JAKARTA, Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati mengungkapkan bahwa laju pemanasan global saat ini semakin cepat, jauh berbeda dengan kondisi beberapa abad lalu yang membutuhkan waktu ratusan hingga jutaan tahun. Dwikorita mengingatkan, perubahan perilaku untuk mengatasi pemanasan global sangat penting demi mencegah dampak buruk yang semakin meningkat.
“Pemanasan global semakin cepat. Sebelumnya, proses ini membutuhkan waktu ratusan ribu bahkan jutaan tahun. Sekarang, dari tahun 1900 sampai sekarang, suhu global sudah meningkat 1,5 derajat Celsius,” kata Dwikorita dalam keterangan yang diterima Rabu (29/1/2025).
Dwikorita juga menekankan bahwa akibat pemanasan global, bencana hidrometeorologi seperti banjir dan kekeringan akan semakin sering terjadi. “Siklus hidrologi semakin cepat, sehingga cuaca ekstrem lebih sering terjadi, dengan durasi yang lebih panjang dan intensitas yang lebih kuat. Bencana ini tidak hanya terjadi secara lokal, tapi juga dapat berdampak secara global,” tambahnya.
Pada webinar “Resolusi 2025: Mitigasi Bencana Geologi” yang ditayangkan pada 17 Januari 2025, Dwikorita mengungkapkan data Badan Meteorologi PBB (WMO) yang menunjukkan bahwa tahun 2024 tercatat sebagai tahun terpanas dalam sejarah pengamatan, bahkan melebihi suhu rata-rata tahun 2023. Rata-rata suhu global sepanjang Januari hingga September 2024 sudah menunjukkan anomali sebesar 1,54 derajat Celsius di atas rata-rata suhu pra-industri (1850-1900).
BMKG juga memproyeksikan perubahan iklim yang signifikan di Indonesia, dengan curah hujan pada musim kemarau yang semakin berkurang hingga 20%, serta musim kemarau yang akan semakin panas dan kering. “Hujan ekstrem semakin sering terjadi di hampir seluruh wilayah Indonesia. Musim kemarau akan lebih kering, sementara musim hujan akan lebih basah dan ekstrem,” jelas Dwikorita.
Seiring dengan pemanasan global, Dwikorita juga menyoroti prediksi dari Badan Pangan dan Pertanian PBB (FAO) yang memperingatkan potensi krisis pangan global pada tahun 2050, jika laju pemanasan tidak terkendali. “Jika perilaku kita tidak berubah dan tetap mengandalkan energi fosil, maka krisis pangan global bisa terjadi. Negara-negara lain juga akan mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan pangan, yang berpotensi mempengaruhi Indonesia,” ujarnya.
Mengingat potensi krisis tersebut, Dwikorita mendukung upaya pemerintah Indonesia melalui inisiatif Asta Cita yang dicanangkan oleh Presiden Prabowo Subianto, untuk memperkuat ketahanan pangan nasional dan menghindari dampak dari krisis pangan global.
Dwikorita menegaskan bahwa perubahan perilaku menjadi kunci dalam mengatasi pemanasan global dan mengurangi risiko bencana yang semakin sering terjadi. Ia mendorong masyarakat untuk segera beralih ke energi yang lebih ramah lingkungan serta mengadopsi gaya hidup yang lebih berkelanjutan.
“Untuk menghadapi tantangan besar ini, kita perlu perubahan perilaku yang lebih besar, dari penggunaan energi fosil menuju energi terbarukan, demi menjaga bumi kita untuk masa depan yang lebih baik,” tutup Dwikorita.