Jangan Sampai Masyarakat Menunggak, Pemerintah Perlu Pertimbangkan Daya Beli dan Kualitas Layanan
JAKARTA, Wacana kenaikan iuran BPJS Kesehatan pada tahun 2026 menuai perhatian dari berbagai pihak. Salah satunya datang dari Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Niti Emiliana, yang menilai rencana ini dapat menjadi tantangan besar bagi masyarakat.
Dalam pernyataannya, Kamis (21/8/2025), Niti menyebut kondisi ekonomi masyarakat saat ini masih berat, sehingga kenaikan iuran dapat memicu risiko tunggakan dan penurunan kepesertaan.
“Kenaikan tarif ini akan menjadi tantangan kepada masyarakat di tengah perjuangan ekonomi kebutuhan pokok yang juga meningkat. Jika terlalu tinggi, masyarakat bisa kesulitan membayar dan akhirnya menunggak,” tegasnya.
YLKI mengakui bahwa penyesuaian tarif adalah keniscayaan dalam menjaga kesinambungan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Namun, Niti menegaskan bahwa penetapan iuran harus berdasarkan kajian menyeluruh, termasuk mempertimbangkan ability to pay dan willingness to pay dari masyarakat.
“Tarif ideal baiknya diperhitungkan dengan membandingkan pendapatan masyarakat dan daya belinya,” ujar Niti.
YLKI juga menyarankan mekanisme mitigasi seperti subsidi tambahan bagi peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI), serta peningkatan kualitas layanan dan sosialisasi kebijakan yang transparan dan luas.
Sinyal kuat soal kenaikan iuran BPJS Kesehatan muncul dalam Buku II Nota Keuangan RAPBN 2026. Pemerintah menyebut bahwa skema pembiayaan program JKN perlu ditata ulang agar seimbang antara kontribusi masyarakat, pusat, dan daerah.
“Penyesuaian iuran dapat dilakukan secara bertahap dengan mempertimbangkan daya beli masyarakat dan kondisi fiskal pemerintah,” tulis dokumen tersebut.
Pemerintah juga mengusulkan langkah-langkah inovatif dalam pembiayaan, seperti supply chain financing dan skema lain untuk menjaga likuiditas Dana Jaminan Sosial (DJS) Kesehatan.
Sementara itu, Direktur Utama BPJS Kesehatan, Ali Ghufron Mukti, mengungkapkan bahwa lembaganya telah menyiapkan delapan skenario pembiayaan, salah satunya mencakup skenario penyesuaian iuran.
Meski demikian, Ghufron menegaskan bahwa BPJS Kesehatan bukan pengambil keputusan dan tidak dapat mempublikasikan detail skenario tersebut saat ini.
“BPJS sadar sekali apa yang dilakukan dan tahu persis datanya, tapi bukan pengambil keputusan,” ujarnya.
YLKI juga menekankan bahwa sebelum menaikkan iuran, pemerintah harus lebih dulu memperbaiki kualitas layanan JKN, seperti waktu tunggu layanan, ketersediaan obat, dan pelayanan di fasilitas kesehatan tingkat pertama dan rujukan.
“Kenaikan iuran jangan jadi prioritas, perbaiki dulu layanannya,” tegas Niti.