Pelemahan Rupiah terhadap Dolar AS Terus Terjadi, Begini Sejarah dan Penyebabnya

JAKARTA, Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) mengalami tekanan berat, bahkan mencapai level terendah dalam sejarah. Berdasarkan data dari Refinitiv, rupiah tercatat pada level Rp16.575/US$, melemah 0,79% pada perdagangan terbaru. Angka ini bahkan mengalahkan posisi penutupan pada 23 Maret 2020, yang sempat tertekan akibat pandemi Covid-19, meskipun belum menyentuh posisi terendah intraday yang tercatat di Rp16.620/US$.

Pelemahan mata uang Garuda ini mengingatkan kembali pada momen-momen krisis ekonomi besar yang pernah terjadi, seperti krisis 1998, 2008, dan 2020.

Read More

Krisis ekonomi Asia pada 1997/1998 dimulai dari Thailand yang meninggalkan kebijakan nilai tukar tetap terhadap dolar AS, memicu krisis mata uang di Asia Tenggara. Indonesia, dengan perekonomian yang rapuh, turut merasakan dampak besar. Pada akhir 1997, nilai tukar rupiah berada di Rp4.650/US$, namun dalam krisis puncaknya, rupiah terpuruk hingga Rp16.800/US$ pada pertengahan 1998. Secara tahunan, rupiah terdepresiasi hingga 128,72% pada 1997 dan 44,44% pada 1998, mencatatkan penurunan tajam dalam sejarah ekonomi Indonesia.

Pada tahun 2008, dunia kembali diguncang dengan krisis finansial global akibat runtuhnya sejumlah bank besar di AS. Rupiah yang sebelumnya stabil di sekitar Rp9.000/US$, tiba-tiba terjungkal hingga menyentuh level Rp12.000/US$ pada akhir tahun. Meskipun terpuruk, rupiah tidak mencapai level Rp16.000/US$, namun krisis global ini cukup memberi dampak besar terhadap nilai tukar rupiah.

Pada tahun 2013, Indonesia kembali menghadapi krisis ekonomi, yang dikenal sebagai fenomena “Taper Tantrum.” Kebijakan Bank Sentral AS (The Fed) yang mulai mengurangi stimulus moneter (tapering) menyebabkan ketidakpastian di pasar global. Rupiah yang pada awal tahun 2013 berada di level Rp9.630/US$ jatuh ke Rp12.160/US$ di akhir tahun. Tekanan ini mencapai puncaknya pada bulan Agustus 2013, dengan pelemahan sekitar 10%.

Pada awal 2020, Indonesia menghadapi krisis akibat pandemi Covid-19 yang menghentikan hampir seluruh aktivitas ekonomi global. Rupiah kembali terjerembab hingga menyentuh level Rp16.550/US$ pada Maret 2020. Pandemi dan kebijakan lockdown menyebabkan aksi jual besar-besaran di pasar finansial, dengan banyak investor asing menarik dana mereka, memperburuk kondisi rupiah. Meskipun terjadi perbaikan menjelang akhir tahun, rupiah tetap tertekan sepanjang 2020.

Di awal tahun 2025, rupiah kembali menghadapi tantangan berat. Faktor eksternal seperti kebijakan proteksionisme yang diterapkan oleh Presiden AS, Donald Trump, kembali mempengaruhi pasar. Mulai 4 Maret 2025, tarif impor yang tinggi diberlakukan terhadap Kanada, Meksiko, dan China. Kebijakan ini menciptakan ketidakpastian dan memperburuk volatilitas pasar keuangan global.

Pelemahan rupiah kali ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Ekonom Bank Maybank Indonesia, Myrdal Gunarto, menyebutkan bahwa lonjakan volatilitas pasar dan aksi ambil untung investor menjadi faktor penting yang mempengaruhi depresiasi rupiah. Selain itu, kebijakan tarif yang diumumkan oleh Trump pada Februari 2025 turut memperburuk sentimen negatif terhadap ekonomi global, yang berimbas pada melemahnya mata uang negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.

Selain itu, permintaan dolar AS yang tinggi menjelang akhir bulan untuk kebutuhan pembayaran utang dan barang impor, terutama menjelang bulan puasa dan Idul Fitri, turut memberi tekanan pada nilai tukar rupiah. Sementara itu, tekanan inflasi di AS, yang tercermin dari data GDP Price Index AS, memperbesar peluang bagi The Fed untuk menunda pemangkasan suku bunga, mendorong penguatan dolar AS lebih lanjut.

Related posts

Leave a Reply