Anggota DPR RI dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Yaqut Cholil Qoumas meminta Pemerintah memberikan peta jalan (roadmap) yang jelas tentang penanganan COVID-19 sebelum menentukan kapan pelaksanaan Pilkada 2020.
“Pemerintah harus memberikan roadmap kepada kita semua, agar kita bisa ikut membantu pemerintah dalam memutuskan kapan pelaksanaan pilkada terbaik,” kata Yaqut dalam rapat kerja virtual Komisi II DPR RI bersama Menteri Dalam Negeri, KPU RI, Bawaslu RI, dan DKPP di Jakarta, Selasa (14/4/).
Menurut dia, Pemerintah dan DPR RI harus mampu menjelaskan argumentasi terkait pelaksanaan pilkada pada 9 Desember 2020. Misalnya, apabila Pilkada 2020 tidak bisa dilaksanakan 9 Desember 2020, mengapa pilkada harus dilaksanakan Maret 2021.
“Argumentasi apa yang bisa kita sampaikan ke publik. Publik itu akan tanya, apa argumentasinya ada kalimat, ‘Kalau Desember enggak bisa, maka diundur Maret’, itu kan harus ada argumen yang jelas. Saya kira argumentasi paling tepat itu adalah roadmap, sekali lagi,” kata Yaqut.
Menurut dia, apabila jalan berpikir dalam mengeluarkan argumentasi tidak berdasarkan peta jalan yang jelas, maka akan menimbulkan kesulitan di kemudian hari.
“Saya kira ini harus disampaikan dulu oleh Mendagri (Tito Karnavian), terutama soal roadmap itu, agar kita mudah menentukan kapan ini ditunda. Apakah Desember, Maret tahun depan, atau September tahun depan,” kata Yaqut menegaskan.
Apalagi, kata Yaqut, ada banyak pihak merasa pesimistis bahwa pemerintah memiliki peta jalan itu.
Yaqut mengaku bahwa ia adalah bagian dari orang-orang yang pesimistis tersebut.
“Saya tidak yakin bahwa COVID-19 ini akan berakhir dengan cepat. Saya bagian dari yang pesimistis,” kata Yaqut.
Yaqut meminta Pemerintah memperbaiki tiga syarat utama dalam menangani pandemi, yaitu pertama kepemimpinan (leadership) yang kuat, kedua otoritas kesehatan yang kokoh, dan ketiga adanya saling percaya (mutual trust) antara pemerintah dan masyarakat.
Ia mencontohkan, adanya peraturan ojek dalam jaringan (daring) yang tidak dibolehkan mengangkut penumpang oleh pejabat A, lalu tidak lama kemudian diralat dan dibolehkan mengangkut penumpang oleh pejabat B. “Ini menunjukkan kalau leadership-nya lemah,” kata Yaqut.
Kemudian, Yaqut juga merasa saat ini Indonesia tidak mempunyai otoritas kesehatan yang kokoh.
Menurut Yaqut, otoritas kesehatan yang kokoh itu bisa diukur dari empat hal, pertama staf (staff), kedua peralatan (stuff), ketiga bangunan (structure), dan keempat sistem prosedur operasional (SOP) medis yang memadai.
Dia mengatakan adanya tenaga medis yang menangani pasien COVID-19 mengeluh kekurangan alat pelindung diri (APD) dan ventilator di rumah sakit rujukan COVID-19, serta adanya pasien COVID-19 yang ditolak masuk rumah sakit rujukan di daerah, karena rumah sakit tersebut kurang memiliki fasilitas medis untuk menangani COVID-19 adalah bukti kurang memadainya staff, stuff, dan structure yang dimiliki Indonesia saat ini.
Kemudian, adanya jenazah korban COVID-19 yang ditolak masyarakat menjadi bukti kurangnya SOP yang diterapkan saat ini di Indonesia.
Yaqut meminta hal itu harus dibenahi ke depan, agar Indonesia dipandang memiliki otoritas kesehatan yang kokoh dalam mempercepat penanganan COVID-19.
Terakhir, Yaqut meminta Pemerintah membangun kepercayaan rakyatnya, dan rakyat pun sebaliknya juga selalu diberi kepercayaan oleh Pemerintah, sehingga menciptakan mutual trust antara pemerintah dengan rakyatnya.
“Kita harus mengambil langkah yang tepat di dalam sejarah, jangan sampai kita salah meletakkan diri kita,” ujar Yaqut pula.