Dengan banyaknya tuntutan hidup, manusia rentan akan kecemasan hingga terkena stres. Kira-kira, apa ya yang bisa membantu mengurangi emosi negatif ini? Mari belajar filsafat stoikisme. Dosen Filsafat dari Program Studi (Prodi) Bahasa dan Sastra Indonesia FIB Unair Dr. Listiyono Santoso, S.S., M.Hum. menerangkan bahwa filosofi stoikisme mengajak manusia untuk hidup realistis, membaca diri, antisipasi diri, dan mengevaluasi diri. Jadi dalam filosofi ini, manusia akan diajak untuk menerima kenyataan dan bersiap akan tantangan dan hambatan.
“Hidup harus benar-benar realistis dan tidak mengkhayalkan sesuatu yang tidak-tidak. Kita juga harus mengantisipasi untuk hidup dalam kemungkinan situasi terburuk. Orang Jawa menyebutnya nrimo ing pandhum, yakni tidak berlebihan, menghadapi dunia apa adanya, dan berorientasi pada kesejahteraan dan kebahagiaan,” papar Dr Listiyono dalam laman resmi Unair, Selasa (31/5/2022). Singkatnya, stoikisme tidak akan mengurangi hambatan atau tantangan yang kamu alami. Tapi akan membantu kamu mengolah emosi dan mengubah persepsi menjadi lebih positif.
Sejarah Filsafat Stoikisme
Filsafat Stoikisme ada sejak 301 SM atau abad ke-3 SM. Pencetusnya, yakni para filsuf Yunani Kuno di Athena bernama Zeno. Dilanjutkan kemudian oleh filsuf Stoa, yakni Chrisippus, Cicero, Epictetus, Marcus Aurelius, dan Seneca. “Penyebutan Stoa oleh karena para filsuf tersebut berdebat dan berdialog di Stoa. Mereka membicarakan ragam isu dan tema, dari soal teologi, astronomi, fisika, logika, hingga etika. Pembicaraan utamanya adalah mengenai filsafat kebajikan hidup dalam etika dan teologia,” tutur Dr Listiyono.
Konsep Filsafat Stoikisme
Inti dari ajaran filsafat stoikisme adalah kesejahteraan dan kebahagiaan. Seorang filsuf bernama Plato menyebutnya sebagai Eudhomania. Artinya, kebahagiaan adalah keutamaan hidup. “Prinsip utama Stoa kuno adalah keyakinan bahwa kita tidak bereaksi terhadap peristiwa. Hal yang penting adalah penilaian kita tentang mereka yang bergantung kepada diri sendiri,” ujar dosen Unair tersebut. Dengan tidak bereaksi berlebihan pada hidup, kita akan lebih mudah menerima kenyataan. Dengan penerimaan ini, kita akan selangkah lebih dekat dengan kesejahteraan dan kebahagiaan hidup.
Bagaimana Cara Berpikir Stoikisme?
Filsafat stoikisme memiliki panduan praktis yang dapat diterapkan dalam cara berpikir. Di antaranya, fokus pada hal yang bisa dilakukan, pengelolaan waktu dengan baik, fokus dengan jalan keluar dari berbagai hambatan, berbahagia tanpa ada sikap egois dan sombong, serta selalu realistis dan antisipatif. “Filsafat stoikisme mengajak umat manusia untuk benar-benar memiliki keutamaan hidup dengan sikap praktis dalam hidup yang membahagiakan. Pencapaiannya melalui fokus diri, refleksi diri, dan antisipasi diri,” jelas Dr Listiyono.