Kemenpan RB Dalam 100 Hari Kerja, Jabarkan Visi-Misi Presiden Dan Wakil Presiden

Mewujudkan Indonesia Maju, adalah visi besar dari pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin. Untuk mewujudkan itu tentunya diperlukan Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkeahlian, unggul, kompeten, profesional, serta mempunyai integritas dan loyalitas.

Restrukturisasi komposisi Aparatur Sipil Negara (ASN) adalah salah satu instrumen untuk mewujudkan terbentuknya SDM yang secara teknis punya keahlian mumpuni, kompeten, profesional, dan punya integritas.

Read More

Adapun tujuan dari restrukturisasi komposisi ASN itu sendiri adalah agar struktur aparatur benar-benar didominasi oleh jabatan fungsional teknis berkeahlian sebagaimana visi Indonesia Maju.

Terkait itu, meski tidak ada target 100 hari program kerja menteri kabinet, namun dari data yang ada terkait dengan reformasi birokrasi selama tiga bulan kerja sudah banyak langkah dan kebijakan yang telah dilakukan Kemenpan RB dalam menjabarkan dan melaksanakan visi misi serta prioritas kerja Presiden dan Wakil Presiden.

Tentu bukan pekerjaan mudah untuk mereformasi birokrasi. Sebab ini menyangkut 4.286.918 ASN di seluruh Indonesia, dimana sekitar 70 persennya berada di Pemerintah Daerah (Pemda).

Harus diakui pula, proporsi ASN saat ini belum berimbang. Proporsi ASN masih didominasi oleh jabatan pelaksana yang bersifat administratif. Tercatat ada 1,6 juta ASN yang mengisi jabatan pelaksana yang bersifat administratif.

Sementara untuk mendukung terwujudnya visi Indonesia Maju, diperlukan SDM berkeahlian. Dan, untuk merealisasikan itu, restrukturisasi komposisi ASN tidak bisa ditawar-tawar lagi, mesti dilakukan. Sehingga komposisi ASN ke depan didominasi oleh jabatan fungsional teknis berkeahlian.

Penyederhanaan birokrasi

Pemerintah memutuskan untuk melakukan penyederhanaan birokrasi dua level. Penyederhanaan birokrasi mempunyai beberapa tujuan pokok. Pertama, agar birokrasi lebih dinamis. Kedua, demi percepatan sistem kerja. Ketiga, agar fokus kepada pekerjaan fungsional. Keempat, untuk mendorong efektivitas dan efisiensi kinerja agar lebih optimal lagi. Dan kelima dalam rangka mewujudkan profesionalitas ASN itu sendiri.

Penyederhanaan birokrasi menjadi dua level eselon dan peralihan jabatan struktural menjadi fungsional itu sendiri masuk dalam lima prioritas kerja Presiden dan Wakil Presiden.

Tentunya, penyederhanaan birokrasi dua level eselon ini memerlukan persiapan dan perencanaan yang matang. Sebab, dari fakta yang ada, dari jumlah PNS di Indonesia per Juni 2019 yang tercatat sebanyak 4.286.918 orang, 11 persennya menduduki jabatan struktural. Sisanya, merupakan aparatur eselon III, IV dan V.

Penyederhanaan struktur birokrasi diperlukan untuk membangun mesin birokrasi yang lebih dinamis dan profesional. Selain meningkatkan efektivitas dan efisiensi dalam mendukung kinerja pelayanan pemerintah kepada publik, baik di instansi pusat maupun daerah.

Adapun kriteria pejabat struktural yang dialihkan adalah yang mempunyai tugas dan fungsi jabatan yang berkaitan dengan pelayanan teknis fungsional serta berbasis keahlian tertentu.

Misalnya, untuk eselon III atau administrator akan dialihkan ke jabatan fungsional ahli madya. Untuk pejabat eselon IV atau pengawas dialihkan ke jabatan fungsional ahli muda. Dan, untuk eselon V dialihkan ke jabatan fungsional ahli pertama.

Penyederhanaan birokrasi itu sendiri dilakukan dalam lima tahap. Tahap pertama, identifikasi jabatan administrasi pada unit kerja. Tahapan kedua, pemetaan jabatan dan pejabat administrasi yang terdampak penyederhanaan birokrasi. Tahapan ketiga, pemetaan jabatan fungsional yang dapat diduduki pejabat yang terdampak penyederhanaan birokrasi.

