Kisruh PBNU Memanas, Dua Kubu Klaim Kepemimpinan dan Saling Tuding Pemecatan Gus Yahya

Ilustrasi

JAKARTA, Polemik internal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) kian memanas dan belum menemui titik akhir. Dua kubu di tubuh organisasi keagamaan terbesar di Indonesia itu saling mengklaim legitimasi kepemimpinan, menyusul pemecatan Ketua Umum PBNU Yahya Cholil Staquf atau Gus Yahya oleh sebagian pengurus Syuriyah.

Kubu yang mendukung Gus Yahya, dikenal sebagai Kelompok Kramat, merujuk pada Kantor PBNU di Jalan Kramat Raya, Jakarta. Kelompok ini menegaskan Gus Yahya masih sah menjabat Ketua Umum PBNU periode 2023–2028 karena dipilih melalui Muktamar ke-34 NU. Mereka menilai, pemberhentian ketua umum hanya dapat dilakukan melalui Muktamar atau Muktamar Luar Biasa.

Read More

Sementara itu, kubu lain yang kerap disebut Kelompok Sultan, merujuk pada lokasi rapat pleno PBNU di Hotel Sultan, Jakarta, menyatakan Gus Yahya telah diberhentikan berdasarkan hasil Rapat Harian Syuriyah PBNU pada 21 November 2025. Kelompok ini kemudian menunjuk Wakil Ketua PBNU Zulfa Mustofa sebagai penjabat (Pj) Ketua Umum PBNU hingga Muktamar yang direncanakan berlangsung sebelum Iduladha 2026.

Perseteruan bermula dari beredarnya Risalah Rapat Harian Syuriyah PBNU pada 21 November 2025. Rapat yang digelar sehari sebelumnya di Jakarta itu diikuti 37 dari 53 pengurus harian Syuriyah dan dipimpin Rais Aam PBNU KH Miftachul Akhyar. Salah satu keputusan rapat tersebut meminta Gus Yahya mengundurkan diri dari jabatan ketua umum.

Menanggapi hal itu, Gus Yahya menegaskan tidak akan mundur. Ia menyatakan mandat kepemimpinannya berasal dari Muktamar dan berlaku selama lima tahun. “Saya mendapatkan mandat lima tahun dan akan saya jalani selama lima tahun,” kata Gus Yahya, Minggu (23/11/2025).

Ketegangan meningkat setelah PBNU mengedarkan surat berisi konsekuensi hasil Rapat Harian Syuriyah, termasuk pemecatan Gus Yahya karena tidak mengundurkan diri dalam tenggat waktu yang ditentukan. Namun Katib PBNU Ahmad Tajul Mafakhir menyatakan surat tersebut bukan surat pemecatan resmi, melainkan edaran internal.

Gus Yahya kemudian mengklaim surat tersebut tidak sah karena tidak memiliki nomor resmi dan stempel digital PBNU. Ia menegaskan, dokumen resmi PBNU seharusnya disebarkan melalui sistem digital Digdaya NU.

Di tengah konflik, Gus Yahya melakukan rotasi kepengurusan Tanfidziyah PBNU pada 28 November 2025. Sejumlah posisi strategis dirombak, termasuk pengangkatan Amin Said Husni sebagai Sekretaris Jenderal PBNU menggantikan Saifullah Yusuf.

Di sisi lain, Rapat Pleno PBNU yang digelar kubu Sultan menetapkan Zulfa Mustofa sebagai Pj Ketua Umum PBNU. Penetapan tersebut diumumkan Rais Syuriyah Muhammad Nuh pada 10 Desember 2025. Zulfa diketahui merupakan keponakan Wakil Presiden ke-13 Ma’ruf Amin.

Kubu Gus Yahya kemudian meminta Kementerian Hukum tidak mengesahkan perubahan susunan kepengurusan PBNU. Mereka menilai pemberhentian Gus Yahya tidak memiliki dasar hukum sesuai Anggaran Rumah Tangga NU, yang menyebut ketua umum merupakan mandataris Muktamar.

Sementara itu, Ma’ruf Amin angkat bicara dan menilai pemakzulan Gus Yahya bermasalah secara organisatoris dan etis. Ia menyebut proses tersebut menyisakan banyak kejanggalan dan seharusnya diselesaikan melalui Muktamar Luar Biasa.

Hingga kini, konflik kepemimpinan PBNU masih berlanjut dengan masing-masing kubu mempertahankan klaim legitimasi, sementara pemerintah belum mengambil sikap atas dualisme kepengurusan tersebut.

Related posts

Leave a Reply