JAKARTA, Ketua Komite Koordinasi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) Mahfud MD mengatakan, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) telah menemukan indikasi tindak pidana pencucian uang di lingkungan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) sejak 2009. Laporannya sudah diserahkan kepada Kemenkeu pada 2017.
Adapun ia baru menjabat sebagai Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) sejak 2019. Artinya, ia sendiri tak mengetahui adanya laporan PPATK terkait dugaan tindak pidana pencucian uang tersebut.
“Baru saya tertarik untuk membuka ini sesudah ada kasus Rafael itu, saya minta rekapnya deh siapa sih yang pakai pencucian uang,” ujar Mahfud saat memberikan jawabannya kepada Komisi III DPR, Rabu (29/3).
Rupanya kasus Rafael Alun Trisambodo membuka banyak tabir terkait dugaan TPPU di lingkungan Kemenkeu. Pertama, laporan yang diserahkan PPATK pada 2017 itu faktanya tak pernah diterima ke tangan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani dan baru diketahuinya pada 14 Maret 2023.
Kedua, transaksi mencurigakan sebesar Rp 349 triliun tersebut rupanya melibatkan 491 entitas aparatur sipil negara (ASN) di Kemenkeu. Hal inilah yang membuat pengusutan tindak pidana pencucian uang menjadi sulit karena keterlibatan banyak pihak.
“Apa pikiran kita tentang ini ketika bertemu? ternyata melaksanakan UU TPPU itu sulit. Sehingga protes kita itu apa kepada rapat? kenapa sih tidak pernah membangun kasus? sudah ribuan kasus ini kok tidak bangun kasus? dikonstruksi sendiri? Itu setiap rapat, APH (aparat penegak hukum) menyatakan sulit Pak, ini harus ketemu ini dulu,” ujar Mahfud.
Di samping itu, banyak modus operandi dalam melakukan pencucian uang. Salah satu yang ditemukannya adalah dugaan tindak pidana pencucian uang senilai Rp 189 triliun di Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Ungkapnya, dugaan TPPU tersebut berkaitan dengan impor emas.
“Apa itu emas? ya. Impor emas batangan yang mahal-mahal itu, tapi di dalam surat cukainya itu dibilang emas mentah,” ujar Mahfud.
Mahfud melanjutkan, pihak bea cukai berdalih bahwa impor yang dilakukan adalah emas murni, bukan batangan. Di mana kemudian, emas batangan tersebut dicetak oleh sebuah perusahaan di Surabaya, Jawa Timur. “Dicari ke Surabaya, ndak ada pabriknya dan itu nyangkut uang miliaran saudara, tidak diperiksa,” ujar Mahfud.
Dalam forum yang sama, Kepala PPATK yang juga Sekretaris Komite Koordinasi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan TPPU Ivan Yustiavandana mengungkapkan, pihaknya menemukan indikasi transaksi keuangan mencurigakan sebesar Rp 189 triliun pada periode 2014-2016 di lingkungan Kementerian Keuangan (Kemenkeu).
Setelah itu, PPATK kembali menemukan transaksi keuangan mencurigakan sebesar Rp 180 triliun pada periode 2017-2019. Dari situ, PPATK melakukan analisis dan menemukan pola transaksi lewat perubahan identitas. “Subjek terlapor tadi melakukan pola transaksi dengan pengubahan entitas, tadinya dia aktif di satu daerah, kemudian dia pindah ke tempat lain. Tadinya menggunakan nama tertentu kemudian menggunakan nama lain,” ujar Ivan.
Dari perubahan identitas tersebut, PPATK menyadari bahwa oknum tersebut sadar adanya pemeriksaan yang dilakukan pihaknya. Selain itu, ia juga mengungkapkan adanya perusahaan cangkang dalam dugaan tindak pidana pencucian uang di Kemenkeu. Terdapat satu oknum yang diduga memiliki lima hingga delapan perusahaan cangkang yang dijadikan sebagai alat pencucian uang.
“Dalam daftar listnya itu selain oknum, kami sampaikan juga banyak perusahaan. Misalnya oknumnya satu, tapi perusahaannya lima, tujuh, delapan, dan seterusnya ” ujar Ivan.