Menebak Arah Putusan MK Atas Gugatan Sistem Pemilu

Oleh: Khomaru Zaman, S.Sos (Pemerhati Sosial dan Politik)

Sistem pemilu selalu menjadi perdebatan panjang pada saat menjelang pelaksanaan pemilu. Apa mandat penting dari sistem pemilu pada suatu negara?

Read More

Mandat penting sistem pemilu adalah untuk menerjemahkan jumlah suara yang diperoleh partai politik  dalam pemilu menjadi kursi di parlemen dan sebagai sarana penyambung aspirasi rakyat untuk meminta perwujudan tanggung jawab dan janji wakil rakyat yang telah terpilih dalam pemilu (Reynolds dalam Linz, 2001)

Pada saat pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilu 2019, PDIP, Golkar dan PKS menginginkan sistem pemilu proporsional tertutup. Namun setelah perdebatan Panjang dan melelahkan diantara fraksi-fraksi, hanya PDIP yang tetap konsisten mengusulkan sistem proporsional tertutup. Akhirnya DPR memutuskan sistem Pemilu 2019 tetap menggunakan sistem proporsional terbuka sebagaimana tertuang dalam UU No. 7 Tahun 2017.

Kini pihak-pihak yang mengkritisi desain sistem pemilu proporsional tertutup menggunakan jalur ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk dilakukan judicial review terhadap Pasal 168 UU No. 7 Tahun 2017. Dasar pemikiran para penggugat aturan tersebut adalah peserta Pemilu DPR dan DPRD adalah partai politik (Pasal 22E UUD 1945).

Yusril Ihza Mahendra selaku pihak terkait mewakili Partai Bulan Bintang (PBB) dalam sidang MK menyatakan bahwa penyerahan keputusan keterpilihan suara terbanyak dalam empat kali pemilu telah menampilkan banyak sisi gelap dari sistem proporsional terbuka. Sistem proporsional terbuka yang awalnya bertujuan menghilangkan jarak pemilih dan kandidat wakil rakyat, ternyata memunculkan jarak antara pemilih dan kandidat wakil rakyat yang melemahkan posisi partai politik. Partai politik tidak lagi fokus mengejar fungsi asasinya sebagai sarana penyalur pendidikan dan partisipasi politik yang benar.

Lebih lanjut Yusril mengatakan, partai politik tidak lagi fokus mengejar fungsi sebagai penyalur, pendidikan dan partisipasi politik yang benar. Partai politik tidak lagi berupaya meningkatkan kualitas program-programnya yang mencerminkan ideologi partai melainkan hanya sekedar untuk mencari kandidat-kandidat yang dapat menjadi magnet untuk meraih suara terbanyak. Di sinilah letak pelemahan partai politik itu terjadi secara struktural. Partai tidak lagi fokus membina kader-kader muda secara serius untuk kepentingan jangka panjang ideologi partai, melainkan hanya fokus mencari jalan pintas dengan memburu kader-kader popular berkemampuan finansial untuk mendanai kebutuhan partai.

Menebak Arah Putusan MK

Pada tahun 2008 MK melakukan judicial review UU No. 10 Tahun 2008, dimana pada saat itu sistem pemilu setengah terbuka dan setengah tertutup. MK memutus terbuka. Saat ini MK melakukan pengujian objek materi yang berbeda, yaitu UU No. 7 Tahun 2017 terkait sistem pemilu proporsional terbuka.

Sejak Nopember 2022 MK mulai bersidang dengan mendengarkan pandangan antara pihak yang mengajukan judicial review Pasal 168 UU No. 7 Tahun 2017, pihak pendukung proporsional terbuka dan pihak terkait. Belum ada putusan pada hari ini. Sementara saat ini tahapan pemilu memasuki pendaftaran Bakal Calon Legislatif (Bacaleg) DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/kota di KPU. Semestinya putusan MK sudah ada sebelum tahapan pendaftaran Bacaleg dimulai.

Meskipun demikian, jika kita melihat gelagat partai-partai politik dalam mempersiapkan pertarungan menuju Pemilu 2024, mereka telah mengetahui arah putusan MK. Contohnya partai biru meminta dana Rp 500.000.000 kepada Bacaleg DPR dari Jawa Barat yang akan mendapatkan nomor urut atas. Lagi pula, selama ini seseorang yang mendapatkan nomor urut atas adalah memang kader partai yang dikehendaki untuk menjadi calon anggota DPR terpilih.

Jika mencermati pertanyaan-pertanyaan Hakim MK di persidangan kepada saksi ahli, contohnya pertanyaan Hakim MK mengenai putusan MK di tengah tahapan pemilu berlangsung akan mengganggu tahapan pemilu atau tidak, juga pernyataan-pernyataan Hakim MK tentang penerapan hybrid system pada sistem pemilu di Indonesia, bisa ditebak bahwa MK akan membuat keputusan tentang perubahan sistem pemilu sebelum 14 Februari 2024 dan mengarah pada hybrid system, ada yang memilih partai (tertutup) dan memilih nama (terbuka).

Pernyataan Hakim MK itu mengarahkan putusan pada pemilihan anggota DPR menggunakan sistem proporsional tertutup. Sedangkan pemilihan anggota DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota menggunakan sistem proporsional terbuka.

Jika MK membuat putusan demikian, hal itu inheren dengan ketentuan Pasal 414 UU No. 7 Tahun 2017 terkait ambang batas parlemen dan penetapan perolehan kursi DPR, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota. Penentuan perolehan kursi DPR dilakukan setelah memenuhi ambang batas parlemen. Sedangkan penentuan perolehan kursi DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota tidak memakai ambang batas. Hal ini juga hybrid system.

Setiap sistem ada kelemahan dan kelebihan. Kelemahan sistem proporsional tertutup yang selalu muncul adalah persoalan penempatan seseorang dalam daftar nomor urut calon. Pada partai politik yang belum terinstitusionalisasi secara baik, penentuan calon pada sistem tertutup sangat oligarkis. Orang-orang yang dekat lingkaran elit partai berpeluang menempati daftar nomor urut atas. Sedangkan kelebihan sistem proporsional tertutup terletak pada berjalannya kaderisasi di partai politik secara baik, mendapatkan wakil rakyat terpilih memperjuangkan ideologi partai dan kepentingan rakyat yang diwakili, menekan angka money politics, mengurangi kutu loncat, serta efisien. Apapun putusan MK diharapkan bisa mengembalikan partai politik ke khittah dan marwahnya.

 

Related posts

Leave a Reply