Tahapan keempat, penyelarasan tunjangan jabatan fungsional dengan tunjangan administrasi dengan menghitung penghasilan dalam jabatan administrasi ke jabatan fungsional. Terakhir, penyelarasan kelas jabatan
fungsional dengan kelas jabatan administrasi.

Sebagai kementerian yang menjadi proyek percontohan (pilot project) dalam program penyederhanaan birokrasi, Kemenpan RB langsung bergerak cepat menindaklanjuti instruksi kepala negara, khususnya yang terkait dengan penyederhanaan struktur birokrasi dua level eselon.

Hasilnya, dalam waktu 45 hari, Kemenpan RB telah menyelesaikan pengalihan eselon II dan III menjadi pejabat fungsional.

Total pejabat yang telah dialihkan untuk mengisi jabatan fungsional di Kemenpan RB sebanyak 141 pejabat. Rinciannya adalah, dari 53 pejabat eselon yang ada, 52 pejabat telah dialihkan ke jabatan fungsional. Hanya satu yang tetap, tapi dengan mengisi struktur baru.

Kemudian dari 91 pengawas atau pejabat eselon IV di Kemenpan, yang telah dialihkan menjadi pejabat fungsional sebanyak 89 pejabat. Total pejabat yang telah dialihkan ke jabatan fungsional sebanyak 141 pejabat. Hanya tiga pejabat yang dipertahankan. Tiga pejabat yang dipertahankan ini mengisi posisi sebagai Bagian Tata Usaha dan Layanan Pengadaan, Subbagian Protokol dan Subbagian Rumah Tangga.

Mereka yang dialihkan, ada yang menjadi analis kebijakan, analis kepegawaian, pejabat yang berwenang untuk melakukan kegiatan kearsipan pada instansi pemerintah (arsiparis), perancang peraturan perundang-undangan, perencanaan, analis pengelolaan keuangan APBN, pranata hubungan masyarakat dan pranata komputer. Jabatan-jabatan fungsional itu adalah jabatan yang diisi oleh pejabat ahli madya. Ada 52 pejabat ahli madya di Kemenpan RB yang mengisi jabatan-jabatan fungsional ini.

Sedangkan 89 pejabat ahli muda akan mengisi jabatan-jabatan sebagai analis kebijakan, analis kepegawaian, analis pengelolaan keuangan APBN, analis anggaran, arsiparis, pengelola pengadaan barang dan jasa, perancang perundang-undangan, perencanaan, pranata humas, pranata komputer dan pustakawan muda.

Penyederhanaan birokrasi itu sendiri untuk menjawab kelemahan yang lahir dari struktur organisasi birokrasi yang ada sekarang ini. Setidaknya ada beberapa kelemahan dari struktur organisasi birokrasi saat ini. Pertama, struktur birokrasi yang gemuk membuat pengambilan kebijakan dan keputusan lambat. Dalam kondisi seperti ini semakin besar pula kemungkinan mis-komunikasi dan mis-koordinasi. Kerja birokrasi pun semakin tidak fleksibel dan mahal biaya.

Maka, penyederhanaan birokrasi dua level menjadi hal yang mendesak dilakukan. Itu semata, untuk mengembangkan profesionalisme aparatur. Sehingga birokrasi tak berorientasi struktural yang acapkali mengabaikan keahlian pejabat. Dengan struktur birokrasi yang disederhanakan, pejabat bisa dipacu untuk berinovasi dan berproduksi.

Kedua, untuk mewujudkan akuntabilitas pemerintahan. Karena harus diakui, indikasi budaya birokrasi yang korup yang memanfaatkan dan menyalahgunakan jabatan masih kerap terjadi. Dengan struktur yang disederhanakan, diharapkan kinerja birokrasi lebih efisiensi dan efektif. Sebab bagaimanapun struktur birokrasi yang gemuk membutuhkan biaya banyak.

Sasaran akhir dari penyederhanaan birokrasi itu sendiri adalah membangun birokrasi yang dinamis yang punya fleksibilitas tinggi, kapabel, berbudaya unggul dan organisasi yang berbasis kinerja sehingga bisa melahirkan kebijakan yang adaptif yang terintegrasi ke setiap unit.

Tapi tentunya, kapasitas organisasi publik untuk mendukung pemerintah pusat dan daerah ini juga tergantung pada kapasitas kepemimpinan, cara kerja, kapasitas ASN, aset pengetahuan, dan aset fisik.

