Jakarta, Presiden terpilih Amerika Serikat Joseph Robinette Biden Jr (Joe Biden) dan Wakilnya Kamala Devi Harris, berhasil mengalahkan presiden sebelumnya yaitu Donald Trump-Mike Pence, dengan kemenangan yang sangat dramatis.
Biden lahir di Secraton, Pennsylvania Amerika Serikat. Pada 20 November 1942. Sedangkan, Kamala Harris lahir di Oakland, California Amerika Serikat, Pada 20 Oktober 1956. Kamala sebelumnya menjabat sebagai Jaksa Agung negara bagian pada tahun 2011-2017. Ayahnya adalah imigran dari Jamaika dan mengajar di Universitas Stanford, sedangkan ibunya seorang diplomat india dan peneliti kangker.
Dengan kemenangan ini, Presiden dan Wakil presiden terpilih mengukir beberapa sejarah, untuk Biden ia menjadi presiden tertua pertama AS (78 tahun), dan Kamala Harris menjadi wakil presiden pertama perempuan, orang kulit hitam dan keturunan Asia Selatan pertama yang menjadi penguasa di gedung putih.
Biden dan Kamala Harris telah resmi dilantik sejak Rabu, 20 Januari 2021. Dilansir BBC, pidato pembukaan biasanya dilakukan pada pukul 11.30 waktu setempat atau pukul 23.30 WIB. Presiden dan wakil presiden terpilih, akan mengucapkan sumpah pada tengah hari dan akan langsung menempati gedung putih.
Pelantikan presiden kali ini berbeda dengan pelantikan sebelumnya, dimana dengan adanya pandemi Covid-19 dan penyerangan ke gedung kongres Capitol Hill pada 6 Januari 2021 membuat suasanana sangat berbeda dari pelantikan-pelantikan sebelumnya. Selain itu, sangat wajar bila tidak ada kemeriahan saat Biden dilantik, karena ia mengatakan pada pendukungnya untuk tidak hadir di tempat acara dan lebih menyarankan melihat pengukuhan secara Virtual.
Sedangkan. Donald Trump dan wakilnya Mike Pence harus mengakui kekalahan di detik-detik terakhir masa jabatannya, itupun dengan berbagai fenomena yang terjadi, dimulai dengan di blokirnya akun Twitter, seruan kepada para pendukung agar datang ke gedung Kongres Capitol Hill itu dilakukan semata-mata untuk menggagalkan penetapan Biden sebagai presiden.
Dibutuhkan minimal 270 electoral votes dari 538 electoral votes diseluruh negara bagian dan untuk menjadi presiden Amerika Serikat, Biden pada pemilihan presiden 2020 ini, mendapatkan 290 electoral votes. Sedangkan lawannya Trump hanya mampu mendapatkan 214 suara electoral votes. Dengan ini secara otomatis Biden kalahkan Trump dalam Pilpres Amerika Serikat tahun 2020.
Bagi Biden kemenangan ini adalah puncak karirnya sebagai politisi, karena dirinya pernah gagal dalam pemilihan presiden sebelumnya, pada tahun 1987 dan 2008. Ia harus merasakan kekecewaan yang mendalam karena tidak bisa menjadi presiden. Akan tetapi, kekecewaannya bisa teratasi tatkala menjadi wakil presiden di bawah pimpinan Barack Obama selama delapan tahun.
Biden dan Kamala harus mengeluarkan isu-isu yang hots untuk bisa menang. Trump dengan selogan “Make Amerikan Great Again”nya memiliki basis kekuatan sendiri. Sehingga, penanganan Pandemi Covid-19, menyerukan persatuan anti rasisme, dan mengembalikan kepercayaan publik kepada pemerintah, adalah isu-isu yang menjadi andalan Biden ketika kampanyenya.
Tantangan berat selain Politik Lokal, Politik Luar Negeri akan menghadang Joe Biden dan Kamala Harris, setelah resmi menjabat.
Biden dalam beberapa siaran persnya mengucapkan tidak akan memfokuskan terlebih dulu pada Politik Luar Negeri. Ia menilai bahwa politik lokal harus di perhatikan di tahun pertama ia menjabat. Akan tetapi, tak bisa begitu saja, negara Adidaya ini, harus mulai memperbaiki kebijakan luar negeri mereka untuk beberapa negara, mengingat tuntutannya semakin besar.
