Ahmad Sahroni (Magister Ilmu Politik Universitas Nasional)
Kehidupan politik di Indonesia semakin hari semakin tak menentu, kejenuhan terhadap politik sudah dirasakan oleh masyarakat secara luas, terlebih dimasa Pandemi Covid-19, bantuan sosial merupakan harapan yang diinginkan oleh masyarakat, bukan malah melihat pertarungan Capres dan Cawapres yang tentunya masih jauh.
Kontestasi Pilpres 2024 menjadi agenda penting Parpol (Partai Politik) dikala masyarakat sedang berduka, sepanduk, baliho bahkan bantuan bertulisan nama dan wajah calon Capres bermunculan. Seolah-olah pertarungan akan dilaksanakan bulan depan, miris dan disayangkan masih perlukah kegiatan-kegiatan tersebut dilakukan tatkala krisis melanda.
Terlebih melihat Parpol saat ini semakin dinamis dan tak bisa dilihat gerak dan tujuannya. Tujuan terbentuknya Partai adalah untuk memudahkan masyarakat agar bisa menyampaikan aspirasi mereka kepada Pemerintah. Akan tetapi, tujuan tersebut seakan-akan jauh dari jalurnya saat ini.
Komunikasi politik, konsolidasi politik merupakan agenda yang perlu dilakukan oleh Parpol menjelang Pemilu, agenda-agenda tersebut semakin marak terlihat di televisi dan media online. Padahal saat ini negara Indonesia dan dunia sedang berjuang untuk keluar dari Pandemi Covid-19. Krisis mengakibatkan kemiskinan, pengangguran semakin meningkat, tak wajar bila partai-partai tersebut tidak mementingkan penyelesaian Covid-19 terlebih dahulu, dibanding dengan agenda yang lain.
Dinamika Partai Politik
Partai Amanat Nasional (PAN) baru-baru ini masuk kedalam koalisi Pemerintah Jokowi-Ma’ruf Amin pada Rabu, 25 Agustus 2021. PAN menyusul Partai Gerindra yang sejak awal masuk kedalam koalisi Indonesia Maju periode 2019-2024.
PAN akhirnya bisa masuk kedalam koalisi penguasa setelah peran Amien Rais selaku pendiri Partai keluar dari kepengurusan Partai pada tahun 2020. Hal ini yang membuat langkah Partai berlogo matahari ini bisa masuk kedalam koalisi.
PAN sebelumnya menjadi bagian dari oposisi berbarengan dengan PKS dan Demokrat, karena pada Pemilu 2019 partai-partai ini masuk dalam koalisi Prabowo-Sandi yang kalah oleh incumbent Joko Widodo-Ma’ruf Amin. Dalam pertarungan tersebut Prabowo-Sandi didukung oleh Partai Gerindra, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Demokrat.
Berbeda dengan koalisi Jokowi-Ma’ruf yang didukung oleh partai-partai mapan dan lama seperti Partai PDI Perjuangan, Golkar, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Nasdem, dan Partai Persatuan Pembangunan. Jelas dari segi manapun koalisi pemenang jauh lebih kuat dibanding koalisi PAN sebelumnya.
Partai-partai diatas merupakan partai yang lolos ke Gedung DPR RI Senayan Jakarta, tercatat ada sembilan partai yang masuk mulai dari PDI Perjuangan, Gerindra, Golkar, PKB, Nasdem, PKS, Demokrat, PAN dan PPP.
Sebelum masuknya Gerindra-PAN ke koalisi, Pemerintah sudah didukung oleh partai-partai besar yang pada 2014 menjadi Partai pemenang Pemilu. Sehingga, Partai koalisi Prabowo secara otomatis menjadi partai oposisi diluar Pemerintah. Akan tetapi, publik seolah tercengang dengan keputusan Gerindra dan PAN masuk kedalam koalisi Indonesia Maju. Alhasil, Partai oposisi diluar lingkaran penguasa tinggal, PKS dan Demokrat.
Disisa jabatan Jokowi-Ma’ruf Amin, PAN di gadang-gadang akan menempati pos Menteri yang sudah disiapkan oleh Presiden dan Partai-Partai lainnya. Sepertinya PAN akan diberikan jabatan posisi Menteri yang sebelumnya dijabat non-Partai, tercatat ada lima belas kursi Menteri yang diisi oleh kalangan profesional.
Posisi tersebut diantaranya adalah Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tastif, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Nadiem Makarim. Atau PAN juga bisa mengisi posisi Wakil Menteri PAN-RB yang memang Perpresnya baru disahkan pada Mei 2021.
Jelas ini menunjukan bahwa PAN juga berkeinginan untuk merasakan posisi-posisi yang menguntungkan bagi Partainya, atau istilahnya bagi-bagi kue oleh penguasa, dan juga Partai yang dipimpin oleh Zulkifli Hasan memiliki keperluan lain yang lebih penting yakni persiapan Pemilu 2024. Dimana saat ini Partai tersebut memiliki kader yang bisa masuk bursa Cawaspres yaitu Walikota Bogor Bima Arya. Hal ini tentu akan disiapkan oleh PAN agar masuk kedalam Partai pemenang Pemilu.
