JAKARTA, Mewakili Kepala Staf Kepresidenan sebagai Keynote Speaker dalam Seminar Nasional yang diadakan oleh Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) di Hotel Grand Sahid Jaya Senin, 19 Agustus 2019, Deputi III Kepala Staf Kepresidenan, Denni Puspa Purbasari, mengungkapkan sebuah fakta yang disebutnya sebagai ‘an inconvenient truth’.
Denni memaparkan, bila ingin ekonomi Indonesia tumbuh rata-rata 5,7 persen per tahun selama lima tahun ke depan, mau tidak mau kita masih membutuhkan utang dan modal asing karena tabungan dalam negeri tidak cukup.
“Ini inconvenient truth khususnya bagi mereka yang punya sikap anti utang atau anti asing,” tegas pengajar Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM ini seraya menunjukkan beberapa teori, bukti empiris, dan statistik terkait.
Bila sentimen (anti utang atau asing) mengalahkan rasionalitas, konsekuensinya, pertumbuhan ekonomi akan anjlok, lapangan kerja jadi sempit. penerimaan pajak turun, dan akhirnya, program apapun termasuk bansos tak akan mampu dibiayai negara. “Tidak mungkin ingin utang nol dan PMA nol, namun pada saat yang sama berharap pertumbuhan lebih tinggi,” tegas Denni, yang membidangi kajian dan pengelolaan isu-isu ekonomi strategis di Kantor Staf Presiden.
Dagang atau utang tidak berarti buruk
Di hadapan 120 peserta seminar, doktor ekonomi dari University of Colorado at Boulder tersebut menjelaskan bagaimana tiga elemen yang diangkat dalam seminar HMI, yaitu perdagangan, utang, dan kesejahteraan saling terkait. Satu-per satu Denni pemahaman yang keliru mengenai ketiganya dikupas. “Pemahaman yang keliru menyebabkan kita memiliki attitude yang keliru juga,” ujarnya.
Pertama soal perdagangan. Banyak orang punya penilaian buruk kepada pedagang karena dianggap tidak melakukan proses produksi dan hanya mengambil marjin saja. Padahal, produksi tanpa bisa menjual hasil produksi, tidak bisa berlanjut.
Produsen tidak harus melakukan semuanya sendiri. Spesialisasi seringkali dibutuhkan. “Jangan ada logical fallacy bahwa dengan melakukan semuanya sendiri dari produksi hingga distribusi, akan lebih menguntungkan,” kata mantan konsultan PT. Bank BCA Tbk ini.
Yang penting, masing-masing pihak—apakah produsen, pedagang hingga konsumen, terlibat dalam fair bargaining—karena masing-masing memiliki pilihan-pilihan. Oleh karenanya, kebijakan yang diambil pemerintah adalah memberikan kesempatan bagi semua pelaku ekonomi untuk masuk (free entry) dan berkompetisi.
Kedua, soal utang. Mantan asisten staf khusus Wakil Presiden Boediono ini mengatakan bahwa utang pada hakikatnya hanyalah instrumen untuk mengatasi cekaknya cash sementara kebutuhan perlu dipenuhi sekarang. “Bayangkan kapan Anda generasi milenial bisa beli rumah kalau harus tunai, tanpa KPR,” tandas Denni.
Baik-buruknya utang tergantung pada alokasinya apakah untuk menambah asset produktif atau tidak. Orang ambil kredit motor untuk bekerja, atau orang tua ambil utang untuk pendidikan anak, hanyalah beberapa contoh utang produktif. “Karena aset motor atau ilmu pengetahuan dapat memperbesar kemampuan kita membayar utang,” ujarnya di depan 120 peserta seminar baik mahasiswa maupun praktisi.
Namun demikian, ada perbedaan antara utang yang dilakukan oleh perseorangan dengan utang yang dilakukan oleh negara. Selain karena negara adalah kumpulan dari banyak orang, negara juga tidak ada matinya.
Dus, menerapkan konklusi kita mati tidak boleh membawa utang vis-à-vis negara harus menurunkan utangnya hingga nol Rupiah adalah sebuah logical fallacy. “Karena negara bisa melunasi utang melalui refinancing, atau penerbitan surat utang baru,” jelas siswa teladan SMP dan SMA dari Jawa Tengah ini.
Meski demikian, refinancing harus dilakukan secara terukur, disesuaikan dengan peningkatan aset atau kemampuan produktif nasional, umpanyanya stok human capital maupun infrastruktur. Karena dengan human capital dan infrastruktur yang lebih tinggi, pendapatan atau PDB akan naik. Artinya, basis pajak naik. Bila penerimaaan pajak naik, kemampuan negara untuk membayar utang pun akan naik.
“Apakah ada alternatif pembiayaan pembangunan yang lain, selain utang pemerintah?” tanya Denni kepada peserta. Jawabnya ada, yaitu, lewat kepemilikan atau saham (equity). Artinya, modal swasta nasional maupun asing diperbolehkan masuk untuk membangun infrastruktur fisik seperti jalan, bandara, pembangkit listrik, atau pelabuhan; maupun infrastruktur sosial seperti jasa kesehatan dan pendidikan. “Sekali lagi, sikap antipati pada swasta atau asing, perlu dikoreksi. Memperbolehkan mereka masuk, tidak berarti menggadaikan kedaulatan,” cetus perempuan kelahiran Semarang ini.
Tidak membenturkan pertumbuhan dan pengentasan kemiskinan
Terakhir, tentang kesejahteraan. Alumnus University of Illinois at Urbana-Champaign ini mengatakan bahwa ekonom seringkali mengukur kesejahteraan dengan pendapatan per kapita. Meski terlihat dangkal, namun pada kenyataannya, taraf hidup masyarakat banyak berasosiasi dengan pendapatan per kapita mereka.
Dalam literatur ekonomi, naiknya pendapatan per kapita disebut sebagai pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi terjadi bila ada investasi, perbaikan teknologi dan peningkatan produktivitas sumber daya manusia.
Namun menyimpulkan naiknya kesejahteraan dari adanya pertumbuhan ekonomi saja tidak cukup. Pasalnya, kesejahteraan juga harus ditandai dengan indikator lain, seperti turunnya kemiskinan.
Menariknya, studi menunjukkan bahwa obat mujarab bagi kemiskinan adalah pertumbuhan ekonomi. Alasannya, pertumbuhan ekonomi seringkali berasosiasi dengan munculnya lapangan pekerjaan dan dus, pendapatan. “Jadi, sikap membenturkan pertumbuhan dengan pengentasan kemiskinan tidaklah tepat,” ucap penerima beasiswa Fulbright ini.
Melanjutkan poinnya, Denni mengatakan bahwa menghadirkan pekerjaan di desa-desa secara berkesinambungan, apakah itu pertanian atau manufaktur, sangatlah krusial mengingat tenaga adalah satu-satunya faktor produksi yang dimiliki orang miskin. Justru gagasan populer yaitu melakukan pemberdayaan agar rakyat miskin mampu berwirausaha, terbukti kurang efektif dalam mengentaskan kemiskinan. Karena, fakta menunjukkan tidak mudah menjadi wirausaha secara berkesinambungan, apalagi bagi rakyat miskin.
Dari beberapa contoh logical fallacy (kesesatan berpikir) dan bukti empiris yang dipaparkan, mantan Ketua Himpunan Mahasiswa Ilmu Ekonomi UGM ini menutup keynote speech-nya dengan mengajak kader HMI untuk mengambil peran dalam proses panjang pembangunan, mulai dari adu gagasan, membangun narasi atau mengkomunikasikan gagasan ini kepada publik, hingga mengawal implementasinya.