Pemerintah menargetkan pembangunan dan pengembangan 27 kawasan industri baru dalam RPJMN 2020-2024.
UPAYA pemerintah untuk mendongkrak pertumbuhan dan pemerataan ekonomi terus dilakukan dengan berbagai cara. Salah satunya yakni lewat pembangunan kawasan industri di berbagai daerah, terutama di luar Jawa.
Ada 27 kawasan industri yang ditargetkan akan dibangun pemerintah dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. Jumlah itu meningkat dari sebelumnya 19 kawasan yang ditetapkan pemerintah pada akhir tahun lalu.
Sebanyak 27 kawasan industri tersebut tersebar mulai dari Provinsi Daerah Istimewa Aceh hingga Papua. Lokasi terbanyak berada di Pulau Sumatra yakni 14 kawasan, disusul di Kalimantan (6 kawasan), Sulawesi dan Maluku (3), Papua (1), Nusa Tengggara Barat (1), Jawa (1), dan terakhir di Madura (1).
Kawasan industri itu terdiri atas berbagai macam sektor, dari mulai agro, minyak dan gas, industri logam hingga kedirgantaraan. Tujuh kawasan industri agro, misalnya yakni lima berada di Sumatra dan dua di Kalimantan.
Hadirnya kawasan-kawasan industri tersebut sejalan dengan langkah pemerintah mengundang investor asing. Suntikan modal dari luar akan menjadi dana segar buat menggerakkan sektor industri dalam negeri. “Guna mengakomodasi realisasi investasi tersebut, perlu dibangun kawasan industri. Hal ini sesuai amanat Undang Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian bahwa industri harus berada di dalam kawasan industri,” jelas Direktur Jenderal Ketahanan, Perwilayahan dan Akses Industri Internasional (KPAII) Kementerian Perindustrian, Doddy Rahadi dalam keterangan tertulisnya beberapa waktu lalu.
Ia mengakui untuk membangun kawasan-kawasan industri tersebut, tidak semudah seperti membalikkan telapak tangan. Banyak tantangan dan butuh usaha keras guna merealisasikannya. Tantangan itu mulai dari proses penyiapan dokumen, lahan dan tata ruang, perizinan, kebutuhan infrastruktur, pengelolaan, pencarian tenant, hingga menciptakan kenyamanan berusaha.
Menurut Doddy, untuk menyelesaikan tantangan tersebut tentunya butuh langkah sinergi antara Kemenperin dengan kementerian dan lembaga terkait lain yang secara khusus mengawal percepatan pembangunan kawasan-kawasan industri.
Sebut saja soal tantangan penyiapan dokumen perencanaan. Kemenperin, kata ia, telah membantu menyusun pedoman dokumen perencanaan kawasan industri, baik berupa masterplan, studi kelayakan dan detail engineering design (DED). Kemenperin juga melakukan pendampingan pada pemerintah daerah atau calon pengelola yang berniat menyusun dokumen perencanaan kawasan industri.
Kemudian, terkait tantangan lahan dan tata ruang, Kemenperin menyusun pedoman Kawasan Peruntukan Industri dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) tingkat provinsi maupun kabupaten. Kemenperin terus mendorong pemerintah daerah untuk menyusun RTRW yang dapat mengakomodasi kepentingan kawasan industri.
Kemenperin pun selalu melakukan pendampingan dan supervisi penyelesaian permasalahan lahan dan tata ruang dengan pihak-pihak terkait baik lintas kementerian atau lembaga, serta calon pengelola kawasan industri.
Soal izin, Kemenperin sudah memiliki Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria (NSPK) perizinan kawasan industri baik terkait Izin Usaha dan Perluasan Kawasan Industri serta Rencana Kelola Lingkungan dan Rencana Pantau Lingkungan. “Perizinan tersebut telah terpusat dalam Sistem Informasi Industri Nasional (SIINas) Kemenperin,” jelas Doddy.
Ketua Umum Himpunan Kawasan Industri Indonesia (KII) Sanny Iskandar menilai keberhasilan kawasan industri dalam mendongkrak pertumbuhan ekonomi memang sangat tergantung dari sejauh mana kawasan itu bisa hidup. Kalau berjalan dengan baik, tentu saja efek bersandarnya akan terasa tak hanya buat pusat, tapi juga buat daerah. “Harapan kita tentunya kawasan industri ini dapat sebanyak mungkin untuk direalisasikan,” ujar Sanny ketika dihubungi.
RTRW dan Omnibus Law
Hal yang mendasar untuk pembangunan kawasan, menurut Sanny adalah soal tata ruang. Area mana yang mau dikembangkan dan semua itu butuh kejelasan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) di daerah. Pemerintah pusat tentu tidak bisa bergerak sendiri tanpa ada dukungan dari daerah. “RTRW itu harus disahkan oleh kepala daerah, tanpa pengesahan tata ruang industri bagaimana bisa mengurus izin,” jelasnya.
Rencana tata ruang itu biasanya ditetapkan lewat peraturan daerah (perda) yang disepakati antara eksekutif dan legislatif di daerah. Perda RTRW termasuk memberikan kepastian soal pengadaan lahan. Jangan sampai harga atau biaya pembebasan lahan melambung tinggi dan ini tentu tak baik buat investor.
