“Indonesia: The New Tiger of Southeast Asia”. Begitulah julukan yang diberikan kepada Indonesia pada bulan Mei 2019 oleh Elad Natanson, seorang kontributor sekaligus penulis majalah Forbes. Ia menyebut Indonesia sangat berpotensi mengedepankan ekonomi digital sebagai kekuatan ekonomi baru Asia Tenggara. Menurutnya, terdapat tiga fakta yang luar biasa tentang Indonesia.
Pertama, penduduk Indonesia tergolong muda dengan usia rata-rata 29 tahun dan 60 persen dari total penduduk berusia di bawah 40 tahun. Kedua, Indonesia sebagai salah satu negara pengguna telepon seluler (ponsel) terbesar di dunia. Dari 150 juta penduduk yang menggunakan internet, 95 persen di antaranya menggunakan internet dengan ponsel. Ketiga, 60 persen penduduk dewasa Indonesia telah memiliki ponsel pintar.
Jika ketiga fakta tersebut dikombinasikan, dapat disimpulkan bahwa Indonesia mewakili populasi besar dari generasi muda yang digitalsavvy atau mampu mengoperasikan perangkat digital dengan baik.
Kekuatan ekonomi Indonesia juga diprediksi menguat oleh Pricewaterhouse and Coopers (PwC) dalam sebuah riset tentang outlook perekonomian dengan tema “The long view, how will the global economic order change by 2050?”. Indonesia akan berada di peringkat lima dunia pada Tahun 2030 dengan estimasi nilai produk domestik bruto (PDB) sebesar 5,4 triliun Dolar AS dan bahkan berada di peringkat 4 pada Tahun 2050 dengan estimasi nilai PDB sebesar 10,5 triliun Dolar AS.
Akan tetapi, Indonesia tidak boleh terbuai dengan apa yang diprediksi oleh banyak kalangan. Apabila pembenahan tidak dilakukan, maka hampir dipastikan hasil yang didapat tidak akan sesuai dengan apa yang diprediksi.
Dalam mewujudkan prediksi kekuatan ekonomi nasional, Indonesia harus mampu memaksimalkan peran millennials pada masa puncak bonus demografi Tahun 2030, seperti Korea Selatan dan Taiwan yang berhasil memanfaatkan bonus demografi untuk pertumbuhan industri manufaktur yang begitu pesat. Atau Tiongkok yang berhasil memanfaatkan bonus demografi untuk produksi komponen atau peralatan elektronika di industri rumah tangga.
Peran millennials begitu penting untuk meraih keberhasilan Indonesia di masa depan. Namun, generasi ini akan menghadapi tantangan yang tidak biasa. Terdapat 23 juta pekerjaan lama yang akan hilang dan terciptanya 27 juta hingga 46 juta lapangan kerja baru.
Bahkan, 10 juta di antaranya merupakan jenis pekerjaan baru yang tidak ada sebelumnya. Hal ini dampak dari kehadiran Revolusi Industri 4.0 dan perkembangan teknologi digital yang berorientasi pada kehidupan manusia atau Society 5.0.
Melihat fenomena yang akan terjadi di Tahun 2030, sangat diperlukan kolaborasi antara pemerintah, industri, dan institusi pendidikan untuk mewujudkan sumber daya manusia (SDM) Indonesia yang kompeten dan berdaya saing global. Setidaknya penulis menemukan tiga hal penting yang harus ada di dalam pengembangan SDM nasional.
Pertama, membangun konsep link and match. Berdasarkan laporan World Bank Tahun 2019 tentang “The Promise of Education in Indonesia”, sebanyak 4,2 juta orang lulus dari sistem pendidikan Indonesia setiap tahun. Namun, lebih dari 55 persen siswa tidak mencapai kompetensi minimum dalam hal literasi dan numerasi. Hal ini disebakan kurikulum yang diajarkan cenderung tidak selaras dengan kebutuhan industri saat ini.
Institusi pendidikan harus mampu mengubah orientasi pendidikan dari supply minded menjadi demand minded. Pemerintah sendiri melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) telah memberi lampu hijau bagi SMK, diploma, dan universitas untuk berkolaborasi dengan perusahaan, organisasi, dan bahkan institusi pendidikan kelas dunia dalam menyusun kurikulum baru yang sesuai dengan kebutuhan dunia kerja.
Kedua, melakukan sesi coaching. Berdasarkan laporan IDN Research Institute Tahun 2019 tentang “Indonesia Millennial Report 2019”, salah satu pertimbangan millennials untuk berpindah dari satu perusahaan ke perusahaan lain lebih banyak disebabkan mencari fasilitas pengembangan diri yang lebih baik. Generasi ini memiliki berbagai obsesi yang ingin diwujudkan di masa depan.
Sesi coaching kepada millennials perlu dilakukan secara rutin oleh guru, dosen, atau bahkan manajer perusahaan. Sesi ini dapat dimanfaatkan secara efektif untuk mendukung sekaligus membimbing millennnials dalam meningkatkan kualitas dan kuantitas kerja, mengembangkan minat dan bakat, dan memaksimalkan potensi guna meraih hasil yang optimal.
Ketiga, membentuk komunitas sesuai dengan minat dan bakat. CEO Alavara Research Center Hasanuddin Ali menyebut tiga karakteristik utama generasi millennials, yakni connected, creative, dan confidence. Menurutnya, generasi ini sangat pandai bersosialisasi, khususnya di dalam komunitas.
Keberadaan komunitas menjadi penting bagi millennials sebagai wadah untuk melatih kreativitas, meningkatkan kepercayaan diri dan pengembangan karakter yang unggul. Lebih dari itu, komunitas memiliki peran yang begitu besar bagi kalangan milenial.
Mereka memiliki akses seluas-luasnya ke dalam komunitas yang dapat dimanfaatkan untuk memperoleh informasi terkini seputar industri, berbagi pengalaman dan pengetahuan, memperoleh solusi atas permasalahan yang dihadapi, memperluas jaringan bisnis, serta memiliki mentor berpengalaman yang dapat membantu mereka dalam mengembangkan kompetensi.
Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) merupakan wadah inkubasi yang hingga saat ini berperan dalam mengembangkan kepemimpinan para talenta muda negeri di dunia kerja, bisnis, sosial, dan politik sehingga mereka mampu menjadiagen perubahan.
Kami secara rutin melakukan coaching kepada talenta muda di berbagai daerah guna mempersiapkan diri mereka menjadi pemimpin masa depan yang baik, memiliki integritas, dan profesional dalam menjalankan amanah.
Di samping itu, KNPI sebagai wadah inkubasi juga membantu talenta muda dalam mengembangkan ekosistem bisnis digital dan UMKM dengan mengarahkan mereka untuk berinovasi dan saling berkolaborasi.
M Ilham Akbar adalah pengamat dan praktisi di bidang SDM, serta Manajemen Talenta DPP Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI)