JAKARTA, Ketika berbicara kilas balik 2019 tidak bisa tidak membahas fenomena unik menghebohkan warga Kabupaten Muaro Jambi, Jambi pada 21 September 2019 ketika langit yang biasanya biru berubah memerah, siang hari terasa seperti malam dengan foto-foto langit memerah tersebut beredar di media sosial.
Ada penjelasan ilmiah untuk fenomena tersebut dengan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) di akun media sosialnya memberikan penjelasan bahwa fenomena yang disebut sebagai “hamburan mie” atau mie scattering itu disebabkan oleh sinar matahari terhalang oleh partikel udara yang terpapar oleh kabut asap.
Hamburan partikel udara yang berukuran sangat kecil yang dinamai aerosol dengan ukuran diameter sama dengan panjang gelombang sinar matahari yang berukuran 0,7 mikrometer itu lah yang menyebabkan langit di Muaro Jambi terlihat merah.
Konsentrasi sebaran partikel di daerah tersebut memang tergolong tinggi saat terjadi fenomena tersebut. Berdasarkan data dari KLHK pada saat Sabtu, 21 September 2019 terdapat 56 titik panas terdeteksi satelit Terra Aqua di Muaro Jambi.
Hasil analisis LAPAN dari citera satelit Terra Aqua menyebutkan adalah 75 titik panas di Muaro Jambi.
Fenomena langit merah itu mengingatkan akan sajak kuno Red sky at the morning yang biasa dijadikan petuah oleh para pelaut. Dengan kearifan yang sudah dikumpulkan selama ratusan tahun, para pelaut melihat langit merah waktu pagi sebagai tanda peringatan akan badai.
Bukan badai yang terjadi di Muaro Jambi, tapi jenis bencana lain yang merugikan masyarakat yaitu kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan yang terjadi secara luar biasa pada 2019.
Fenomena langit merah itu menunjukkan betapa gawatnya kejadian karhutla pada 2019 dengan total lahan terbakar sampai dengan akhir September 2019 mencapai 857.756 hektare (ha) yang terbagi 630.451 ha di lahan mineral dan 227.304 di lahan gambut, menurut data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Fenomena kebakaran hutan dan lahan bisa dikatakan menjadi momok yang terus menghantui Indonesia selama beberapa tahun terakhir, dengan kejadian terparah terjadi pada 2015 saat lahan seluas 2.089.9119 ha terbakar atau setara 32 kali luas DKI Jakarta dan empat kali pulau Bali.
Setelah memuncak pada 2015, selama 2016-2018 jumlah luasan karhutla menurun secara drastis, dengan sekitar 438 ribu hektare terbakar pada 2016 dan 510 ribu hektare terbakar pada 2018.
Karhutla tidak hanya menyebabkan kerusakan lingkungan hidup, tapi juga mengakibatkan kerugian lintas sektor seperti kesehatan dan ekonomi dengan hingga akhir September 2019 lebih dari 900.000 orang melaporkan penyakit kesehatan pernapasan dan 12 bandara nasional harus menghentikan operasi karena pekatnya kabut, menurut data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).
Betapa besar dampak karhutla, tidak heran jika Presiden Joko Widodo ingin agar terjadi tindakan pencegahan yang efektif untuk menghindari agar kejadian yang sama terulang lagi.
“Pencegahan itu lebih efektif. Pencegahan itu tidak membutuhkan biaya banyak. Lebih efektif. Tapi kalau sudah kejadian seperti yang kita lihat sekarang ini, sudah kerja yang luar biasa (sulitnya),” ujar Presiden dalam peninjauan usaha pemadaman api karhutla di Riau pada Selasa (17/9), beberapa hari sebelum langit Muaro Jambi berubah merah.
Penindakan hukum
Berbicara soal kebakaran hutan dan lahan tidak bisa dipungkiri bahwa manusia adalah penyebab terbesar dari permasalahan yang terus menghantui Indonesia itu.
