanan yang belum berjalan, apalagi bila kapal yang mau dialihkan ke sana adalah kapal yang bermasalah dari segi perizinan dan alat tangkap yang digunakan.

Proses bisnis perikanan yang dimaksud, lanjut dia, adalah selama ini ikan hasil tangkapan tidak didaratkan di Natuna tapi dibawa ke Pulau Jawa dan Tanjung Balai Karimun, sehingga perdagangan dan kegiatan ekonomi tidak berputar di sekitar Natuna.

“Jumlah kapal ukuran di atas 30 GT (Gross Tonnage) saat ini berjumlah 811 unit kapal. Belum lagi ditambah dengan izin yg dikeluarkan oleh daerah untuk kapal ukuran di bawah 30 GT. Jadi, sebenarnya dari segi jumlah kapal sudah cukup banyak,” katanya.

Ia menambahkan berbagai sarana dan prasarana pelabuhan dan Unit Pengolahan Ikan (UPI) sudah tersedia di Sentra Kelautan Perikanan Terpadu Natuna di Selat Lampa.

Abdi menegaskan pihaknya mendukung sikap Presiden Joko Widodo dan Pemerintah Indonesia untuk menegakkan kedaulatan di Laut Natuna, antara lain karena tanpa kedaulatan penuh upaya membangun kesejahteraan masyarakat menjadi sia-sia.

Senada, Ketua Harian Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Dani Setiawan meminta kepada pemerintah untuk tidak melakukan negosiasi terhadap Pemerintah China soal wilayah perairan nasional di Kepulauan Natuna.

Menurut Dani, Pemerintah Indonesia harus memiliki sikap tegas melihat langkah China di perairan Indonesia karena hal ini dinilai semata-mata tidak hanya soal wilayah, tetapi ada aspek ekonominya yaitu Natuna yang kaya akan sumber daya alam seperti perikanan hingga migas.

Selain itu, lanjut dia, China juga sedang berupaya untuk memperluas pengaruh politik di kawasan Asia Tenggara, salah satunya menggunakan kekuatan militernya.

“Kalau dibiarkan akan jauh lebih berbahaya nantinya, jangan sampai mereka kembali melakukan berulang di mana mereka melakukan klaim sebagai wilayah mereka,” katanya.

Permudah perizinan
Anggota Komisi IV DPR RI Ono Surono menginginkan perizinan terhadap nelayan yang ingin melaut di kawasan perairan nasional, termasuk di Natuna dapat dipermudah, dalam rangka meningkatkan pemberdayaan sumber daya perikanan Nusantara.

Ono Surono mengakui bahwa kapal nelayan yang ingin beroperasi di Natuna juga tak mudah, karena akan beroperasi di atas 25 mil sampai 200 mil sebagaimana ketentuan ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif), shingga diperlukan kapal skala besar dan waktu yang lama, serta pelabuhan perikanan yang dapat menampung kapal beserta hasil tangkapannya.

Untuk itu, ujar Ono, ada sejumlah hal yang harus disegerakan untuk diubah antara lain mengizinkan kembali kapal-kapal perikanan besar yang dahulu izinnya dicabut dengan tetap mengacu pada prinsip milik dan modal murni Indonesia, serta mencabut pelarangan pembangunan kapal perikanan maksimal 150 GT.

Politisi PDIP itu juga mengusulkan untuk memperbanyak kapal pengangkut ikan dan membolehkan untuk melakukan transhipment di tengah laut dengan pengawasan yang ketat, serta mengoptimalkan pembenahan terhadap Sentra Kelautan Perikanan Terpadu (SKPT) Natuna untuk bisa beroperasi menampung kapal dan hasil tangkapan nelayan secara maksimal.

Ia berpendapat bahwa keberadaan pelabuhan di Natuna amatlah penting guna menampung kapal dan hasil tangkapannya, sehingga jangan sampai kawasan perairan ibarat rumah yang kosong atau tidak berpenghuni sehingga membuat maling sangat leluasa mencuri isinya.

