JAKARTA, Ketua Komisi XIII DPR RI, Willy Aditya, menegaskan komitmennya untuk mendorong revisi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2017 tentang Sistem Perbukuan. Ia menyebut, pembaruan regulasi tersebut diperlukan guna memperkuat ekosistem perbukuan dan literasi nasional yang dinilai masih timpang.
Willy menyampaikan hal tersebut dalam perbincangan di kanal YouTube Torpedo Podcast, Jumat (10/10/2025). Menurut dia, sejumlah ketimpangan dalam sistem perbukuan Indonesia harus segera dibenahi, terutama terkait dikotomi antara buku pelajaran dan buku umum.
“Hal paling fundamental adalah di dalam UU 3/2017 itu mendikotomikan antara buku diktat sekolah dan buku umum. Akibatnya, alokasi subsidi hanya fokus pada buku pelajaran, sementara buku umum tidak mendapatkan perhatian yang selayaknya. Padahal semua buku adalah materi pembelajaran, sumber ilmu pengetahuan,” ujarnya.
Politikus Partai NasDem ini menambahkan, dorongan revisi UU tersebut telah lama menjadi bagian dari agenda kerjanya. Namun, baru dapat difokuskan pada periode 2024–2029 setelah ia tidak lagi bertugas di Badan Legislasi (Baleg) DPR.
“Ini sebenarnya niat lama. Dulu di Baleg tidak sempat karena fokus pada RUU PPRT, RUU Masyarakat Hukum Adat, dan RUU Pendidikan Kedokteran. Sekarang di Komisi XIII, saya seriuskan,” kata Wakil Ketua Baleg DPR RI periode 2019–2024 itu.
Selain soal distribusi subsidi, Willy menyoroti berbagai persoalan lain dalam ekosistem perbukuan, seperti rendahnya honor penulis, mahalnya biaya distribusi, hingga tingginya beban pajak terhadap industri penerbitan.
“Penulis itu, paling tinggi seperti Pramoedya Ananta Toer hanya dapat 15 persen. Umumnya hanya 7 persen. Bandingkan dengan penulis di Barat, seperti JK Rowling yang sangat sejahtera dari hasil menulis. Sementara di kita, 50-60 persen ongkos habis untuk distribusi,” ungkapnya.
Ia juga mengkritisi tingginya pajak yang membebani industri buku, mulai dari pajak pertambahan nilai (PPN) 11 persen, pajak impor, hingga pajak kertas yang mencapai 22 persen.
“Yang paling memberatkan adalah pajak kertas. Ini membuat biaya produksi buku semakin tinggi dan berpengaruh pada harga jual ke masyarakat,” kata Willy.
Willy mengatakan, arah perubahan UU Sistem Perbukuan akan mencakup skema subsidi, kebijakan afirmatif untuk buku umum, insentif bagi penulis, regulasi harga kertas, serta efisiensi distribusi.
Ia menekankan, Indonesia memiliki tradisi literasi yang kuat sejak masa lampau, dan hal itu perlu dihidupkan kembali.
“Kita ini bangsa besar. Di awal abad ke-20, Sumatera Tengah sudah mengekspor buku. Kota kecil seperti Padang Panjang memiliki delapan penerbit. Buya Hamka bahkan bisa membiayai pernikahan dari honor menulis. Kita punya sejarah literasi yang membanggakan,” tuturnya.
Lebih lanjut, Willy menyatakan keyakinannya bahwa Presiden Prabowo Subianto akan mendukung inisiatif ini. Menurutnya, Presiden memiliki komitmen terhadap penguatan literasi sebagai bagian dari amanat konstitusi.
“Pak Prabowo itu pecinta buku. Ini bukan soal politik, tapi amanat konstitusi: mencerdaskan kehidupan bangsa. Buku adalah instrumen penting dalam hal itu,” ujarnya.
Rancangan revisi UU Sistem Perbukuan ditargetkan masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2026. Sebelum tahun 2025 berakhir, Willy menargetkan agar RUU tersebut dapat ditetapkan sebagai usul inisiatif DPR RI.