JAKARTA, Penggunaan reaktor nuklir untuk menghasilkan energi baru yang bermanfaat bagi kehidupan masyarakat telah dimulai pada awal abad-20, melalui temuan Enrico Fermi -ilmuwan fisika Italia- bersama timnya.
Nuklir kian terkenal ketika perang dunia kedua saat Amerika Serikat menghancurkan dua kota penting Jepang, yakni Hiroshima dan Nagasaki. Setelah 1945, nuklir tidak lagi dipakai untuk perang melainkan untuk tujuan damai menciptakan energi bagi masa depan umat manusia.
Di Indonesia, sejarah awal nuklir telah dimulai sejak tahun 1954. Kala itu, pemerintahan Ode Lama membentuk Panitia Negara untuk Penyelidikan Radioaktivet yang betugas menyelidiki kemungkinan adanya jatuhan radioaktif dari uji coba senjata nuklir di Samudera Pasifik.
Berlanjut pada 5 Desember 1958, pemerintah menerbitkan peraturan baru untuk membentuk Dewan Tenaga Atom dan Lembaga Tenaga Atom yang kemudian disempurnakan menjadi Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) melalui Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1964.
Program pengembangan energi nuklir di Indonesia bagaikan roller coaster. Perbincangan awal untuk menjadikan nuklir sebagai pembangkit listrik dimulai tahun 1978, ada banyak kajian ilmiah yang dilakukan oleh para ilmuwan nasional kala itu.
Namun, kecelakaan Chernobyl di Rusia yang terjadi pada 26 April 1986 lantas menurunkan semangat pengembangan energi nuklir nasional.
Rentang 1991-1996, muncul perbincangan serius untuk menggarap listrik nuklir yang dimulai dari studi kelayakan di Semenanjung Muria, Jawa Tengah. Bahkan saat itu pemerintahan Orde Baru mendukung dengan menghadirkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1997 Tentang Ketenaganukliran.
Krisis ekonomi tahun 1998 pun membuat rencana pengembangan energi nuklir tertunda dan cenderung vakum selama lebih dari satu dekade.
Pada 2011-2013, muncul studi kelayakan terkait potensi pengembangan energi nuklir di Bangka Belitung. Sejalan dengan itu terjadi kecelakaan di Fukushima, Jepang, pada 2011, akibat bencana tsunami yang membuat minat pengembangan energi nuklir di Indonesia kembali melemah.
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) kemudian mengusulkan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) mini non-komersial pada rentang tahun 2015-2018 untuk menghindari hiruk pikuk politik. Kemudian, akhir-akhir ini sejak 2020 hingga 2022 sedang dilakukan studi kelayakan di Kalimantan Barat karena wilayah ini jarang terjadi gempa bumi, sehingga dianggap aman untuk dijadikan lokasi pembangunan PLTN.
“Program pengembangan infrastruktur memerlukan proses 10 hingga 15 tahun, ini mengikuti apa yang disarankan oleh Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA),” kata pakar Himpunan Masyarakat Nuklir Indonesia (Himni) yang juga merupakan mantan Batan Djarot Sulistio Wisnubroto dalam diskusi daring yang dipantau di Jakarta, pertengahan Maret 2020.
Hambatan
Proses membangun sebuah reaktor nuklir untuk pembangkit listrik memerlukan empat fase.
Pertama, kesiapan membuat komitmen terhadap program nuklir melalui studi kelayakan, lalu kesiapan mengundang penawaran untuk PLTN pertama melalui proses bidding, kemudian kesiapan dan operasi PLTN pertama melalui commissioning.
Saat ini, Indonesia belum bisa beranjak menuju fase kedua terkait persiapan untuk konstruksi reaktor setelah keputusan kebijakan diambil. Apalagi fase ketiga terkait kegiatan untuk implementasi pembangunan PLTN pertama dan fase keempat tentang pemeliharaan serta perbaikan PLTN secara berkelanjutan masih jauh panggang dari api.
Diketahui, ada tiga hambatan yang membuat Indonesia stagnan dan belum bisa naik ke fase kedua, yakni posisi Indonesia yang belum jelas apakah sepakat atau menolak terkait keberadaan energi nuklir.
Selanjutnya, masalah manajemen terkait kepemilikan PLTN. Terakhir, masalah stakeholder involvement yang masih berorientasi kepada Batan dan belum melibatkan private sector.
Ketiga pekerjaan rumah ini menjadikan Indonesia masih berkutat pada fase pertama selama lebih dari satu dekade.
Sementara itu, negara lain umumnya fase pertama sudah dianggap memenuhi syarat dari Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA).
Pengembangan fasilitas nuklir dan pembangkit listrik tenaga nuklir menghadapi tantangan besar di Indonesia yang disinyalir sarat kepentingan politik hingga bisnis.
Banyak kalangan menganggap nuklir tidak termasuk energi hijau dan energi bersih. Sejarah perang dunia kedua dan kecelakan reaktor di Chernobyl serta Fukushima masih membekas di dalam benak mereka yang menentang program pengembangan energi nuklir nasional.
Bahkan Drajot menceritakan pengalamannya ketika berbincang dengan sejumlah menteri di kabinet, ada pesan untuk tidak berbicara tentang PLTN di hadapan mereka.
“Ketika saya berbicara dengan banyak menteri di kabinet, ada sesuatu (yang menahan) jangan ngomong tentang PLTN,” kata Djarot.
Tak hanya komunikasi politik dengan stakeholder yang terkesan sulit, bahkan kelompok-kelompok Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) lingkungan yang fokus bergerak pada energi hijau justru memandang energi nuklir dengan sebelah mata dan menganggap sama seperti batu bara yang berbahaya.
Sementara itu, Pendiri Sekolah Bisnis Manajemen Institut Teknologi Bandung Kuntoro Mangkusubroto mengatakan selimut politik yang menghalangi pengembangan energi nuklir memang sarat kelompok kepentingan.
“Kelompok kepentingan ini bermacam-macam kalau saya sebut lobi batu bara, lobi lingkungan hidup dengan berbagai macam versi,” kata Kuntoro.
Saat ini bauran energi di Indonesia tercatat hanya berjumlah 11,5 persen dari target 23 persen pada 2025, artinya 88,5 persen masih berupa energi kotor yang bersumber dari batu bara dan minyak bumi.
Bahkan batu bara kalori menengah yang digadang lebih ramah lingkungan masih belum bisa dipanen hingga 50 tahun ke depan, belum lagi produksi minyak bumi yang terus menurun dari tahun ke tahun.
Proyek PLTN dianggap ancaman bagi bisnis batu bara dan minyak bumi beserta produk turunannya dalam bidang energi.
Mengesampingkan energi fosil, perdebatan tentang kecelakaan reaktor di Fukushima akibat tsunami masih berlanjut hingga sekarang.
Bahkan produk-produk pertanian dari daerah itu menjadi objek penelitian apakah masih menyisakan radiasi yang berdampak terhadap genetik makhluk hidup yang memakannya atau tidak.
“Sekarang waktunya untuk kita lebih offensif dengan menggunakan kata-kata yang dimengerti untuk masuk di dalam gerbong dekarbonisasi,” kata Kuntoro.
Indonesia memiliki dua target besar, yaitu target target bauran energi hijau sebesar 23 persen tahun 2025 melalui Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) dan target penurunan emisi sebesar 29 persen dari baseline di tahun 2030 sesuai Paris Agreement. (antara)