Presiden Joko Widodo telah meminta para nelayan di Kabupaten Natuna mengoptimalkan pemanfaatan sarana dan prasarana perikanan yang telah dibangun di daerah itu.

Kepala Negara saat bertemu nelayan di Sentra Kelautan dan Perikanan Terpadu Natuna, Kepri, Rabu (8/1), menyebutkan dengan sarana yang tersedia, maka ikan hasil tangkapan nelayan dapat terjual semua.

Presiden juga mengatakan bahwa pemerintah baik pusat maupun daerah ingin semua sumber daya laut dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.

Pangkalan nelayan
Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan pemerintah ingin membangun pangkalan nelayan di perairan Natuna Utara, Kepulauan Riau.

Menurut Luhut, rencana untuk membuat pangkalan kapal ikan di Natuna bukan hal baru. Pangkalan itu akan dibangun untuk memfasilitasi nelayan asal Pantai Utara Jawa yang akan direlokasi untuk berlayar di sana. Sayangnya, rencana itu belum juga terealisasi hingga saat ini.

Menko Kemaritiman dan Investasi juga menegaskan bahwa China tidak pernah meminta Indonesia untuk menukar kedaulatan negara demi investasi dari China.

Luhut mengatakan proses diplomasi antara Indonesia dan China terkait kapal China di wilayah zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia di perairan Natuna membutuhkan waktu.

Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo berjanji membangun fasilitas pendingin atau cold storage sebagai upaya menyerap aspirasi dari kalangan nelayan yang berada di kawasan Laut Natuna, Provinsi Kepulauan Riau, serta solusi bagi ketidakstabilan harga ikan yang kerap dihadapi nelayan.

Dalam pemberitaan terakhir juga diketahui pula bahwa Presiden Joko Widodo juga mengajak pelaku usaha Jepang melalui Menlu Jepang Motegi Toshimitsu, melakukan investasi di Kabupaten Natuna Kepulauan Riau.

“Saya ingin mengajak Jepang melakukan investasi di Natuna,” kata Presiden Jokowi ketika menerima Menlu Jepang di Istana Merdeka Jakarta, Jumat (10/1).

Kepala Negara mengapresiasi kerja sama RI-Jepang di Natuna yang sudah terjalin, yaitu pembangunan sentra kelautan dan perikanan terpadu untuk fase pertama.

Senada, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi juga mengemukakan kerja sama terkait pengembangan Natuna bukan hal baru tapi sudah dibahas sejak lama antara untuk pengembangan SKPT di Natuna.

Tidak pengaruhi investasi
Sementara Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita mengatakan bahwa masalah yang terjadi di Natuna antara Indonesia dan China tidak mempengaruhi investasi negara tirai bambu di Tanah Air.

Menurut Agus, Indonesia tetap menjadi tujuan investasi yang menarik bagi negara lain, mengingat situasi ekonomi yang relatif baik.

Bahkan, lanjut dia, negara di kawasan Asia Timur sudah merumuskan kebijakan yang disebut new south policy, di mana negara-negara itu mulai melirik tujuan investasi ke bumi bagian selatan, yaitu kawasan ASEAN yang termasuk Indonesia.

Senada, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia menilai masalah di perairan Natuna, Kepulauan Riau, tidak akan berpengaruh terhadap investasi China di Indonesia.

“Kalau berbicara persoalan Natuna dan investasi adalah dua hal yang berbeda. Investasi adalah investasi, hubungan bisnis antara kedua belah pihak. Sementara kalau Natuna adalah urusan kedaulatan,” katanya.

Menurut dia, penyelesaian persoalan Natuna adalah dalam tataran hubungan diplomasi yang baik. Diharapkan hubungan diplomasi yang baik akan mendukung proses investasi kedua pihak.

Dengan adanya langkah yang cantik dan strategis yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia, maka akan tercapai pula dua tujuan yaitu menegakkan kedaulatan sekaligus tidak mengganggu investasi yang masuk ke dalam negeri.

Related posts

Leave a Reply