Apa saja tantangan yang harus di hadapi Biden. Seperti diketahui bahwa pada masa kepemimpinan Trump Amerika menjadi negara yang tidak bersahabat dengan negara-negara sekutu atau negara lainnya. Ini adalah PR untuk Biden dalam memulihkan politik luar negeri Amerika Serikat.
Selain itu, Amerika mempunyai kerjaan lain yang harus di perbaiki yakni hubungan dengan negara Timur Tengah Iran dan negara Korea Utara, dimana dalam pemerintahan Trump. AS menarik diri dari perjanjian nuklir yang sudah di sepakati bersama Iran. Negara Paman Sam juga mengakui bahwa kematian Jenderal Iran Qassem Soleimani adalah perbuatannya.
Tentunya banyak pertanyaan di ranah publik bahwa apakah Biden akan memperbaiki hubungan atau malah akan meneruskan langkah Trump terkait Iran dan Korea Utara, mungkin akan menjadi hal yang luar bisa jiga Biden bisa memperbaiki langkah diplomasi agar keamanan dunia semakin terjaga. Selain itu, patut di ketahui bahwa saat ini Amerika Serikat masih harus berkutat menghadapi perang dagang dengan China.
China masih akan menjadi pesaing terberat AS dibidang ekonomi, dengan kebijakan luar negerinya, Amerika Serikat menjatuhkan sanksi terhadap China, akan tetapi negera tirai bambu ini melawan dan tak gentar terhadap sanksi tersebut. selain perang dagang, masalah yang tidak kalah di abad ke-21 adalah konflik di Laut China Selatan,
Laut China Selatan menjadi obyek pertempuran saling klaim antara kedua negara, China menganggap hampir seluruh laut china selatan adalah teritori mereka dengan luas 1200 mil atau Nine Dash Line dengan alasan bahwa sejak dinasti China kuno China sudah menempati lautan tersebut, tetapi Amerika menggap bahwa itu tidak benar, karena klaim china tidak memiliki landasan hukum yang kuat.
Berdasarkan ukurannya, Laut Cina Selatan ini merupakan wilayah perairan terluas kedua setelah Samudera Pasifik. Laut Cina Selatan merupakan sebuah lautan dengan berbagai potensi yang sangat besar karena di dalamnya terkandung minyak bumi dan gas alam, Selain itu juga peranannya sangat penting sebagai jalur distribusi minyak dunia, perdagangan, dan pelayaran internasional.
Menurut Timothy Heath (Pengamat RAND), laut china selatan adalah jantung keamanan dan perdagangan global AS. Maka klaim china sebagai pemilik LCS akan sangat mengganggu kesetabilan hegemoni Amerika sebagai pemegang kendali untuk negera-negara kecil.
Salah satu yang perlu diperhatikan juga bahwa, hegemoni china di laut china selatan harus terhambat oleh konvensi PBB tahun 1982 tentang hukum laut (UNCLOS), di tandatangi untuk memberi jalan tengah bagi negara-negara yang berkonflik di LCS. Akibatnya, semua negara berhak 200 mil laut, “Zona Ekonomi Ekslusif”, dan diperbolehkan mengambil sumber daya alam laut sampai kedasarnya.
Kebijakan Politik Luar Negeri apa yang perlu di terapkan Indonesia tahun 2021.
Indonesia adalah negara yang menerapkan Politik Luar Negeri Bebas Aktif, kebijakan ini dibuat ketika pemerintahan Soekarno menyikapi peperangan antar blok Barat dan Timur, kemudian tercetuslah bebas aktif dan Asia Afrika yang di deklarasikan di Indonesia tepatnya di Bandung tahun 1955 negara-negara Afrika, Asia, dan Timur Tengah menjadi deklarator didalamnya.
Politik Bebas Aktif diadopsi dalam kebijakan Politik Luar Negeri Indonesia sampai saat ini, berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara 1945, Tap MPRS No XII Tahun 1966, Tap MPR No. II Tahun 1978, Tap MPR No. IV Tahun 1978, Tap MPR No. II Tahun 1983. Tap MPR No. IV Tahun 1999, UU No. 37 Tahun 1999. Tentang Hubungan Luar Negeri dan UU No. 24 Tahun 2000 Tentang Perjanjian Internasional.
Undang-Undang ini menjadi landasan yuridis bagi Indonesia untuk menerapkan sikap bebas aktif dalam hubungan Internasional, adapun arti bebas aktif ini adalah sikap Indonesia dalam memilih jalan atau pendirian sendiri dalam menghadapi masalah Internasional tanpa harus memilih salah satu Blok Barat atau Timur serta turut aktif dalam menciptakan perdamaian dunia.