Setidaknya ada empat tahapan dalam penyederhanaan birokrasi. Pertama, identifikasi jabatan. Kedua, pemetaan di tingkat nasional dan di daerah. Ketiga, persiapan jabatan fungsional dan keempat, manajemen perubahan.

Menyusun peta jalan

Kebijakan dan langkah kerja Kemenpan RB dalam menjabarkan visi misi Presiden dan Wakil Presiden lainnya adalah penyusunan peta jalan (road map) reformasi birokrasi. Saat ini, peta jalan reformasi birokrasi telah disusun. Bahkan petan jalan reformasi birokrasi sudah disampaikan kepada para Sekjen dan Sekretaris Menteri dari kementerian dan lembaga.

Tidak hanya itu, peta jalan reformasi birokrasi juga telah dilaporkan kepada Presiden, Wakil Presiden, Menko Polhukam dan Menteri Keuangan.

Di luar itu, Kemenpan RB juga telah memaparkan konsep reformasi birokrasi di hadapan para Sekretaris Daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota dan Kementerian Dalam Negeri. Tentunya peta jalan dan konsep birokrasi yang disusun melibatkan banyak pihak. Banyak masukan yang diserap, antara lain dari Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN) dan Dekan Universitas Indonesia, Profesor Eko Prasodjo.

Sementara terkait dengan perpindahan ibu kota negara (IKN) sebagaimana arahan Presiden, Kemenpan RB juga telah menyusunpeta jalan perpindahan ASN kementerian dan lembaga ke ibu kota negara baru di Kalimantan Timur. Perpindahan ASN akan dilakukan secara serentak pada 2024 nanti.

Di sisi lain, masih terkait dengan program reformasi birokrasi, Kemenpan RB juga, secara intensif terus melakukan pendampingan kepada kementerian, lembaga dan Pemda. Diharapkan, akhir tahun ini, proses reformasi birokrasi bisa rampung. Termasuk penyederhanaan birokrasi di dalamnya.

Di luar itu, Kemenpan RB juga terus mendorong Pemda untuk mempunyai mal pelayanan publik. Hasilnya, kini, banyak mal pelayanan publik di beberapa daerah telah diresmikan. Misalnya, yang baru diresmikan adalah mal pelayanan publik di Samarinda, Banda Aceh dan Kabupaten Batang, Jawa Tengah.

Masih terkait dengan reformasi birokrasi, di forum internasional yakni di acara Regional Meeting ASEAN dan Korea Selatan, Menpan RB dan Deputi Pelayanan Publik Kemenpan RB, diberi kesempatan untuk memaparkan progres program reformasi birokrasi yang sedang dan telah dilakukan di Indonesia.

Salah satu yang dipaparkan di forum internasional itu adalah tentang sistem e-Lapor yang telah berjalan dengan baik di Tanah Air. Sistem e-Lapor adalah sistem yang memudahkan masyarakat dalam menyampaikan laporan terkait dengan kinerja Pemda dalam memberikan pelayanan masyarakat dengan berbagai inovasi-inovasinya.

Penataan Tenaga Honorer

Sementara menyangkut penanganan tenaga honorer, pemerintah sejak awal tidak berpangku tangan. Apalagi lepas tangan. Pemerintah tetap memperhatikan secara serius nasib dari para tenaga honorer di Tanah Air.

Faktanya dari kurun waktu 2005 sampai dengan 2014, sebanyak 860.220 Tenaga Honorer Kategori I (THK-I) dan 209.872 Tenaga Honorer Kategori (THK-II) telah diangkat Pemerintah. Jadi, total tenaga honorer yang telah diangkat baik itu THK-I dan THK-II sebanyak 1.070.092 orang atau sepertiga dari jumlah total ASN secara nasional.

Meski harus diakui pula, ini tidak sepenuhnya sesuai dengan kebutuhan organisasi. Karena rata-rata komposisi ASN di kantor-kantor pemerintahan, sekitar 60 persennya bersifat administratif. Sementara yang diperlukan adalah memperbanyak jabatan fungsional teknis berkeahlian.

Pemerintah dan DPR sendiri sudah menyepakati langkah untuk menangani THK-II atau THK-I yang belum terangkat. Kesepakatan ini dicapai pemerintah dengan komisi gabungan yakni Komisi II, VIII, dan X DPR RI.

