JAKARTA, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengungkap 17 permasalahan dalam penyelenggaraan ibadah haji 1445 H/2024 M oleh Kementerian Agama. Temuan tersebut tercantum dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) I-2025 dan menyoroti ketidaksesuaian pengisian kuota untuk 4.531 jemaah yang tidak memenuhi syarat sehingga membebani keuangan haji hingga Rp596,88 miliar.
Dalam laporannya, BPK menyebut pengisian kuota tidak sesuai ketentuan mencakup 61 jemaah yang pernah berhaji dalam 10 tahun terakhir, 3.499 jemaah kategori penggabungan mahram yang tidak memenuhi persyaratan, serta 971 jemaah pelimpahan porsi yang tidak sesuai aturan. Kondisi tersebut menyebabkan jemaah yang sebenarnya berhak justru tertunda keberangkatannya.
Selain masalah kuota, BPK menemukan sejumlah ketidakpatuhan lain, seperti penggunaan anggaran operasional tanpa dasar hukum, dokumen pertanggungjawaban yang tidak lengkap, dan pelaporan keuangan yang belum sepenuhnya sesuai standar pemerintah. BPK juga mencatat adanya penyimpangan dalam prosedur pembayaran serta pengadaan barang dan jasa pendukung operasional haji.
Secara keseluruhan, audit BPK menemukan delapan temuan yang terdiri dari enam kelemahan sistem pengendalian intern, sembilan permasalahan ketidakpatuhan dengan nilai Rp596,88 miliar, serta dua permasalahan efektivitas, efisiensi, dan ekonomis senilai Rp779,27 juta.
Menindaklanjuti hal ini, BPK merekomendasikan Menteri Agama untuk menyusun rencana penyelesaian jemaah penggabungan dan pelimpahan yang tidak berhak. Rekomendasi meliputi verifikasi data kependudukan bersama Kementerian Dalam Negeri serta pembatalan kuota bagi jemaah yang tidak memenuhi syarat.
Di sisi lain, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menaikkan kasus dugaan korupsi kuota haji ke tahap penyidikan sejak 8 Agustus 2025. Kerugian negara diperkirakan mencapai Rp1 triliun. Hingga kini, KPK telah mencegah tiga pihak bepergian ke luar negeri: mantan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas, mantan staf khusus Ihsfah Abidal Aziz, dan pemilik Maktour Travel Fuad Hasan Masyhur.
Kasus tersebut bermula dari tambahan kuota 20.000 jemaah yang diberikan Arab Saudi kepada Indonesia pada 2023. Dalam praktiknya, kuota tambahan itu diduga diselewengkan melalui transaksi setoran USD 2.600–7.000 per kuota oleh sejumlah biro travel dan oknum Kementerian Agama. Dana tersebut kemudian diduga digunakan untuk membeli aset pribadi, termasuk dua rumah mewah senilai Rp6,5 miliar yang telah disita KPK.