Menurut Kepala BNPB Letjen TNI Doni Monardo sekitar 80 persen lebih lahan yang terbakar atau sengaja dibakar berubah menjadi perkebunan. Kesimpulan itu dia dapat setelah terbang dari Banjarmasin ke Palangkaraya dan diperkuat fakta bahwa kebun yang sudah ditanami sama sekali tidak tersentuh oleh api.
Melihat dampaknya terhadap lingkungan tidak heran bila Direktur Jenderal Penegakan Hukum (Dirjen Gakkum) KLHK Rasio Ridho Sani menyebut kasus kebakaran hutan, yang masuk dalam jenis kejahatan sumber daya alam, sebagai salah satu kejahatan serius.
“Tidak ada kejahatan lain seperti kejahatan sumber daya alam karena dampaknya sangat luas dan bervariasi. Termasuk juga kewibawaan negara dipertanyakan dari kejahatan ini jika tidak ditangani secara serius. Contohnya transboundary pollution, lintas batas, seperti karhutla jika tidak ditangani akan dipertanyakan oleh negara lain,” ujar pria yang biasa disapa Roy itu.
Berkaitan dengan kebakaran hutan dan lahan pada 2019, KLHK sudah menyegel 83 lokasi korporasi yang lahannya terbakar dan menetapkan 8 korporasi sebagai tersangka dan satu tersangka peroranangan. Selain itu terdapat 5 perusahaan asing yang ditetapkan sebagai tersangka dari 20 perusahaan asing.
Sementara itu sudah ada 17 perusahaan yang terkait karhutla digugat KLHK ke pengadilan dengan 9 perkara sudah berkekuatan hukum tetap atau Inkrach. Total nilai gugatannya sendiri mencapai Rp3,15 tiliun.
Namun, Roy mengakui masih ada permasalahan dalam mengeksekusi keputusan pengadilan. Bahkan dari total nilai gugatan perdata kasus karhutla sebesar Rp3,15 triliun baru Rp78 miliar yang disetorkan ke rekening negara dengan sisanya masih dalam proses eksekusi.
Penanganan kasus perdata terkait lingkungan hidup, menurut Roy, baru intensif dilakukan dalam beberapa tahun terakhir dan semua masukan-masukan akan jadi bahan pembelajaran bagi Ditjen Gakkum untuk meningkatkan kapasitas. Termasuk juga dalam pelacakan aset yang bisa disita untuk eksekusi.
Menurut dia proses pelacakan aset memang membutuhkan waktu yang lama dan penggugatannya tidak bisa dilakukan dalam waktu yang cepat karena pelacakan tidak mudah.
Regulasi perlindungan sumber daya alam Indonesia, menurut dia, sudah sangat kuat dengan mandat dan penegakan hukum sudah tersedia dalam berbagai undang-undang yang berkaitan dengan sumber daya alam seperti UU No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan UU No.39 Tahun 2014 tentang Perkebunan.
Yang dibutuhkan saat ini, ujar dia, adalah kolaborasi antar lembaga dan kementerian untuk bisa memberikan efek jera kepada para pelaku pembakaran hutan dan lahan serta kejahatan sumber daya alam lainnya.
“Penciptaan efek jera, meningkatkan budaya kepatuhan dan memperkuat kesadaran publik adalah beberapa dampak yang bisa terjadi jika ada penegakan hukum secara efektif,” tegas Roy.
Pencegahan dan Pelestarian
Tidak akan ada asap bila tidak ada api, tidak akan ada api bila tidak ada pembakaran lahan, karena itu upaya pencegahan kebakaran menjadi fokus agar tidak terjadi lagi karhutla.
KLHK sendiri bertekad akan melakukan pencegahan agar tidak terulang lagi bencana karhutla, yang menurut Bank Dunia pada 2019 mengakibatkan kerugian hingga sekitar 5,2 miliar dolar AS atau sekitar Rp75 triliun.