Adapun langkah yang disepakati, THK-II diberikan kesempatan untuk bisa diangkat jadi ASN. Namun THK-II ini tetap harus mengikuti seleksi, dimana hanya diberi satu kesempatan ikut seleksi sebagaimana dituangkan dalam PP Nomor 56 Tahun 2012.

Seleksi terhadap THK-II itu sendiri telah dilakukan pada tahun 2013. Tercatat ada 648.462 THK-II yang ikut seleksi, dimana yang lulus seleksi sebanyak 209.872 orang. Sementara yang tidak lulus tercatat sebanyak 438.590 orang. Dan, sebanyak 108.109 orang atau 52 persen dari yang lulus merupakan para guru. Dengan demikian secara de jure sebenarnya permasalahan tenaga honorer sudah selesai.

Sedangkan terhadap 438.590 orang eks atau mantan THK-II yang tidak lulus, pemerintah juga tidak lepas tangan begitu saja. Pemerintah bersama dengan tujuh komisi di parlemen yakni Komisi I, II, III, VIII, IX, X, dan XI pada 23 Juli 2018, telah menyepakati beberapa hal.

Hal pertama yang disepakati, bagi eks THK-II yang masih memenuhi persyaratan yakni berusia di bawah 35 tahun dan punya kualifikasi pendidikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yakni UU ASN, UU Guru dan Dosen dan UU Tenaga Kesehatan, bisa mengikuti penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) Tahun 2018 melalui formasi khusus guru dan tenaga kesehatan yang disesuaikan dengan kebutuhan organisasi.

Hasilnya, sebanyak 13.347 orang eks THK-II masih memenuhi persyaratan. Kemudian setelah dilaksanakan proses seleksi CPNS pada tahun 2018, dari 8.765 pelamar terdaftar, 6.638 orang yang lulus di antaranya adalah para guru dan 173 orang merupakan tenaga kesehatan.

Sementara bagi eks THK-II yang berusia di atas 35 tahun dan telah memenuhi persyaratan, berdasarkan kesepakatan pemerintah dengan tujuh komisi gabungan, mereka dapat mengikuti seleksi sebagai Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) khusus untuk guru, tenaga kesehatan dan penyuluh pertanian. Tentunya seleksi disesuaikan dengan kebutuhan organisasi.

Sebagai tindak lanjutnya, pada akhir bulan Januari 2019 telah dilakukan seleksi PPPK. Seleksi ini sesuai dengan PP Nomor 49 Tahun 2018 Tentang Manajemen PPPK. Hasil seleksi, tenaga guru yang lulus seleksi sebanyak 34.954 orang. Sementara tenaga kesehatan yang lulus sebanyak 1.792 orang. Sedangkan, penyuluh pertanian yang lulus tercatat sebanyak 11.670 orang. Saat ini, mereka yang lulus dalam proses pengangkatan sebagai ASN dengan status PPPK.

Adapun Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2018 Tentang Manajemen PPPK itu sendiri merupakan turunan dari UU Nomor 5 Tahun 2014 Tentang ASN. Maka dengan berlakunya PP Nomor 49 Tahun 2018, status kepegawaian pada instansi pemerintahan hanya ada dua yakni PNS dan PPPK. Dan bagi pegawai non-ASN yang berada di kantor pemerintah diberikan masa transisi selama 5 tahun sejak PP Nomor 49 Tahun 2018 diundangkan.

Selain itu, berdasarkan ketentuan Pasal 96 PP Nomor 49 Tahun 2018, PPK dan pejabat lain di lingkungan instansi pemerintah dilarang mengangkat pegawai non PNS atau non PPK untuk mengisi jabatan ASN. Bagi PPK dan pejabat lain yang terbukti mengangkat pegawai non-PNS dan non-PPPK akan dikenai sanksi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Perlu ditegaskan juga, terkait dengan penataan ASN honorer, Pemerintah pusat sama sekali tidak mengurusi perekrutan tenaga honorer di daerah. Kewenangan tenaga honorer non-ASN ada pada tangan kepala daerah dengan menyesuaikan kemampuan keuangan daerah.

Adapun restrukturisasi komposisi tenaga honorer yang dilakukan, bukan karena pemerintah ingin menghapus tenaga honorer yang ada. Tapi pemerintah ingin mengatur proporsi komposisi ASN di Indonesia yang bisa dikatakan masih belum berimbang. (ant)

Related posts

Leave a Reply