OECD Peringatkan Ancaman Krisis Utang Negara Berkembang, Indonesia Wajib Waspada

Ilustrasi utang

JAKARTA, Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) baru-baru ini mengeluarkan peringatan terkait ancaman krisis utang yang dapat mengancam negara-negara berkembang. Laporan yang berjudul OECD Global Report 2025: Financing Growth in a Challenging Debt Market Environment menunjukkan tren meningkatnya jumlah utang, termasuk di Indonesia, yang perlu waspada terhadap potensi gagal bayar dan risiko utang yang sangat tinggi.

Dalam laporannya, OECD mengungkapkan bahwa banyak negara dengan Produk Domestik Bruto (PDB) di bawah US$ 300 miliar menghadapi risiko utang yang sangat tinggi, bahkan dalam kondisi gagal bayar. Di antara hampir 100 negara berkembang yang memiliki obligasi berdaulat dan peringkat kredit dari lembaga pemeringkat utama, sekitar 73 negara di antaranya memiliki PDB di bawah US$ 300 miliar. Negara-negara ini mencakup hampir 90% dari negara berkembang yang berisiko tinggi atau dalam kondisi gagal bayar, sementara hanya 40% di antaranya yang memiliki peringkat investasi.

Read More

OECD juga menyoroti hubungan erat antara perkembangan pasar obligasi mata uang lokal dan dampak siklus pengetatan global terhadap keberlanjutan utang negara. Negara-negara yang belum mengembangkan pasar obligasi mata uang lokal dianggap lebih rentan terhadap risiko gagal bayar.

“Hal ini menunjukkan hubungan antara perkembangan pasar obligasi mata uang lokal dan dampak siklus pengetatan global saat ini terhadap keberlanjutan,” tulis OECD dalam laporannya. OECD menambahkan bahwa negara-negara seperti Indonesia yang telah mengembangkan pasar obligasi mata uang lokal lebih berhasil menghindari gagal bayar dibandingkan negara yang belum memiliki pasar obligasi lokal yang kuat.

Indonesia, yang merupakan salah satu negara berkembang dengan jumlah utang yang terus meningkat, perlu waspada terhadap dampak dari tren ini. Data dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan Indonesia menunjukkan bahwa total nominal utang pemerintah pusat pada 31 Januari 2025 mencapai Rp 8.909,14 triliun, meningkat 1,21% dari Desember 2024 yang tercatat Rp 8.801,09 triliun.

Meski jumlah utang terus meningkat, rasio utang Indonesia terhadap PDB relatif stabil. Pada Januari 2025, rasio utang Indonesia tercatat sebesar 39,6% dari PDB, sedikit menurun dibandingkan Desember 2024 yang mencapai 39,7%. Pemerintah Indonesia berkomitmen untuk menjaga rasio utang ini agar tetap terkendali dengan dua strategi utama.

Suminto, Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kemenkeu, menjelaskan bahwa pemerintah akan menjaga rasio utang melalui pengendalian utang yang ketat dan dorongan untuk pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi. Upaya pengendalian utang dilakukan dengan meningkatkan penerimaan negara, belanja yang lebih efisien dan produktif, serta pembiayaan yang lebih kreatif dan berkelanjutan.

Contoh program yang dimaksud adalah program pembangunan sumber daya manusia melalui Makan Bergizi Gratis (MBG), pendidikan, kesehatan, ketahanan pangan, energi, serta pengembangan desa, koperasi, dan UMKM. Program-program tersebut diharapkan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi, yang pada gilirannya akan menjaga rasio utang tetap dalam target sasaran.

Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029, pemerintah Indonesia menargetkan rasio utang sebesar 39,15% terhadap PDB pada tahun 2025, dengan kisaran 39,01% hingga 39,10% pada tahun 2029. Pemerintah akan fokus pada pengelolaan utang yang lebih baik dan mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi untuk mengurangi dampak negatif dari utang.

Related posts

Leave a Reply