JAKARTA, Sekjen DPP PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto menyebutkan inti utama geopolitik Soekarno yang harus terus diperkuat adalah bagaimana rakyat Indonesia harus selalu berjuang membangun kepemimpinan di segala aspek kehidupan di dunia.
“Berbicara pemikiran geopolitik Soekarno dalam implementasinya, baik pertahanan dan ketahanan negara, di sisi kampus dan lembaga pendidikan, dan yang lainnya, intinya bagaimana bangsa Indonesia berjuang membangun kepemimpinan di seluruh aspek,” kata Hasto dalam Seminar Sehari Kebangsaan bertema “Strategi Pemerintahan Jokowi Menjaga Keamanan Nasional” yang digelar Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga, Jawa Tengah, Senin.
Doktor Ilmu Pertahanan ini memaparkan panjang hasil temuan risetnya yang menjadi disertasi doktoralnya mengenai Teori Geopolitik Soekarno di Universitas Pertahanan (Unhan) RI.
Dia menjelaskan bagaimana perbedaan geopolitik Soekarno yang berorientasi membebaskan bangsa di dunia dari penjajahan dan menuju perdamaian abadi dengan geopolitik ala Barat yang orientasinya ekspansi dan cenderung menjajah.
Selain itu, dijelaskan bagaimana geopolitik Soekarno berbasis tradisi intelektual sehingga Indonesia merdeka atau pembebasan Irian Barat tak menunggu Indonesia memiliki sumber daya melimpah ruah.
Namun intelektualitas yang memadukan berbagai faktor sumber daya yang ada seperti demografi, teritori, politik, dan lain-lain menjadikan seluruh variabel geopolitik sebagai “instrument of national power”.
“Misalnya dalam pembebasan Irian Barat. Bung Karno mengalahkan konspirasi kolonialisme Belanda. Modalnya hanya Soekarno merancang Konferensi Asia Afrika. Modalnya hanya ide, imajinasi geopolitik, semangat juang, dan hospitality. Hotel disediakan, makanannya disediakan khas kuliner Nusantara. Kesemuanya ditampilkan penuh kebanggaan. Namun hasilnya adalah deklarasi Dasa Sila Bandung yang luar biasa,” papar Hasto dalam siaran persnya.
Dan kontekstualitasnya dengan saat ini, lanjut Hasto, geopolitik Soekarno disebut sebagai “progressive geopolitical coexistence”, yang mensyaratkan Indonesia berjuang membangun kepemimpinan di tengah dunia di segala bidang.
“Apa yang harus dilakukan? Misalnya, kualitas demografi harus ditingkatkan. Manusia-manusia Indonesia harus hebat, terdepan dalam penguasaan iptek,” kata Hasto.
Itu artinya generasi muda Indonesia harus berorientasi untuk berprestasi. Contoh, kemenangan pasangan Greysia Polii dan Apriyani Rahayu di Olimpiade Tokyo belum lama ini adalah wujud geopolitik.
“Karena mampu mengalahkan ganda asal China, justru di tengah situasi di mana China dianggap negara unggul sektor apa pun di mata dunia,” ujarnya.
Dalam seminar itu, selain Hasto, yang menjadi pembicara adalah Kepala KSP Moeldoko, Gubernur Lemhannas Andi Widjajanto, Donny Yusgiantoro, dan Yoseph Adi Prasetyo.
Di seminar itu, selain ratusan mahasiswa dan siswa SMA, hadir Wali Kota Semarang Hendrarprihadi. Hadir pula anggota DPR RI alumni UKSW Hendrawan Supratikno dan Haris Turino.
Hasto mengatakan kedatangannya ke Kampus UKSW adalah yang pertama. Dia mengaku sangat mengapresiasi kompleks kampus yang sangat indah dan hijau.
Secara khusus, Hasto mengakui dirinya hadir di UKSW sekaligus untuk mengenang Almarhum George Junus Aditjondro, yang pernah mengecap perkuliahan di UKSW. George dikenal sebagai penulis buku “Gurita Cikeas”.
“Almarhum George Junus Aditjondro itu memiliki spirit luar biasa, kritis, dan terkenal di kalangan aktivis. Almarhum George Aditjondro dikenal sebagai seorang sosiolog pemberani yang terkenal berani mengkritisi korupsi, bahkan sejak era Orde Baru,” kata Hasto.
Ancaman dan tekanan dari rezim Orde Baru, kata dia, bahkan sempat membuatnya harus berpindah ke Australia. “Semoga semangat beliau itu bisa menginspirasi mahasiswa menjaga demokrasi Indonesia bersih dari perilaku koruptif,” ucapnya.