Sehingga, dengan sikap bebas aktif ini Indonesia memposisikan sebagai subyek dalam pengambilan keputusan luar negeri dan tidak dapat dikendalikan oleh kepentingan negara manapun. Ini menjadi kuat dalam beberapa fenomena yang terjadi khususnya untuk permasalahan di Laut China Selatan.
Pada bulan Oktober 2020 misalnya, Menteri Luar Negeri Amerika Serikat akan berkunjung ke Indonesia untuk kedua kali, sebelumnya Perdana Menteri Jepang yang baru sekaligus mitra AS sudah melakukan kunjungan terlebih dahulu, semua itu bukan satu misi diplomatik biasa, akan tetapi tujuan negara-negara tersebut untuk merangkul dan menekankan posisi Indonesia, karena Indonesia berasa di dalam kawasan proyek OBOR dan terlibat dalam konflik Laut China Selatan.
Selain itu, Markas Besar Departemen Pertahanan Amerika Serikat atau Pentagon, mengatakan bahwa negara China akan mendirikan pangkalan militer di Indonesia dan menjadikan negara tersebut sebagai basis pertahanan untuk mendukung proyek yang sedang di kerjakan china yaitu BRI/OBOR.
Dari beberapa kasus di atas bisa kita tarik kesimpulan bahwa, dengan posisi Indonesia dalam zona LCS menandakan bahwa peranan Indonesia sangat besar untuk mendukung kedua negera, akan tetapi seperti yang sudah dijelaskan di awal bahwa Indonesia memiliki kebijakan politik luar negeri bebas aktif artinya sangat kecil kemungkinan untuk Indonesia mendukung salah satu negara yang sedang berkonflik khususnya di laut china selatan.
Perlu dijelaskan juga politik luar negeri adalah sebuah kajian politik untuk menyikapi dunia Internasional, strategi, rencana dan tindakan dibentuk oleh para pembuat keputusan suatu negara dalam menghadapi negara lainnya, tentunya kebijakan itu untuk kepentingan nasional.
Oleh karena itu, bila kita ingin menganalisa fenomena internasional kita bisa menggunakan pendekatan tingkah laku (Behavioralis). Karena, sangat penting dalam melihat suatu kebijakan yang dikeluarkan oleh salah satu negara, karena merujuk pada aktor individu dan kelompok sebagai unit analisa.
Pendekatan behavioralisme ini berkembang dalam kajian ilmu hubungan Internasional pada tahun 1980. Menurut pendekatan behavioralisme ini kebijakan sebuah negara bukanlah karena negara bersikap rasional dalam dunia internasional. Tetapi menurutnya kebijakan luar negeri sebuah negara lahir dari proses kompromi dan tawar-menawar diantara aktor pembuat kebijakan luar negeri.
Di Indonesia sendiri, kebijakan politik luar negeri lebih banyak di ambil oleh menteri luar negeri, untuk kebijakan luar negeri tahun ini Menlu Rento LP Marsudi memprioritaskan lima kebijakan diplomasi. Pertama, membangun kemandirian dan ketahanan kesehatan nasional. Kedua, mendukung pemulihan ekonomi dan pembangunan hijau atau pembangunan berkelanjutan. Ketiga memperkuat sistem perlindungan WNI. Keempat terus berkomitmen memajukan berbagai isu kawasan dan dunia. Kelima, menjaga kedaulatan dan integritas wilayah RI.
Kebijakan strategis ini bisa dipakai Indonesia untuk menjalin hubungan Internasional dengan Amerika khususnya di pemerintahan Joe Biden yang baru, karena pada dasarnya kebijakan Biden tidak akan jauh berbeda dengan kebijakan Presiden Barack Obama, dimana kebijakannya lebih memilih multilateral dan diplomasi untuk menjaga kesetabilan negara tersebut.
Selain untuk meningkatkan kerja sama Internasional di bidang ekonomi, Indonesia juga bisa menjaga perdamaian dunia, mengingat Indonesia salah satu negara di kawasan ASEAN yang menjadi perhatian dalam kasus Laut Chian Selatan.
Kata kunci: Politik Luar Negeri Indonesia, Kemenangan Joe Biden dan Konflik Laut China Selatan. Penulis: Ahmad Sahroni. Mahasiswa Ilmu Politik Pascasarjana Universitas Nasional