Dengan masuknya PAN dalam koalisi Pemerintah, tentunya ini merubah peta kursi di DPR RI. Terhitung sebanyak 471 kursi DPR dan 474 dari total 711 kursi MPR RI . Ini menunjukan perbedaan yang signifikan yang mengakibatkan tidak seimbangnya kekuatan Pemerintah dan oposisi.
Oposisi (Kedaulatan Rakyat)
Di negara demokrasi seperti Indonesia, keberadaan oposisi merupakan suatu keharusan untuk menjaga agar posisi Pemerintah tidak offside atau berlebihan. Sehingga, keberadaan kelompok penekan (pressure group) ini sangat penting dalam tatanan politik.
Bila kita artikan oposisi ini merupakan kelompok atau Partai politik yang berada diluar kekuasaan, dimana tugasnya untuk menjaga, agar jalannya Pemerintah tetap sesuai dengan kebijakan dan kedaulatan rakyat.
Dan jika kita berbicara terkait oposisi kita berbicara juga terkait dengan kedaulatan rakyat. Seperti yang disampaikan oleh Abraham Lincoln bahwa, kedaulatan rakyat adalah pemerintahan, yang dikelola dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat.
Dan makna ini jauh lebih kental di artikan sebagai negara yang berdaulat untuk rakyat. Hal ini mengingatkan bahwa tidak ada jaminan jika kedaulatan rakyat bisa ditampung dan diterjemahkan seutuhnya oleh Pemerintah. Terlebih kita sudah banyak merasakan bahwa Pemerintah yang mengatasnamakan kedaulatan rakyat malah menjauhi hakekat dari arti kedaulatan terebut.
Untuk itu, diperluakan kekuatan dari luar penguasa yang bisa menekan dan memberikan masukan atau warning kepada Pemerintah agar segala kebijakan atau kegiatannya tidak terlampau absolute.
Saat ini, dengan masuknya PAN secara otomatis, Partai oposisi hanya diisi oleh dua Partai yakni PKS dan Demokrat, tentu ini menjadi kekhawatiran rakyat bila kegiatan Pemerintah terlampau berlebihan. Karena, pada dasarnya kelompok oposisi ini tidak bisa berbuat lebih ketika ada voting atau pengambilan suara didalam Parlemen. Misalnya ketika perubahan Undang-Undang KPK atau Omnibus Law, tentu ini jika dilakukan oleh DPR. Maka kelompok oposisi akan mengalami kekalahan karena jumlah kursi berbeda.
Hal ini juga yang akan memudahkan penguasa untuk melakukan segala kegiatan yang sifatnya bertentangan dengan apa yang selama ini dijaga dan dihormati. Dengan dibantu oleh koalisi secara penuh bisa dipastikan merubah Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang krusial lainnya bisa saja dilakukan kapanpun.
Seperti halnya hari ini, adanya wacana politik sangat kental terkait dengan wacana Amandemen UUD 1945 yang merubah masa jabatan Presiden yang sebelumnya dua periode menjadi tiga periode. Tentunya ini bisa terjadi kapanpun selama koalisi pendukung penguasa tetap menguasai status quo.
Dengan masuknya PAN dalam koalisi Pemerintah, memunculkan beberapa kecurigaan, istilah tidak ada makan siang gratis, tentunya ini ada sesuatu yang sedang di desain oleh pengusaha sehingga memperbolehkan Partai PAN ini masuk dalam koalisi Jokowi-Ma’ruf. Dinamika ini tentunya tidak akan berpihak baik terhadap masyarakat. Itu karena, minimnya kontrol dan pengawasan dari oposisi yang tidak memiliki pengaruh kuat.
Fenomena ini memunculkan dua anggapan yang bisa terjadi. Pertama, tersendaknya sistem demokrasi atau hilangnya kedaulatan rakyat. Kedua, munculnya sistem Pemerintahan otoritarian yang lebih perpihak pada oligarki dan pemburu rente. Hal-hal seperti ini bisa saja terjadi jika elite penguasa tidak bisa dibendung .
Kita tentunya tidak ingin mengalami hal yang pahit seperti Amerika Serikat dibawah kepemimpinan Donald Trump, Ia dianggap telah membunuh demokrasi di negara Amerika, padahal sistem demokrasi di negara tersebut menjadi acuan bagi negara-negara demokrasi lainnya seperti Indonesia. Atau kita juga tidak mau merasakan pahil 32 tahun dipimpin dengan sistem otoritarin.
Tentu kita tidak mau mengulangi hal-hal mengerikan tersebut. Untuk itu, kita harus menjaga demokrasi dan kedaulatan rakyat agar penguasa tidak keluar dari jalur yang tidak diinginkan.