KLHK lewat Manggala Agni akan melakukan pencegahan dengan program Patroli Terpadu yang akan dilakukan di 1.200 desa rawan kebakaran hutan dan lahan di 10 provinsi yaitu di Sumatera Utara, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Kalimantan Utara hingga Kepulauan Riau.
Patroli tersebut rencananya akan dilakukan bekerja sama dengan Babinsa, Kepolisia, LSM dan berbagai perangkat desa.
Untuk mencegah agar masyarakat tidak melakukan pembakaran lagi maka revitalisasi mata pencaharian masyarakat di daerah rawan terbakar perlu diperkuat agar tidak melakukan pembakaran lagi.
Badan Restorasi Gambut (BRG), sebagai lembaga yang bertanggung jawab untuk merevitalisasi lahan gambut yang kering untuk kembali basah, juga mendukung upaya alternatif pendapatan keluarga di wilayah rawan kebakaran.
Program Desa Peduli Gambut (DPG) adalah program inisiasi BRG dalam bentuk pendampingan dan edukasi kepada masyarakat desa sebagai bagian dari upaya restorasi gambut dengan diharapkan masyarakat desa dapat ikut berkontribusi dalam upaya restorasi sekaligus sambil meningkatkan ekonomi lokal.
Program itu sendiri ditargetkan mencapai 1.000 desa masuk dalam DPG sampai dengan 2020, dengan pembagian 300 dilakukan oleh BRG, 200 dengan kerja sama BRG dan LSM, dan sisa 500 desa dilakukan dengan kerja sama bersama pihak swasta, menurut Deputi Edukasi, Sosialisasi, Partisipasi, dan Kemitraan BRG Myrna Safitri.
Yang tercapai sampai dengan 2019 adalah 402 desa masuk dalam bagian DPG. Recananya, menurut Myrna, pada 2020 akan ditambah 75 desa dengan bantuan APBN dan pembinaan 70 desa bekerja sama dengan LSM menjadikan total 527 desa.
“Semua lokasi yang dipilih adalah bekas lokasi terbakar, dekat areal gambut yang sudah dibuka dan dirusak. Sangat banyak perkembangannya dengan kesadaran masyarakat untuk merawat gambut sudah meningkat,” ujar Myrna.
Untuk memastikan agar ekonomi desa gambut tersebut bisa bertahan, BRG bekerja sama dengan berbagai lembaga untuk melatih masyarakat desa melakukan kegiatan ekonomi lain.
Tidak hanya itu, mereka juga bekerja sama dengan sebuah lapak penjualan daring untuk menjual produk makanan dan kerajinan yang dihasilkan di desa gambut yang masuk dalam DPG.
Tidak hanya pencegahan, pemulihan dan pelestarian juga harus dilakukan untuk mencegah agar kebakaran hutan dan lahan tidak akan terjadi lagi di daerah-daerah tersebut dan untuk itu perlu pembenahan tata kelola.
Beberapa langkah sudah diadopsi pemerintah untuk melestarikan lingkungan hidup seperti penandatanganan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 Tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Sawit dan Inpres Nomor 5 Tahun 2019 tentang Penghentian Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut.
Tapi, semua itu tidak akan cukup bila tidak ada dilakukan pemulihan secara berkelanjutan dan penindakan tegas oleh aparat hukum untuk menimbulkan efek jera agar pada 2020 tidak perlu lagi ada langit merah lain di Indonesia.
Komitmen Presiden Joko Widodo untuk karhutla diperlukan dan hal itu sudah dipertegas oleh Menteri LHK Siti Nurbaya ketika bertemu perwakilan anggota Manggala Agni dari 34 Daops di Indonesia pada Kamis (19/12).
“Saya minta 2020 harus lebih bagus, lebih sistematis dan formulasinya jelas. Tidak boleh gagap, karena spirit Kepala Negara jelas atasi untuk karhutla,” ujar Menteri LHK Siti Nurbaya. (ant)