Selain itu, persoalan perizinan juga dinilai penting. Selama ini pengurusan perizinan yang berbelit-belit dan tumpang tindih menghambat masuknya investasi ke dalam negeri. Karena itu Sanny sangat mendukung upaya pemerintah yang ingin menghapuskan hambatan-hambatan tersebut melalui Omnibus Law Cipta Kerja. Omnibus Law diharapkan mampu menyelesaikan masalah izin yang tumpang tindih antara pusat dan daerah.
Aturan ini akan memberikan kepastian hukum seberapa cepat dan mudahnya pengurusan izin berusaha, termasuk persoalan ketenagakerjaan yang juga sangat mempengaruhi minat investasi di dalam negeri. “Intinya adalah kepastian hukum,” ujar Sanny yang mengkoordinasi 95 kawasan industri tersebut.
Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) sebelumnya telah mengungkapkan, masih ada sekitar Rp519 triliun dana investasi yang masih menyangkut karena masalah perizinan. BKPM pun berjanji akan mempercepat realisasi investasi dan mengatasi sumbatan yang ada. Salah satunya melalui Omnibus Law, baik Cipta Kerja maupun Perpajakan.
Omnibus Law RUU Cipta Kerja terdiri dari 11 klaster yaitu penyederhanaan perizinan, persyaratan investasi, ketenagakerjaan, kemudahan pemberdayaan dan perlindungan UMKM. Masih ada klaster kemudahan berusaha, dukungan riset dan inovasi, administrasi pemerintahan, pengenaan sanksi, pengadaan lahan, investasi dan proyek pemerintah serta kawasan ekonomi dan kawasan industri. “Kalau cepat dilakukan, pertumbuhan realisasi investasi dari Omnibus Law akan menyumbang 0,2 hingga 0,3 persen di tahap pertama,” ujar Kepala BKPM Bahlil Lahadalia.
Wakil Ketua Umum BPP Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Anggawira setuju dengan upaya pemerintah menyelesaikan masalah perizinan ini lewat Omnibus Law. Selama ini, kata ia, pengurusan izin di daerah kerap tumpang tindih. Dan itu bukan hanya satu atau dua aturan. “Karena itu butuh sebuah terobosan,” ujarnya kepada Dnews beberapa waktu lalu.
Namun senada dengan Sanny, masalah mendasar dari problem investasi yakni soal detil tata ruang yang holistik. Detil tata ruang tersebut perlu dibuat tidak hanya di tingkat daerah, tapi juga nasional. “Kawasan industri atau ekonomi khusus untuk sudah wacana lama membuat kawasan terintegrasi, tapi yang paling saat ini adalah soal detail tata ruang tersebut,” ujarnya.
Selain itu yang tak kalah penting adalah pemberian insentif buat investor yang masuk ke dalam kawasan. Sebut saja tax allowance atau tax holiday. “Jadi jangan baru apa-apa sudah dikenai pajak,” ujar Sanny.
Perlu kolaborasi antara pemerintah pusat dan daerah untuk menentukan jenis-jenis retribusi yang tidak memberatkan pelaku usaha.
Dongkrak Industri Migas
Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan menilai pembangunan kawasan industri ini menjadi salah satu cara efektif untuk mendongkrak industri migas. “Karena memang kalau ada kawasan industri, maka ada akan kebutuhan mendasar baik itu industri gas, listrik maupun diesel,” ujarnya kepada Dnews.
Dengan begitu, industri-industri besar terutama yang bermain di sektor hilir seperti PT PGN maupun PT Pertamina bisa menumbuhkan penjualan. Namun ada beberapa hal yang perlu diperhatikan pemerintah dalam pembangunan kawasan industri ini.
Pertama, kata Mamit, pembangunan kawasan industri ini terkait kebijakan di tiap kementerian seperti Kementerian Keuangan, Kementerian Perindustrian dan juga Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman. “Jadi saya kira harus dibuat stimulus fiskal sehingga kawasan industri menarik buat investor,” jelasnya.
Kedua, ia juga setuju jika investor butuh kepastian hukum. Dari mulai lahan hingga kondisi sosial menjadi perhatian pemodal. Hal ketiga adalah masalah perburuhan, terutama terkait upah. Terakhir yakni masalah ketersediaan energi. “Tanpa pasokan energi tentu industri tidak bisa jalan,” jelasnya.
Sementara itu, beberapa daerah yang sudah ditetapkan sebagai kawasan industri mulai berbenah. Seperti yang dilakukan pemerintah daerah di Teluk Bintuni, Papua Barat yang telah mendirikan pusat pelatihan bidang konstruksi dan industri. Pusat Pelatihan Teknik Industri dan Migas Teluk Bintuni dioperasikan oleh Petrotekno Technical School.
Adapun sejumlah calon investor yang telah menyatakan minatnya berinvestasi pada proyek Kawasan Industri Petrokimia di Teluk Bintuni di antaranya Kaltim Methanol Industri, Pertamina Power, Wijaya Karya, Karya Mineral Jaya, Samsung C&T, dan Pelindo IV.