JAKARTA, Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad menjelaskan alasan kenaikan dana reses anggota DPR RI periode 2024–2029 menjadi Rp 702 juta per anggota. Menurutnya, peningkatan itu terjadi karena adanya penambahan titik kunjungan dan kenaikan indeks kegiatan selama masa reses di daerah pemilihan (Dapil).
“Di 2024–2029 itu diputuskan bahwa indeks kegiatan dan dana reses itu jumlah kunjungannya ditambah dapilnya, dan indeksnya juga naik,” ujar Dasco kepada media, Sabtu (11/10/2025).
Reses merupakan masa di mana anggota dewan kembali ke Dapil masing-masing untuk menyerap aspirasi masyarakat, melakukan kunjungan kerja, serta menjalin komunikasi langsung dengan konstituen.
Dasco menjelaskan bahwa dana reses sebesar Rp 702 juta merupakan kebijakan yang telah disepakati untuk masa jabatan DPR 2024–2029. Jumlah ini meningkat signifikan dibanding periode sebelumnya, yakni 2019–2024, yang hanya sebesar Rp 400 juta per masa reses.
“Karena komponen atau detail kegiatan anggota DPR selama reses bertambah, tunjangan itu disesuaikan,” tambahnya.
Dalam penjelasannya, Dasco juga mengonfirmasi adanya kesalahan transfer dana reses oleh Sekretariat Jenderal (Setjen) DPR RI pada masa reses Agustus 2025, di mana masing-masing anggota menerima Rp 756 juta, bukan Rp 702 juta sesuai keputusan final.
Menurut Dasco, awalnya sempat ada usulan kenaikan dana reses sebesar Rp 54 juta karena bertambahnya titik kunjungan. Namun, menyusul penolakan publik terhadap kenaikan tunjangan DPR, termasuk tunjangan perumahan, rencana tersebut dibatalkan.
“Dana ini kita juga enggak disetujui, termasuk tunjangan rumah dibatalkan, penambahan titik juga enggak kita setujui,” tegas Dasco.
Namun karena miskomunikasi, Setjen tetap mentransfer dana sebesar Rp 756 juta. Setelah disadari sebagai human error, kelebihan dana tersebut segera ditarik kembali dari rekening para anggota.
“Nah kemudian ditarik balik, sudah didebit balik semuanya. Tetap Rp 702 juta. Nah, Rp 702 juta itu adalah kebijakan reses 2024–2029,” jelas Dasco.
Kenaikan dana reses dan kesalahan transfer ini kembali memicu perdebatan publik soal transparansi dan akuntabilitas penggunaan anggaran negara, khususnya yang berkaitan dengan tunjangan wakil rakyat.
Sejumlah kalangan menilai, di tengah tekanan fiskal dan kebutuhan masyarakat yang makin tinggi, kenaikan tunjangan semacam ini perlu dikaji ulang secara terbuka dan akuntabel.