Waspada terhadap Politisasi Aparat: Kuat Boleh, Tapi Harus Terbatas

Oleh: Muhammad Fakhri Riadhi

Ketua Bidang Organisasi DPC GMNI Kota Tangerang

Read More

Rancangan Undang-Undang Kepolisian Negara Republik Indonesia (RUU Polri) menuai kontroversi dan perdebatan yang semakin meluas di masyarakat. Di satu sisi, revisi ini memiliki tujuan memperkuat kapasitas Polri dalam menghadapi tantangan kejahatan modern. Namun di sisi lain, sejumlah pasal menimbulkan kekhawatiran akan potensi pelemahan prinsip-prinsip demokrasi, hak asasi manusia, dan supremasi sipil atas militer dan kepolisian.

Dalam negara demokrasi, lembaga kepolisian seharusnya berfungsi sebagai pelayan publik yang menjunjung tinggi prinsip perlindungan dan pelayanan kepada masyarakat. Kepolisian bukanlah perpanjangan tangan kekuasaan politik, melainkan instrumen negara hukum yang tunduk pada asas transparansi, akuntabilitas, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia.

Namun, ketika institusi ini diberi ruang gerak yang terlalu luas tanpa mekanisme pengawasan yang memadai, maka risiko politisasi aparat semakin menguat. Ketiadaan kontrol yang proporsional membuka peluang terjadinya represi terhadap warga sipil, serta mengancam kebebasan berekspresi dan ruang demokrasi. Hal ini berbahaya, sebab lembaga yang semestinya melindungi rakyat justru bisa berubah menjadi alat penekan rakyat itu sendiri.

Kepolisian yang kuat memang diperlukan untuk menghadapi kejahatan modern, terorisme, dan ancaman lainnya. Tapi kekuatan tanpa batas dan tanpa pengawasan adalah resep menuju otoritarianisme.

Revisi UU Polri seharusnya tidak semata-mata membahas soal memperkuat wewenang, tetapi juga harus memastikan bahwa kekuasaan aparat dibatasi secara tegas agar tetap berada dalam koridor demokrasi dan supremasi hukum. Dalam negara hukum, aparat bukan pemilik kekuasaan, melainkan pelayan rakyat. Jika kontrol atas institusi bersenjata dilemahkan, maka yang kita bangun bukan demokrasi melainkan negara aparat, di mana kuasa menjadi norma dan hukum tinggal slogan.

Dalam RUU Polri juga mengusulkan perpanjangan usia pensiun anggota kepolisian dari 58 menjadi 60 tahun, dan bahkan hingga 65 tahun bagi jabatan strategis tertentu. Meskipun dalih yang dikemukakan adalah kebutuhan organisasi dan efektivitas operasional, sejumlah pihak menilai kebijakan ini sarat kepentingan politik. Perpanjangan masa dinas ini berpotensi menghambat regenerasi kepemimpinan, dan memperkuat oligarki internal dalam tubuh institusi. Dalam jangka panjang, kebijakan semacam ini justru dapat mengikis semangat reformasi Polri yang telah diperjuangkan sejak era pasca-reformasi.

“saya menilai perpanjangan usia pensiun ini tidak relevan dengan semangat reformasi Polri pasca-reformasi 1998. Yang dibutuhkan hari ini bukan pelestarian kekuasaan, tapi pembaruan regenerasi, dan transformasi menyeluruh di tubuh kepolisian. Polri harus bergerak ke arah yang modern dan demokratis, bukan menjadi menara kekuasaan yang tak tersentuh.”

Tak kalah kontroversial, RUU Polri juga memberi kewenangan intelijen yang luas kepada Polri. Hal ini berpotensi menimbulkan tumpang tindih dengan fungsi Badan Intelijen Negara (BIN) dan TNI, serta membuka celah penyalahgunaan kekuasaan terhadap masyarakat sipil. Dalam konteks ini, aparat kepolisian bisa saja mengawasi, mengintervensi, bahkan membungkam kritik publik secara diam-diam, tanpa akuntabilitas yang jelas.

Yang lebih mengkhawatirkan, revisi ini tidak secara jelas dalam menguatkan lembaga pengawas seperti Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas). RUU ini tampak lebih sibuk memperluas kekuasaan daripada membangun akuntabilitas. Ketika lembaga pengawas dilemahkan, maka tidak ada lagi rem yang dapat menahan potensi penyimpangan kekuasaan oleh aparat.

“Ini sangat berbahaya dalam konteks demokrasi dan sistem penegakan hukum yang sehat. Kalau semuanya harus tunduk di bawah Polri dari penyidik kementerian sampai pengamanan masyarakat sipil, lalu di mana ruang otonomi penegakan hukum? Ini bukan hanya persoalan teknis, ini persoalan prinsip. Kita sedang melonggarkan pagar pembatas kekuasaan yang seharusnya dijaga ketat dalam negara hukum.”

RUU Polri harus dikritisi dan ditinjau ulang secara serius. Jika tidak, kita tengah melangkah mundur dari cita-cita reformasi, dan memberi jalan bagi tumbuhnya negara aparat yang otoriter. Demokrasi tidak lahir dari kekuasaan yang kuat, tetapi dari kekuasaan yang dibatasi.

Related posts

Leave a Reply